Laporkan Masalah

Involusi Hutan Rakyat di Kabupaten Ciamis (Lingkaran Kemiskinan dan Keberlanjutan Ekologi)

EVA FAUZIYAH, Prof. Dr. San Afri Awang, M.Sc.; Priyono Suryanto, S.Hut., M.P., Phd.; Dr. Ir. Budiman Achmad, M.For.Sc.

2024 | Disertasi | S3 Ilmu Kehutanan

Involusi pertanian adalah stagnasi atau kemunduran pola pertanian akibat pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi penambahan luas lahan garapan sehingga mendorong fragementasi lahan dan memicu terjadinya kemiskinan bersama (shared  poverty). Involusi juga berpotensi terjadi pada hutan rakyat karena sudah ada gejala awal berupa lahan yang sempit. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan penjelasan mengenai gejala involusi di hutan rakyat, sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah pertama memperoleh data dan penjelasan mengenai dinamika pemilikan lahan hutan rakyat, ketimpangan, dan kemiskinan petani hutan rakyat; kedua memperoleh data dan penjelasan mengenai kondisi pengelolaan dan performansi hutan rakyat, dan ketiga memperoleh data dan penjelasan mengenai perubahan sistem sosial ekologi (SSE) hutan rakyat, resiliensi dan strategi adaptasi penghidupan petani hutan rakyat. 

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat dengan memilih tiga desa yang mewakili wilayah ketinggian, yaitu Desa Kalijaya Kecamatan Banjaranyar (dataran rendah), Desa Mekarjaya Kecamatan Baregbeg (dataran sedang), dan Desa Hujungtiwu Kecamatan Panjalu (dataran tinggi). Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai dengan bulan Agustus 2022. Beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah involusi (Geertz, 1983), performansi (Conway, 1987), sistem sosial ekologi (SSE) (Anderies et al., 2004; Ostrom, 2009) dan DPSIR (Drivers, Pressures, State, Impact, Responses), modal penghidupan (DFID, 1999; Scoones, 1998), resiliensi (Alliancecpha, 2016), dan strategi adaptasi penghidupan (Scoones, 1998; Suharto, 2009). Data penelitian yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara terstruktur menggunakan kuesioner, wawancara mendalam, Focus Group Discussion (FGD), dan pengamatan lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait untuk mendukung hasil penelitian.  Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif sesuai dengan tujuannya. Pengolahan dan analisis data meliputi kategorisasi, skoring, grafik, dan tabulasi. Beberapa rumus yang spesifik digunakan untuk menghitung pendapatan, indeks gini, indeks fragmentasi dan tingkat kemiskinan berdasarkan kriteria BPS. Seluruh data yang diperolah kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, pemilikan lahan hutan rakyat di tiga lokasi penelitian mengalami perubahan akibat fragmentasi lahan. Fragmentasi lahan menyebabkan luas kepemilikan lahan huan rakyat menyempit, terutama di Desa Mekarjaya (0,39 ha) dan Hujungtiwu (0,58 ha), dibandingkan di Desa Kalijaya (1,81 ha).  Pendapatan dari hutan rakyat juga berbeda signifikan, rumahtangga petani di Desa Kalijaya mencatat rata-rata pendapatan tertinggi (Rp 34.274.852 per tahun), dibandingkan Desa Mekarjaya (Rp5.023.264 per tahun) dan Desa Hujungtiwu (Rp10.768.364 per tahun). Perbedaan luas lahan dan pendapatan petani memperlihatkan adanya ketimpangan. Ketimpangan lahan dan pendapatan hutan rakyat “tidak merata“ di semua lokasi, dengan indeks Gini tertinggi adalah ketimpangan pendapatan di Hujungtiwu (0,74. Secara keseluruhan, tingkat ketimpangan di ketiga lokasi penelitian termasuk dalam kategori "kurang merata". Kondisi ini terlihat juga pada kondisi jumlah petani miskin yang lebih banyak di Mekarjaya (51%) dan Hujungtiwu (47%) dibandingkan Kalijaya (30%), yang mencerminkan keterbatasan akses lahan di Desa Mekarjaya dan Hujungtiwu dibandingkan di Desa Kalijaya.  Keterbatasan akses terhadap lahan ini menunjukkan bahwa petani tidak dapat sepenuhnya bergantung pada pengelolaan hutan rakyat. 

