Pekerjaan Serius Gaji Bercanda: Prekariat Tenaga Akademik di Universitas Sawang Sinawang

Ririn Purba, Prof. Dr. Pujo Semedi Hargo Yuwono, M.A.

2025 | Tesis | S2 Antropologi

Profesi tenaga akademik sering dianggap mapan dan sejahtera. Namun, munculnya tagar #Janganjadidosen di media sosial X pada Februari 2024 mengungkap beban kerja dosen yang tinggi dengan kompensasi tidak sebanding. Survei di tiga universitas besar Indonesia menunjukkan gaji dosen di bawah tiga juta rupiah per bulan. Universitas Sawang Sinawang (USS), meskipun memiliki reputasi besar, mencerminkan ketimpangan serupa dalam kesejahteraan tenaga akademiknya. Muncullah pertanyaan, bagaimana kehidupan mata pencaharian (livelihood) tenaga akademik di Universitas Sawang Sinawang?; dan Mengapa mereka bertahan di tengah kehidupan pekerjaan yang tidak pasti (prekariat)?

Tujuan dari penelitian ini tentunya untuk menganalisis kehidupan tenaga akademik di USS dan memberikan pemahaman terkait kondisi sebenarnya yang dihadapi tenaga akademik di universitas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari lima modal livelihood yang diperlukan untuk menunjang pekerjaan tenaga akademik, empat di antaranya menunjukkan tingkat kerentanan tinggi, menempatkan mereka dalam kelas prekariat. Keberadaan patron atau middleman memperburuk kondisi ini, memperkuat ketergantungan dan subordinasi terhadap universitas. Mereka mampu bertahan sebagai prekariat tenaga akademik karena didorong oleh dedikasi dan rasa cinta, harapan akan status pegawai tetap, dan optimisme terhadap kebijakan yang lebih adil terkait pengupahan dan beban kerja di masa depan. Selain itu, dukungan keluarga, warisan, usaha, serta penghasilan tambahan dari pekerjaan lain menjadi faktor penting dalam menjaga keberlanjutan hidup mereka.

Penelitian ini mengkritik pandangan Guy Standing (2011) bahwa prekariat masih "in the making" di negara Global South. Di Indonesia, prekariat telah lama eksis dan berkontribusi signifikan terhadap ekonomi nasional. Dalam konteks tenaga akademik, prekariat telah menjadi bentuk pekerjaan yang relatif permanen. Identitas sebagai akademisi tetap dipertahankan, menjadi landasan bagi pengakuan diri mereka sebagai bagian komunitas intelektual. Berbeda dengan pandangan Standing yang menyebut prekariat enggan terikat pada institusi, tenaga akademik di USS justru berharap mendapatkan legitimasi dan pengakuan di tengah eksploitasi struktural yang mereka alami.

The academic profession is often regarded as stable and prosperous. However, the emergence of the hashtag #Janganjadidosen (“Don’t Become a Lecturer”) on the social media platform X in February 2024 revealed the high workload faced by lecturers, which is disproportionate to their compensation. A survey conducted at three major universities in Indonesia found that lecturers earn less than three million rupiah per month. Universitas Sawang Sinawang (USS), despite its prestigious reputation, reflects similar disparities in the welfare of its academic workers. This raises questions: What is the livelihood of academic staff at Universitas Sawang Sinawang? and Why do they persist in the midst of precarious working conditions?

The objective of this study is to analyze the livelihood of academic workers at USS and provide insights into the realities they face.

The findings reveal that of the five livelihood assets required to support their work, four demonstrate high levels of vulnerability, placing them in the precariat class. The presence of patrons or middlemen worsens these conditions, reinforcing dependency and subordination to the university. Academic staff in this precarious condition persist due to their dedication and love for the profession, hopes of securing permanent employment, and optimism about future policies ensuring fairer wages and workload distribution. Additionally, support from family, inheritance, entrepreneurial ventures, and supplementary income significantly contribute to their livelihood sustainability.

This study critiques Guy Standing’s (2011) argument that the precariat is still "in the making" in Global South countries. In reality, the precariat has long existed in Indonesia and significantly contributes to the national economy. In the context of academic staff, precarious employment has become a relatively permanent form of work. Their identity as academics is maintained and holds great significance, forming the foundation of their self-recognition as part of the intellectual community. Contrary to Standing’s claim that the precariat avoids affiliation with established institutions, precarious academic staff at USS aspire to gain legitimacy and recognition despite the structural exploitation they endure.

Kata Kunci : pekerja akademik, prekariat, prekariat akademik, neoliberalisme universitas, Perguruan Tinggi, Indonesia/ academic workers, precariat, academic precariat, neoliberalism university, higher education, Indonesia