Laporkan Masalah

Pengaturan penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional dan di kawasan industri

WARGAKUSUMAH, Moh. Hasan, Promotor Prof. Boedi Harsono, SH

2003 | Disertasi | S3 Ilmu Hukum

Penguasaan tanah oleh perseorangan memang dapat dimaksudkan dan ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya yang khas. Akan tetapi, pada asasnya penguasaan atas tanah itu, baik penguasaan oleh negara maupun penguasaan secara bersama, bahkan penguasaan oleh perseorangan sekalipun, seyogyanya dimaksudkan dan ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bangsa dan negara, dan disertai dengan penyelenggaraannya yang dilakukan secara adil. Tingkat dan proses perkembangan kehidupan bangsa Indonesia telah sampai pada suatu masa transisi, yaitu suatu tingkat peralihan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri, informasi, dan teknologi. Suatu proses yang sangat dahsyat karena proses tersebut telah terjadi sekaligus, serempak, dan simultan. Terdapat berbagai kegiatan yang sedang dikembangkan oleh bangsa ini untuk mempercepat dan memperlancar proses peralihan termaksud, yaitu antara lain dengan membangun perindustrian (yang pada dewasa ini tentunya akan mendahulukan pengembangan agro-industri) melalui pembentukan kawasan-kawasan industri. Tulisan ini menyoroti masalah aspek hukum penguasaan tanah secara umum dan penerapannya dalam mengembangkan suatu kawasan industri. Secara konseptual, para perancang UUPA telah bersepakat untuk menggali dan menggunakan konsep `hak ulayat' atas tanah menurut Hukum Tanah Adat yang religius, komunalistik dan yang mengakui hak perorangan aras tanah yang bersifat pribadi. Dalam proses perumusan konsep `dikuasai oleh negara' terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 (3) UUD 1945, misalnya, masih ada pihak-pihak yang dalam penganalisisannya itu melandasi pendapatnya pada teori-teori umum kepemilikan Eropah Daratan, suatu konsep yang lebih individualistis dan liberalistis. Lebih-lebih dalam penerapannya yang dilaksanakan oleh para penyelenggara hukum yang masih dipengaruhi oleh politik hukum dornein verklaring, sebagai suatu kebijakan warisan pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Proses pembangunan kawasan industri itu pun, pada umumnya, telah direncanakan secara konseptual dengan memperhatikan persyaratan yuridis formal, dengan memperhatikan aspek pengelolaan tata ruang dan prinsip-prinsip pelestarian fungsi lingkungan hidup. Akan tetapi, karena kelemahan para penyelenggara hukum di lapangan, maka yang dicapai beserta perencanaan lanjutannya tidak memperlihatkan kematangan konsep, yang dalam pelaksanaannya tidak dilakukan secara sistimatis, taat asas, atau hemat lahan. Kelemahan faktor para penyelenggara hukum tersebut telah terdukung pula oleh kondisi pemerintahan orde baru di masa lalu yang sangat sentralistis, dan yang kebijakannya terlalu mengutamakan kepentingan perusahaan besar penanam modal dari pada memperhatikan kepentingan rakyat banyak, termasuk kurangnya pemberian perlindungan hukum dan keadilan yang diberikan terhadap hak-hak atas tanah masyarakat setempat. Penelitian hukum ini dilakukan dengan pendekatan yuridis normatif dan bersifat deskriptif analitis. Pengumpulan datanya dilakukan dengan lebih menitikberatkan pada studi dokumentasi di perpustakaan. Kunjungan ke lapangan lebih ditujukan untuk pengecekan penerapan hukum positif dan untuk menemukan persoalan-persoalan dalam implikasinya. Temuan hasil penelitian menunjukkan adanya persoalan yang berkaitan dengan belum tuntasnya proses penyusunan konseptual dalam tahap perencanaan, penyusunan kebijakan dan pengaturan, yang disebabkan oleh faktor kelemahan kualitas para perencana dan pejabat penegakan hukum. Kelemahan tersebut telah menimbulkan persoalan kesalahfahaman dan ketidaktepatan dalam menerapkan konsepsi, sehingga kebijakan pengaturan yang disusunnya serta pelaksanaannya banyak menyimpang dari yang diharapkan, dan bahkan telah menimbulkan disharmonisasi dalam masyarakat. Produk yang dicapai adalah sedemikian rupa kurang baiknya, sehingga akan memerlukan upaya keras yang sulit dan memerlukan waktu yang panjang untuk menyerasikannya kembali. Kondisi dan persoalan semacam itu terjadi dan ditemukan baik dalam masalah 'penguasaan tanah oleh negara dalam hukum tanah nasional, maupun dalam masalah penguasaan tanah di kawasan industri'. Dengan segala persoalan manajerial, biaya tinggi, serta kekurangadilan yang dijumpai, pengaturan perundangan-undangan atas penguasaan tanah di kawasan industri yang berupa hak pengelolaan, hak guna bangunan, hak pakai untuk perusahaan pengelola dan untuk perusahaan industri di kawasan industri, secara formal dapat dikatakan sebagai telah berjalan secara memadai. Merupakan suatu kesempatan berharga dalam era reformasi ini, untuk melakukan kaji ulang, baik atas konsepsi, maupun atas pengaturan konsep penguasaan tanah oleh negara, maupun atas pengadaan dan pengaturan penguasaan tanah di kawasan industri. Kajian ulang termaksud perlu dilakukan dengan memilih pendekatan yang lebih menyeluruh, lebih memperhatikan keterkaitan sistem, keterpaduan dan tinjauan yang lebih jauh ke depan, dengan lebih memperhatikan pendekatan pemberian perlindungan dan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Di bidang pengaturan tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yang dewasa ini masih tersebar dalam berbagai bentuk peraturan perundang-undangan, perlu dilakukan upaya pengintegrasian dan pengsinkronisasian pengaturan ke dalam suatu undang-undang.Dalam program pengadaan tanah untuk pengembangan suatu kawasan industri,seyogianya dipilih dan dikembangkan pendekatan kemitraan, sedemikian rupa, sehingga kesejahteraan rakyat dan daerah setempat serta perlindungan dan keadilam bagi hak-hak rakyat atas tanah akan dapat lebih terperhatikan. Di bidang pembangunan industri, pemilihan pendekatan dilakukan dengan lebih memperhatikan pengelolaan bidang agrobisnis dan agroindustri, serta lebih mengutamakan pelayanan kepada perusahaan kecil, menengah dan koperasi, tanpa mengabaikan kehadiran dan peranan para pengusaha besar.