Kedua, pengelolaan hutan rakyat di ketiga lokasi penelitian memiliki pola yang hampir sama, meskipun berbeda ketinggian. Secara keseluruhan, intensitas pengelolaan hutan rakyat di Desa Kalijaya lebih tinggi dibandingkan Desa Mekarjaya dan Desa Hujungtiwu. Pengelolaan hutan rakyat yang meliputi subsistem produksi, pengolahan, dan pemasaran, di Desa Kalijaya tergolong tinggi (skor 2,35), sedangkan di Desa Mekarjaya dan Desa Hujungtiwu tergolong sedang (skor masing-masing 1,69 dan 1,68). Kondisi pengelolaan hutan rakyat berkorelasi positif dengan performansi hutan rakyat. Di Desa Kalijaya, performansi hutan rakyat tergolong tinggi dengan skor 2,35, didorong oleh elemen keadilan, efisiensi, dan keberlanjutan yang tinggi, tetapi produktivitas rendah.  Performansi hutan rakyat di Desa Mekarjaya dan Desa Hujungtiwu tergolong sedang dengan skor masing-masing 2,05 dan 2,17, dengan elemen keadilan dan efisiensi tinggi, produktivitas rendah, dan keberlanjutan sedang.  Perbedaan elemen performansi, terutama pada produktivitas dan keberlanjutan, menunjukkan bahwa meskipun hutan rakyat belum memberikan hasil ekonomi yang optimal, tetapi keberlanjutannya tetap terjaga. 

Ketiga, perubahan sistem sosial-ekologi (SSE) hutan rakyat di ketiga lokasi menunjukkan pola serupa, dengan interaksi antara komponen sumber daya hutan rakyat, petani, lembaga pemerintah dan non-pemerintah, serta aturan kelembagaan. Interaksi tersebut menyebabkan adanya perubahan yang terlihat dari outcome sosial berupa produktivitas/pendapatan rendah dan kemiskinan, dan outcome ekologi berupa keberlajutan hutan rakyat tinggi dan tutupan lahan meningkat. Petani merespon perubahan SSE dengan strategi adaptasi berbasis modal penghidupan, seperti modal finansial, manusia, sosial, fisik, dan alam. Desa Kalijaya memiliki modal penghidupan yang lebih baik, terutama modal fisik dan sosial, dibandingkan Mekarjaya dan Hujungtiwu. Tingkat resiliensi rumah tangga petani tergolong sedang, dengan skor tertinggi di Kalijaya (57,08), diikuti Mekarjaya (48,45) dan Hujungtiwu (48,55). Kalijaya juga memiliki lebih banyak rumah tangga petani dengan resiliensi tinggi (36,67%) dibandingkan dua desa lainnya.  Strategi adaptasi penghidupan yang paling banyak dilakukan dalam menghadapi perubahan SSE adalah strategi aktif meliputi diversifikasi pekerjaan (sektor non pertanian), migrasi, mengubah pola tanam hutan rakyat menjadi agroforestri, dan membiarkan hutan rakyat tumbuh seadanya, serta menjual aset berupa ternak atau ikan untuk bertahan hidup. 

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa involusi telah terjadi pada hutan rakyat di Kabupaten Ciamis yang disebabkan oleh pertambahan penduduk (tenaga kerja dalam keluarga), fragmentasi lahan, produktivitas dan pendaptan rendah, hutan rakyat menjadi usaha utama namun kontribusinya rendah, adanya kemiskinan serta banyaknya petani yang memilih pekerjaan di luar sektor hutan rakyat sebagai strategi adaptasi penghidupan. Namun berbeda dengan involusi pertanian, meskipun mengalami involusi, hutan rakyat tetap berkontribusi terhadap lingkungan melalui keberlanjutan yang tinggi dan tutupan lahan hutan rakyat yang meningkat.Involusi pertanian adalah stagnasi atau kemunduran pola pertanian akibat pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi penambahan luas lahan garapan sehingga mendorong fragementasi lahan dan memicu terjadinya kemiskinan bersama (shared  poverty). Involusi juga berpotensi terjadi pada hutan rakyat karena sudah ada gejala awal berupa lahan yang sempit. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk memperoleh data dan penjelasan mengenai gejala involusi di hutan rakyat, sedangkan tujuan khusus penelitian ini adalah pertama memperoleh data dan penjelasan mengenai dinamika pemilikan lahan hutan rakyat, ketimpangan, dan kemiskinan petani hutan rakyat; kedua memperoleh data dan penjelasan mengenai kondisi pengelolaan dan performansi hutan rakyat, dan ketiga memperoleh data dan penjelasan mengenai perubahan sistem sosial ekologi (SSE) hutan rakyat, resiliensi dan strategi adaptasi penghidupan petani hutan rakyat. 

