Laporkan Masalah

Hubungan sikap dan perilaku memilih satu merek :: Komparasi antara theory of planned behavior dan theory of trying

SIHOMBING, Sabrina Oktaria, Promotor Prof.Dr. Asip F. Hadipranata, Psi

2004 | Disertasi | S3 Ilmu Ekonomi

Penelitian ini menguji dan memperbandingkan dua teori sikap, yaitu: theory of planned behavior (selanjutnya disebut TPB) dan theory of trying (selanjutnya disebut TT), untuk memahami fenomena memilih merek. TPB merupakan salah satu teori sikap yang banyak diaplikasikan dalam beragam perilaku. Di lain pihak, TT merupakan teori sikap yang lebih baru tetapi belum banyak diaplikasikan secara empiris. Walaupun kedua teori tersebut dikembangkan dari theory of reasoned action (selanjutnya disebut TRA), ada perbedaan-perbedaan dalam pemahaman akan perilaku, sikap, dan perilaku lampau pada kedua teori tersebut. Berdasarkan perbedaan-perbedaan tersebut, penelitian ini menghipotesiskan bahwa TT lebih fit dalam menjelaskan hubungan sikap dan perilaku memilih satu merek dibandingkan TPB. Penelitian ini memperluas TPB dengan menambah dua variabel baru, yaitu frekuensi dan resensi. Kedua variabel tersebut mencerminkan perilaku lampau. Penambahan variabel tersebut karena TRA dan TPB mendapat kritik khususnya berkenaan dengan adanya variabel yang relevan untuk menjelaskan niat dan perilaku tetapi tidak dimasukan dalam model, yaitu variabel perilaku lampau. Penelitian ini juga menghipotesiskan bahwa norma subyektif, dalam budaya kolektivism, merupakan prediktor yang memberikan pengaruh lebih besar terhadap niat dibandingkan prediktor lainnya baik dalam TPB maupun TT. Hal ini didasarkan pada budaya Indonesia yang kolektivism (Hofstede, 1994). Hasil penelitian-penelitian sebelumnya pada budaya individualism memperlihatkan pengaruh sikap yang lebih besar xvii terhadap niat dibandingkan pengaruh norma subyektif dan kontrol keperilakuan yang dirasakan (Ajzen 1988, 1991). Desain sampel pada penelitian ini adalah sampel bertujuan (purposive sample) dengan jumlah responden 321 mahasiswi. Penelitian ini menggunakan dua pengukuran, yaitu pengukuran langsung dan pengukuran tidak langsung (belief-based measure) dalam mengukur konstruk sikap, norma subyektif, dan kontrol keperilakuan yang dirasakan. Kemudian, data dianalisis dengan menggunakan structural equation modeling (SEM) dengan menggunakan metode estimasi maximum likelihood (ML). Dengan didasarkan pada hasil uji statistik, hasil analisis menunjukan bahwa TT lebih fit dalam menjelaskan hubungan sikap dan perilaku memilih satu merek dibandingkan TPB. Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa pengukuran langsung dan tidak langsung dapat memberikan hasil yang berbeda. Akan tetapi, posisi yang diambil penulis adalah menggunakan pengukuran langsung dalam pengujian hipotesis. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan keakuratan dan keandalan pengukuran tersebut dibandingkan dengan pengukuran tidak langsung. Hasil penelitian juga mendukung hipotesis penelitian bahwa perilaku lampau (yaitu, frekuensi) merupakan prediktor yang signifikan terhadap niat baik dalam TPB maupun TT. Hasil penelitian ini juga mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa sikap bukan sebagai prediktor yang dominan baik dalam TPB dan TT. Dengan kata lain, jika dibandingkan dengan penelitian-penelitian di negara barat, hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa budaya barat lebih menekankan sikap sebagai faktor penentu dalam proses pembelian sedangkan budaya timur lebih menekankan pada norma subyektif dibandingkan sikapnya sendiri.

This research examined and compared two attitude theories (that is, the theory of planned behavior and the theory of trying) in understanding the relationship between attitude and behavior of choosing a brand. Theory of planned behavior (TPB) is an attitude theory that is applied in many different behavioral domains. On the other side, theory of trying (TT) is a newer attitude theory that has been applied in limited areas. Both theories were developed based on theory of reasoned action (TRA). Although those theories were based on TRA, both theories have different conceptualization on behavior, attitude, and past behavior. Based on those differences, it was hypothesized in this research that TT could fit better than TPB in explaining the relationship between attitude and behavior of choosing a brand better than TPB. This research also extended TPB by adding two variables: frequency and recency. Those two variables reflect past behavior. The adding of those two variables in TPB was to accommodate the critique to TRA and TPB as those two theories exclude past behavior as a significant predictor to understand behavior intention and behavior itself. This research hypothesized that subjective norm, in collectivism culture, was a dominant predictor to intention compared to other predictors in TPB and TT. This hypothesis was based on Indonesian culture, that is, collectivism culture (Hofstede, 1994). Previous research in the individualism culture showed attitude as a dominant predictor to intention compared with subjective norms and perceived behavioral control (Ajzen, 1988, 1991). The design sample of this research was a purposive sample with 321 students who participated in a two-wave survey. This research applied two measures, that is, direct measure and belief-based measure. Then, the data was analyzed with structural equation modeling (SEM). Maximum Likelihood (ML) was applied as an appropriate estimation method. Based on statistical tests, results showed that TT was fit better than TPB in explaining of choosing a brand phenomenon. This result of this research also showed that direct measure and belief-based measure gave different results. However, the position taken by the researcher was to apply direct measure to test hypotheses. The reason was the measure gave accuracy and reliability better than belief-based measures. This research supported the hypothesis that frequency past behavior as a significant predictor to intention in TPB and TT. This research also supported the hypothesis that attitude was not a dominant predictor to intention in TPB and TT. In other words, compared to other research in individualism culture, this result showed that western culture relied on attitude as a main factor in the purchase process whereas eastern countries relied on subjective norms rather than their own attitude.

Kata Kunci : Manajemen Pemasaran,Perilaku Konsumen,Pemilihan Merk


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.