Laporkan Masalah

Delimitation of the Maritime Boundaries of the Indonesia-Malaysia Exclusive Economic Zone in the South China Sea by Considering the 2022 Malaysian Basepoints

DAVID CLEO GULTOM, I Made Andi Arsana, S.T., ME., Ph.D

2025 | Skripsi | TEKNIK GEODESI

Indonesia dan Malaysia, sebagai negara tetangga dengan kepentingan maritim yang signifikan, menghadapi tantangan kompleks dalam penentuan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka di Laut China Selatan. Ketidaksepakatan mengenai garis dasar yang disetujui untuk Malaysia, terutama setelah diperkenalkannya Titik Dasar Koordinat Geografis pada tahun 2022, telah menyebabkan peningkatan tumpang tindih klaim ZEE. Tumpang tindih ini menimbulkan tantangan besar dalam pengelolaan sumber daya dan penegakan hukum, yang memerlukan penetapan batas maritim yang tepat dan adil. Studi ini bertujuan untuk mengatasi tantangan-tantangan tersebut dengan menggunakan pendekatan tiga tahap, yang menekankan peran penting dari titik dasar Malaysia tahun 2022.

Penelitian ini menggunakan pendekatan tiga tahap untuk menetapkan batas maritim antara Indonesia dan Malaysia di Laut China Selatan. Metode ini melibatkan konstruksi garis batas sementara yang setara, modifikasi garis-garis tersebut berdasarkan keadaan relevan, dan uji ketidakseimbangan dengan rasio antara area relevan dan panjang garis pantai yang relevan. Proses pengumpulan data mencakup georeferensi wilayah administratif serta visualisasi hak maritim dan klaim menggunakan diagram Voronoi. Analisis juga meninjau potensi tumpang tindih ZEE yang diukur dari garis dasar kepulauan Indonesia dan garis dasar normal serta lurus Malaysia. Pendekatan komprehensif ini memastikan bahwa penetapan batas maritim dilakukan dengan tepat dan adil.

Studi ini menyediakan empat opsi batas ZEE Indonesia-Malaysia, dengan tiga di antaranya dianggap adil. Penggunaan diagram Voronoi membantu memvisualisasikan hak-hak maritim dan klaim secara akurat, sehingga berkontribusi pada penetapan batas yang lebih tepat. Hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada rasio yang melebihi 1:1,3 baik dalam hal garis pantai maupun area relevan, yang menunjukkan distribusi klaim ZEE yang seimbang. Penelitian ini menekankan pentingnya presisi dan konsensus dalam menetapkan batas maritim yang jelas dan diterima bersama. Studi ini memberikan kontribusi signifikan terhadap diskusi yang sedang berlangsung mengenai pengelolaan sumber daya yang efektif di Laut China Selatan, serta menyoroti perlunya pendekatan terkoordinasi untuk mengelola klaim ZEE yang tumpang tindih secara efektif. Temuan penelitian ini menawarkan wawasan tentang bagaimana menyeimbangkan kedaulatan dengan kewajiban internasional, serta memastikan praktik pengelolaan maritim yang berkelanjutan.

Indonesia and Malaysia, neighboring countries with significant maritime interests, face complex challenges in delineating their Exclusive Economic Zones (EEZ) in the South China Sea. The absence of an agreed-upon baseline for Malaysia, particularly after introducing the Geographic Coordinate Basepoint in 2022, has led to increased overlap in EEZ claims. This overlap poses significant challenges for resource management and legal enforcement, necessitating a precise and equitable delimitation of maritime boundaries. The study aims to address these challenges by employing a three-stage approach, emphasizing the pivotal role of Malaysia's 2022 basepoint.

The research employs a three-stage approach to delimit the maritime boundaries of Indonesia and Malaysia in the South China Sea. This method involves constructing provisional boundary lines which are equidistant, modifying these lines based on relevant circumstances, and conducting a disproportionality test with the ratio of the relevant area and the length of the relevant coastlines. The data collection process includes georeferencing administrative regions and visualizing maritime entitlements and claims using Voronoi Diagrams. The analysis also examines potential overlaps of EEZ measured from Indonesia's archipelagic baseline and Malaysia's normal and straight baselines. This comprehensive approach ensures that the delimitation is both precise and equitable.

The study provides four EEZ Indonesia-Malaysia boundary options, with three of them considered equitable. The use of Voronoi Diagrams helps visualize these maritime entitlements and claims accurately, contributing to precise boundary delineation. The results show that none of the ratios exceed more than 1:1.3 in both relevant coast and relevant areas, indicating a balanced distribution of EEZ claims. This research underscores the importance of precision and consensus in establishing clear and mutually accepted maritime boundaries. It contributes significantly to ongoing discussions on effective resource governance in the South China Sea, highlighting the need for a coordinated approach to manage overlapping EEZ claims effectively. The study's findings offer insights into how to balance sovereignty with international obligations, ensuring sustainable maritime management practices.

Kata Kunci : Indonesia, Malaysia, UNCLOS 1982, Delimitation, Exclusive Economic Zone, EEZ, Voronoi Diagram, Maritime Boundaries, South China Sea

  1. S1-2025-460246-abstract.pdf  
  2. S1-2025-460246-bibliography.pdf  
  3. S1-2025-460246-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2025-460246-title.pdf