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat dengan memilih tiga desa yang mewakili wilayah ketinggian, yaitu Desa Kalijaya Kecamatan Banjaranyar (dataran rendah), Desa Mekarjaya Kecamatan Baregbeg (dataran sedang), dan Desa Hujungtiwu Kecamatan Panjalu (dataran tinggi). Penelitian dilakukan pada bulan Februari sampai dengan bulan Agustus 2022. Beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini adalah involusi (Geertz, 1983), performansi (Conway, 1987), sistem sosial ekologi (SSE) (Anderies et al., 2004; Ostrom, 2009) dan DPSIR (Drivers, Pressures, State, Impact, Responses), modal penghidupan (DFID, 1999; Scoones, 1998), resiliensi (Alliancecpha, 2016), dan strategi adaptasi penghidupan (Scoones, 1998; Suharto, 2009). Data penelitian yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara terstruktur menggunakan kuesioner, wawancara mendalam, Focus Group Discussion (FGD), dan pengamatan lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi terkait untuk mendukung hasil penelitian.  Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif sesuai dengan tujuannya. Pengolahan dan analisis data meliputi kategorisasi, skoring, grafik, dan tabulasi. Beberapa rumus yang spesifik digunakan untuk menghitung pendapatan, indeks gini, indeks fragmentasi dan tingkat kemiskinan berdasarkan kriteria BPS. Seluruh data yang diperolah kemudian diolah dan dianalisis secara deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, pemilikan lahan hutan rakyat di tiga lokasi penelitian mengalami perubahan akibat fragmentasi lahan. Fragmentasi lahan menyebabkan luas kepemilikan lahan huan rakyat menyempit, terutama di Desa Mekarjaya (0,39 ha) dan Hujungtiwu (0,58 ha), dibandingkan di Desa Kalijaya (1,81 ha).  Pendapatan dari hutan rakyat juga berbeda signifikan, rumahtangga petani di Desa Kalijaya mencatat rata-rata pendapatan tertinggi (Rp 34.274.852 per tahun), dibandingkan Desa Mekarjaya (Rp5.023.264 per tahun) dan Desa Hujungtiwu (Rp10.768.364 per tahun). Perbedaan luas lahan dan pendapatan petani memperlihatkan adanya ketimpangan. Ketimpangan lahan dan pendapatan hutan rakyat “tidak merata“ di semua lokasi, dengan indeks Gini tertinggi adalah ketimpangan pendapatan di Hujungtiwu (0,74. Secara keseluruhan, tingkat ketimpangan di ketiga lokasi penelitian termasuk dalam kategori "kurang merata". Kondisi ini terlihat juga pada kondisi jumlah petani miskin yang lebih banyak di Mekarjaya (51%) dan Hujungtiwu (47%) dibandingkan Kalijaya (30%), yang mencerminkan keterbatasan akses lahan di Desa Mekarjaya dan Hujungtiwu dibandingkan di Desa Kalijaya.  Keterbatasan akses terhadap lahan ini menunjukkan bahwa petani tidak dapat sepenuhnya bergantung pada pengelolaan hutan rakyat. 

Kedua, pengelolaan hutan rakyat di ketiga lokasi penelitian memiliki pola yang hampir sama, meskipun berbeda ketinggian. Secara keseluruhan, intensitas pengelolaan hutan rakyat di Desa Kalijaya lebih tinggi dibandingkan Desa Mekarjaya dan Desa Hujungtiwu. Pengelolaan hutan rakyat yang meliputi subsistem produksi, pengolahan, dan pemasaran, di Desa Kalijaya tergolong tinggi (skor 2,35), sedangkan di Desa Mekarjaya dan Desa Hujungtiwu tergolong sedang (skor masing-masing 1,69 dan 1,68). Kondisi pengelolaan hutan rakyat berkorelasi positif dengan performansi hutan rakyat. Di Desa Kalijaya, performansi hutan rakyat tergolong tinggi dengan skor 2,35, didorong oleh elemen keadilan, efisiensi, dan keberlanjutan yang tinggi, tetapi produktivitas rendah.  Performansi hutan rakyat di Desa Mekarjaya dan Desa Hujungtiwu tergolong sedang dengan skor masing-masing 2,05 dan 2,17, dengan elemen keadilan dan efisiensi tinggi, produktivitas rendah, dan keberlanjutan sedang.  Perbedaan elemen performansi, terutama pada produktivitas dan keberlanjutan, menunjukkan bahwa meskipun hutan rakyat belum memberikan hasil ekonomi yang optimal, tetapi keberlanjutannya tetap terjaga. 

