Laporkan Masalah

Representasi atau Klientelisme? Komparasi penggunaan dana aspirasi oleh Anggota Legislatif Partai Golkar dan PKS Karanganyar pada Pemilu Legislatif tahun 2024

Ilyas Akbar Almadani, Amalinda Savirani, S.IP., MA., PhD

2025 | Tesis | S2 Ilmu Politik

Perebutan basis pemilih merupakan tantangan signifikan bagi anggota legislatif incumbent yang mencalonkan diri kembali sebagai anggota parlemen pada periode berikutnya. Dua tantangan utama yang dihadapi adalah hadirnya saingan baru, calon anggota calon anggota legislatif, dan incumbent lain yang juga ingin mempertahankan posisi nya di satu daerah pemilihan (dapil), baik dari partai yang sama maupun partai berbeda. Strategi patronase sering digunakan dalam persaingan yang sengit ini. Karena semua caleg menggunakan strategi ini, praktik patronase menjadi semakin kompetitif. Kelebihan incumbent adalah ia mendapatkan alokasi dana aspirasi setiap tahun, termasuk di Kabupaten Karanganyar. Penelitian ini mendalami praktik klientelisme anggota legislatif dalam memanfaatkan alokasi dana aspirasi guna mendukung perolehan suara di wilayah basis massa di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Tesis ini memperlihatkan bagaiman fungsi aspirasi berbalut praktik klientelisme, dalam mempertahankan basis pendukung. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah “bagaimana dana aspirasi digunakan untuk melaksanakan fungsi representasi sekaligus melakukan praktik klientelisme oleh anggota legislatif incumbent”. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif pendekatan multi studi kasus, melibatkan wilayah dapil 1 dan dapil 3 Karanganyar dari Partai Golkar dan PKS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, kegiatan reses dan dana aspirasi di dalamnya merupakan fungsi representasi yang dijalankan oleh incumbent, tapi bersifat terbatas, karena di luar reses, para incumbent jarang melakukan fungsi representasinya. Kedua, reses digunakan sebagai alat untuk mengakomodir kepentingan konstituen (basis massa), dan sangat terbatas dalam mengakomodir kepentingan publik (umum) di dapil. Akibatnya, fungsi representasi menjadi sempit. Ketiga, praktik representasi berlangsung dalam bentuk klientelisme berupa distribusi keuntungan material (program pembangunan) yang bersumber dari dana aspirasi. Dana tersebut dimanfaatkan mempertahankan loyalitas konstituen serta menciptakan ketidaksetaraan dalam relasi kekuasaan. Keempat, memberikan dampak terhadap perolehan suara jika tidak dibarengi dengan social bonding dan vote buying. Kelima, perbedaan fungsi representasi yang dijalankan Partai Golkar dan PKS terletak pada cara penggunaan dana aspirasi. Incumbent PKS melakukan fungsi representasi dan praktik–praktik klientelistik dengan tetap memperhatikan basis ideologisnya. Sedangkan pola di dapil 1 dan 3 cenderung tidak ada perbedaan.  

The competition for voter bases presents a significant challenge for incumbent legislators running for re-election in the next parliamentary term. Two primary challenges they face are the emergence of new competitors—new legislative candidates—and other incumbents who also seek to retain their positions in the same electoral district, whether from the same party or different parties. Patronage strategies are often employed in this fierce competition. Since all candidates use this strategy, patronage practices have become increasingly competitive. One advantage for incumbents is the allocation of aspiration funds they receive annually, including in Karanganyar Regency. This study delves into the clientelism practices of legislators in utilizing aspiration fund allocations to support vote acquisition in voter base areas in Karanganyar Regency, Central Java. The thesis demonstrates how the aspiration function, wrapped in clientelism practices, is used to maintain a support base. The research question posed is, “How are aspiration funds used to perform the representation function while simultaneously engaging in clientelism practices by incumbent legislators?” The research method employed is a descriptive qualitative approach with a multi-case study design, involving electoral districts 1 and 3 of Karanganyar from the Golkar Party and PKS. The findings reveal that, first, recess activities and the aspiration funds within them represent a representation function carried out by incumbents, but this is limited in scope, as incumbents rarely perform their representation function outside of recess activities. Second, recess activities are used as a tool to accommodate the interests of constituents (voter bases) and are very limited in accommodating public (general) interests in the electoral districts. Consequently, the representation function becomes narrowly focused. Third, representation practices occur in the form of clientelism, characterized by the distribution of material benefits (development programs) sourced from aspiration funds. These funds are utilized to maintain constituent loyalty and create inequality in power relations. Fourth, the impact on vote acquisition is limited if not accompanied by social bonding and vote buying. Fifth, differences in the representation function between the Golkar Party and PKS lie in the ways aspiration funds are used. PKS incumbents perform representation functions and clientelistic practices while maintaining their ideological base. Meanwhile, the patterns in electoral districts 1 and 3 show no significant differences.

Kata Kunci : dana aspirasi, klientelisme, incumbent (petahana)

  1. S2-2024-495120-abstract.pdf  
  2. S2-2024-495120-bibliography.pdf  
  3. S2-2024-495120-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2024-495120-title.pdf  
  5. S2-2025-495120-abstract.pdf  
  6. S2-2025-495120-bibliography.pdf  
  7. S2-2025-495120-tableofcontent.pdf  
  8. S2-2025-495120-title.pdf