Ironi Rasa Manis Hasil Nitis: Potret Kehidupan Penderes Legen Kelapa di Desa Hargotirto, Kokap, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta
FARISKA NOVIANTI, Dr. Atik Triratnawati, M.A.
2024 | Skripsi | ANTROPOLOGI BUDAYA
Nderes legen kelapa merupakan mata pencaharian utama sebagian besar masyarakat Pegunungan Menoreh. Pekerjaan tersebut memiliki risiko kecelakaan kerja sangat tinggi, tetapi penghasilan yang didapatkan tidak setara. Umumnya, pengetahuan akan praktik nderes diperoleh secara turun-menurun. Penderes patut memiliki keberanian dan tekad yang tinggi untuk memanjat. Bilamana bekal utama tidak dikantongi, nderes tidak bisa dilakukan. Sebagai pekerjaan yang terhitung rekoso, absennya generasi muda pada pekerjaan tersebut dapat dimaklumi seperti halnya yang terjadi di Desa Hargotirto, Kulon Progo. Persoalan ini tidak terlepas dari berdirinya Yogyakarta International Airport (YIA) yang kemudian menjadi pemantik pelbagai wacana pembangunan di wilayah sekitar. Tulisan ini berupaya menyelisik tentang alasan pemertahanan para penderes legen kelapa di Desa Hargotirto di tengah perubahan yang terjadi akibat pembangunan tersebut dan menelaah lebih jauh terkait dampak yang dialami atau dirasakan oleh mereka.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif etnografis guna memahami dan menemukan data terkait alasan-alasan pemertahanan pekerjaan nderes legen kelapa di Desa Hargotirto secara lebih mendalam dan holistik. Guna menghasilkan pemaparan yang lebih komprehensif, maka dilakukan analisis data primer dan berusaha mendialogkan dengan data sekunder yang diperoleh dari pelbagai kajian dalam studi pustaka. Lokasi yang dipilih yaitu Dusun Soropati dan Dusun Segajih, Desa Hargotirto, Kokap, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Informan dalam penelitian ini merupakan penderes, pengrajin gula, dan pemilik pohon dengan jumlah total 9 laki-laki dan 4 perempuan. Eksplorasi atas argumentasi yang dikemukakan dilakukan kurang lebih satu bulan, tercatat sejak 6 Mei 2024 hingga 2 Juni 2024.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa berdirinya Yogyakarta International Airport (YIA) dan progam Bedah Menoreh sebagai wacana proyek terdekat dengan Desa Hargotirto rupanya tidak memberi angin segar bagi kehidupan penderes sebab keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki. Di samping itu, para penderes mempertahankan pekerjaannya sebab prinsip mengutamakan keselamatan (safety-first) yang menganggap nderes sebagai cepakan; altruisme berbentuk sikap saling membantu dan gotong royong menjadi penyokong utama dalam terbentuknya ikatan sosial. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwasanya para penderes tetap mengadopsi beberapa perubahan berkenaan dengan pekerjaannya sembari menimbang prinsip safety-first tersebut yang tampaknya konservatif, tetapi sebetulnya merupakan preferensi rasional.
Tapping of coconut neera (nderes legen kelapa) is the main livelihood of most people in the Menoreh Mountains. The job carries a very high risk of workplace accidents, but the income earned is not equivalent. Commonly, the knowledge of this practice is passed down from generation to generation. The tappers must have high courage and determination to climb. If the main supplies are not available, this activity cannot be done. As a job that is considered tough, the absence of the younger generation in the job is understandable, as is the case in Hargotirto Village, Kulon Progo. This issue is inseparable from establishment of the Yogyakarta International Airport (YIA), which then becomes a trigger for various development discourses in the area. This study aims to investigate the reasons for the retention of the coconut neera tappers in Hargotirto Village due to the changes that occurred as a result of the development and further analyse the impacts experienced by them.
This research uses a descriptive qualitative ethnographic method to understand and find data related to the main reasons for retaining the work of coconut neera tappers in Hargotirto Village in a more in-depth and holistic approach. In order to produce a more coherent explanation, the primary data was analysed and attempted to engage in dialogue from secondary data obtained from various studies in the literature. The locations chosen were Soropati Hamlet and Segajih Hamlet, Hargotirto Village, Kokap, Kulon Progo, Special Region of Yogyakarta. The informants in this study were coconut neera tappers, sugar craftsmen, and tree owners with a total of 9 men and 4 women. The exploration of the arguments presented was carried out within one month, from 6 May 2024 to 2 June 2024.
The results of the study revealed that the establishment of Yogyakarta International Airport (YIA) and the Bedah Menoreh as the closest project discourse to Hargotirto Village did not provide a welcome relief for the coconut neera tappers lives due to the limited human resources they have. In addition, coconut neera tappers maintained their work due to the principle of safety-first, which considers tapping as a handover; altruism in the form of mutual assistance and communal work became the main support in the formation of social ties. However, it cannot be denied that coconut neera tappers have been adopting some changes to their work while considering the safety-first principle, which seems conservative but is actually a rational preference.
Kata Kunci : Penderes Legen Kelapa, Mengutamakan Keselamatan, Ikatan Sosial, Ekonomi Moral, Pedesaan, Coconut Neera Tappers, Safety-First, Social Ties, Economy Moral, Rural Areas