Ketiga, perubahan sistem sosial-ekologi (SSE) hutan rakyat di ketiga lokasi menunjukkan pola serupa, dengan interaksi antara komponen sumber daya hutan rakyat, petani, lembaga pemerintah dan non-pemerintah, serta aturan kelembagaan. Interaksi tersebut menyebabkan adanya perubahan yang terlihat dari outcome sosial berupa produktivitas/pendapatan rendah dan kemiskinan, dan outcome ekologi berupa keberlajutan hutan rakyat tinggi dan tutupan lahan meningkat. Petani merespon perubahan SSE dengan strategi adaptasi berbasis modal penghidupan, seperti modal finansial, manusia, sosial, fisik, dan alam. Desa Kalijaya memiliki modal penghidupan yang lebih baik, terutama modal fisik dan sosial, dibandingkan Mekarjaya dan Hujungtiwu. Tingkat resiliensi rumah tangga petani tergolong sedang, dengan skor tertinggi di Kalijaya (57,08), diikuti Mekarjaya (48,45) dan Hujungtiwu (48,55). Kalijaya juga memiliki lebih banyak rumah tangga petani dengan resiliensi tinggi (36,67%) dibandingkan dua desa lainnya.  Strategi adaptasi penghidupan yang paling banyak dilakukan dalam menghadapi perubahan SSE adalah strategi aktif meliputi diversifikasi pekerjaan (sektor non pertanian), migrasi, mengubah pola tanam hutan rakyat menjadi agroforestri, dan membiarkan hutan rakyat tumbuh seadanya, serta menjual aset berupa ternak atau ikan untuk bertahan hidup. 

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa involusi telah terjadi pada hutan rakyat di Kabupaten Ciamis yang disebabkan oleh pertambahan penduduk (tenaga kerja dalam keluarga), fragmentasi lahan, produktivitas dan pendaptan rendah, hutan rakyat menjadi usaha utama namun kontribusinya rendah, adanya kemiskinan serta banyaknya petani yang memilih pekerjaan di luar sektor hutan rakyat sebagai strategi adaptasi penghidupan. Namun berbeda dengan involusi pertanian, meskipun mengalami involusi, hutan rakyat tetap berkontribusi terhadap lingkungan melalui keberlanjutan yang tinggi dan tutupan lahan hutan rakyat yang meningkat.

Agricultural involution is the stagnation or decline of agricultural patterns due to population growth that is not matched by an increase in cultivated land, thus promoting land fragmentation and triggering shared poverty. Involution may also occur in Privately Owned Forest (POFs), as indicated by early signs such as limited land availability  The general objective of this research is to obtain data and explanations on the symptoms of involution in POFs, while the specific objectives of this research are, first, to obtain data and explanations on the dynamics of POF land tenure, inequality and poverty of POF farmers; second, to obtain data and explanations on the management conditions and performance of POFs; and third, to obtain data and explanations on changes in the social-ecological system (SES) of POFs, resilience and livelihood adaptation strategies of POF farmers. 

This research was conducted in Ciamis Regency, West Java Province, by selecting three villages representing the altitude region, namely Kalijaya village, Banjaranyar Subdistrict (lowland), Mekarjaya village, Baregbeg Subdistrict (midland), and Hujungtiwu village, Panjalu Subdistrict (upland), between February and August 2022. Some of the concepts used in this research are involution (Geertz, 1983), performance (Conway, 1987), social ecological system (SSE) (Anderies et al., 2004; Ostrom, 2009) and DPSIR (Drivers, Pressures, State, Impact, Responses), livelihood capital (Scoones, 1998; Suharto, 2009), resilience (Alliancecpha, 2016) and livelihood adaptation strategies (Scoones, 1998). The research data collected included primary and secondary data. Primary data were collected through structured interviews using questionnaires, in-depth interviews, Focus Group Discussions (FGDs) and field observations.  Data analysis was quantitative and qualitative according to the objectives, while secondary data supplemented the findings. Data were analysed quantitatively and qualitatively using categorisation, scoring, graphing and tabulation. Specific calculations such as land fragmentation, income, Gini index and poverty levels based on national standards (BPS) were carried out and analysed descriptively.

The results showed that, firstly, POF land ownership in the three research sites has changed due to land fragmentation, resulting in smaller land holdings, particularly in Mekarjaya (0.39 ha) and Hujungtiwu (0.58 ha) compared to Kalijaya (1.81 ha).  Farmers' income from POF also varied significantly, with Kalijaya village having the highest average income (IDR 34,274,852 per year) compared to Mekarjaya village (IDR 5,023,264 per year) and Hujungtiwu village (IDR 10,768,364 per year.  These differences reflect the inequality of land and income. POF land and income inequality is 'unequal' in all locations, with the highest Gini index being income inequality in Hujungtiwu (0.74). Overall, the level of inequality in the three study areas falls into the category of 'unequal'. Land condition and income have a significant impact on the economic condition of farming households. The number of poor farmers is higher in Mekarjaya (51%) and Hujungtiwu (47%) than in Kalijaya, highlighting the limited access to land in the former two villages.

Secondly, the pattern of POF management in the three study sites is almost the same, although it differs in altitude. Based on the assessment of the production, processing and marketing sub-systems, the intensity of POF management was highest in Kalijaya, classified as 'high' (score 2.35), compared to 'moderate' in Mekarjaya and Hujungtiwu (scores 1.69 and 1.68 respectively). The state of POF management is positively correlated with POF performance. POF performance was highest in Kalijaya (score of 2.35), driven by high equity, efficiency and sustainability, although productivity was low.  Conversely, Mekarjaya and Hujungtiwu had moderate performance (scores of 2.05 and 2.17 respectively), with high equity and efficiency, low productivity and moderate sustainability.  This suggests that while POFs may not be generating optimal economic returns, their sustainability remains intact.

Thirdly, changes in the social-ecological system (SES) of POF in the three sites show a similar pattern, with interactions between components of POF resources, farmers,  government and non-government institutions, and institutional rules. These interactions cause changes that can be seen in social outcomes in the form of low productivity/income and poverty, and in environmental outcomes in the form of high private forest sustainability and increased land cover. Farmers respond to SSE changes with adaptation strategies based on livelihood capital, such as financial, human, social, physical, and natural capital. Kalijaya village has better livelihood capital, especially physical and social capital, compared to Mekarjaya and Hujungtiwu. The level of resilience of farming households is classified as medium, with the highest score in Kalijaya (57.08), followed by Mekarjaya (48.45) and Hujungtiwu (48.55). Kalijaya also has more households with high resilience (36.67%) than the other two villages.  The most common livelihood adaptation strategies in the face of SSE changes are active strategies, including diversification of employment (non-agricultural sectors), migration, changing POF cropping patterns to agroforestry, and abandoning POF.

From the above description, it can be concluded that involution has occurred in privately owned forest in Ciamis Regency due to population growth (family labour), land fragmentation, low productivity and income, privately owned forest being the main business but the contribution is low, poverty and the number of farmers choosing jobs outside the privately owned forest sector as a livelihood adaptation strategy. However, unlike agricultural involution, despite experiencing involution, privately owned forest still contributes to the environment through high sustainability and increased private forest cover.

Agricultural involution is the stagnation or decline of agricultural patterns due to population growth that is not matched by an increase in cultivated land, thus promoting land fragmentation and triggering shared poverty. Involution may also occur in Privately Owned Forest (POFs), as indicated by early signs such as limited land availability  The general objective of this research is to obtain data and explanations on the symptoms of involution in POFs, while the specific objectives of this research are, first, to obtain data and explanations on the dynamics of POF land tenure, inequality and poverty of POF farmers; second, to obtain data and explanations on the management conditions and performance of POFs; and third, to obtain data and explanations on changes in the social-ecological system (SES) of POFs, resilience and livelihood adaptation strategies of POF farmers. 

This research was conducted in Ciamis Regency, West Java Province, by selecting three villages representing the altitude region, namely Kalijaya village, Banjaranyar Subdistrict (lowland), Mekarjaya village, Baregbeg Subdistrict (midland), and Hujungtiwu village, Panjalu Subdistrict (upland), between February and August 2022. Some of the concepts used in this research are involution (Geertz, 1983), performance (Conway, 1987), social ecological system (SSE) (Anderies et al., 2004; Ostrom, 2009) and DPSIR (Drivers, Pressures, State, Impact, Responses), livelihood capital (Scoones, 1998; Suharto, 2009), resilience (Alliancecpha, 2016) and livelihood adaptation strategies (Scoones, 1998). The research data collected included primary and secondary data. Primary data were collected through structured interviews using questionnaires, in-depth interviews, Focus Group Discussions (FGDs) and field observations.  Data analysis was quantitative and qualitative according to the objectives, while secondary data supplemented the findings. Data were analysed quantitatively and qualitatively using categorisation, scoring, graphing and tabulation. Specific calculations such as land fragmentation, income, Gini index and poverty levels based on national standards (BPS) were carried out and analysed descriptively.

The results showed that, firstly, POF land ownership in the three research sites has changed due to land fragmentation, resulting in smaller land holdings, particularly in Mekarjaya (0.39 ha) and Hujungtiwu (0.58 ha) compared to Kalijaya (1.81 ha).  Farmers' income from POF also varied significantly, with Kalijaya village having the highest average income (IDR 34,274,852 per year) compared to Mekarjaya village (IDR 5,023,264 per year) and Hujungtiwu village (IDR 10,768,364 per year.  These differences reflect the inequality of land and income. POF land and income inequality is 'unequal' in all locations, with the highest Gini index being income inequality in Hujungtiwu (0.74). Overall, the level of inequality in the three study areas falls into the category of 'unequal'. Land condition and income have a significant impact on the economic condition of farming households. The number of poor farmers is higher in Mekarjaya (51%) and Hujungtiwu (47%) than in Kalijaya, highlighting the limited access to land in the former two villages.

Secondly, the pattern of POF management in the three study sites is almost the same, although it differs in altitude. Based on the assessment of the production, processing and marketing sub-systems, the intensity of POF management was highest in Kalijaya, classified as 'high' (score 2.35), compared to 'moderate' in Mekarjaya and Hujungtiwu (scores 1.69 and 1.68 respectively). The state of POF management is positively correlated with POF performance. POF performance was highest in Kalijaya (score of 2.35), driven by high equity, efficiency and sustainability, although productivity was low.  Conversely, Mekarjaya and Hujungtiwu had moderate performance (scores of 2.05 and 2.17 respectively), with high equity and efficiency, low productivity and moderate sustainability.  This suggests that while POFs may not be generating optimal economic returns, their sustainability remains intact.

Thirdly, changes in the social-ecological system (SES) of POF in the three sites show a similar pattern, with interactions between components of POF resources, farmers,  government and non-government institutions, and institutional rules. These interactions cause changes that can be seen in social outcomes in the form of low productivity/income and poverty, and in environmental outcomes in the form of high private forest sustainability and increased land cover. Farmers respond to SSE changes with adaptation strategies based on livelihood capital, such as financial, human, social, physical, and natural capital. Kalijaya village has better livelihood capital, especially physical and social capital, compared to Mekarjaya and Hujungtiwu. The level of resilience of farming households is classified as medium, with the highest score in Kalijaya (57.08), followed by Mekarjaya (48.45) and Hujungtiwu (48.55). Kalijaya also has more households with high resilience (36.67%) than the other two villages.  The most common livelihood adaptation strategies in the face of SSE changes are active strategies, including diversification of employment (non-agricultural sectors), migration, changing POF cropping patterns to agroforestry, and abandoning POF.

From the above description, it can be concluded that involution has occurred in privately owned forest in Ciamis Regency due to population growth (family labour), land fragmentation, low productivity and income, privately owned forest being the main business but the contribution is low, poverty and the number of farmers choosing jobs outside the privately owned forest sector as a livelihood adaptation strategy. However, unlike agricultural involution, despite experiencing involution, privately owned forest still contributes to the environment through high sustainability and increased private forest cover.

Kata Kunci : fragmentasi lahan, hutan rakyat, involusi, kemiskinan, performansi, sistem sosial ekologi (SSE); fragmentation, privately owned forests, involution, poverty, performance, social-ecological systems (SES) ?

  1. S3-2024-468152-abstract.pdf  
  2. S3-2024-468152-bibliography.pdf  
  3. S3-2024-468152-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2024-468152-title.pdf