It is true that land possession by-individuals is intended to satisfy their particular personal needs. In principle, land possession either by the State or collectively by a group, and even by an individual should be intended to give the greatest benefit to the people, the nation and the State. The development process of the life of the Indonesian nation has come to a stage of transition from an agrarian society to an industrial society characterized by remarkable advances in technology and information. The extent of this transition is immensely complex because rapid changes are happening simultaneously. The nation has been engaged in activities that speed up the process of transition, i.e. industrial development (which is currently done by first developing the agro-industry) through the establishment of industrial estates. This writing is concerned with the issue on legal aspects of land possesion in general and its application in the development of those industrial estates. Conceptually, the drafter of The Basic Agrarian Law agreed to explore and to adopt the concept of 'hak ulayat' (communal land ownership) over the land, in accordance with the 'adat' (customary) law, which is religious, communalistic and recognizing an individual personal rights on land. But in formulating and interpretation of the concept 'that land, water and the natural resources therein shall be controlled by the state ' as stated in Article 33 (3) of The 1945 Constitution done by some experts was still base their views on the theories of ownership adopted in the European Continental countries which was more individualistic and liberalistic. Furthermore, its application performed by the legal practitioners were still influenced by the so called `domein verklaring', known as an inherited land policy of the Netherlands East Indies. The research has been conducted based on legal normatif approach and analytical descriptive method, and especially viewed from legislation aspect. Collection of data was done with emphasis on a documentary study. Field research was conducted to scrutinize the implementation of the positive law and to identify the problems. The findings of the research indicate that there were problems dealing with the premature conceptual formation in the planning, policy making and regulating steps, caused by the weaknesses of or the lack of understanding of the legal drafters and law enforcement agencies respectively. The lack of understanding and the inconsistency in implementing the concept have contributed to confusion to all parties involved, and has caused disharmony in society. Extra efforts and time will be needed to reharmonize the society conditions. Those conditions and problems were found both in 'land possesion by the state' ("State's right of Disposal') and in 'land possesion in the proces of the industrial estates development" issue. The development process of Industrial Estates, generally, have been done conceptually and legally through planning, regulating, monitoring and evaluating processes, by taking space arrangement and life environment function aspects into consideration, either in the industrial estates managed by Authority/State Enterprise or by private. But because of the glaring weaknesses of the legal practicioner factors, the execution of the develepment plan has not been done systematically, consistently, and harmoniously. This weakness of the legal practicioner was historically caused by the former new order government's policy which was centralistic and gave more priority to the interest of big investor companies instead of to grass rooted people interest, including the lack protection to the land ownwership of the society. However, while facing many managerial, high cost, unjustice problems, the regulations of the land possesion in industrial estates through the Hak Pengelolaan (Right to Manage), Hak Guna Bangunan (The Right of Building) and Hak Pakai (The right of Use) had been sufficiently be implemented. Indeed, it is a valuable opportunity in this reformation era, to evaluate and to revalue both the concept of the land possesion by state ("State's right of Disposal') in general in the National Land Law and the land possesion regulations in industrial estates development. The revaluation of the national concept should be done in a more holistic, systematic, integralistic and futuristic approaches. On the regulation of land for public, that is now found in various forms of regulation, an integration and synchronization are required. On the industrial development, it should be done by choosing an approach which gives more priority to the interest of small and medium companies and cooperatives on agro businesses and industries. And with regard to the industrial estates development, it should be done by choosing a more friendly approach which gives better condusive benefit for the people and region, and which gives more protection to the people's right in the land possesion process by industrial estates.

Kata Kunci : Hukum Pertanahan,Penguasaan Tanah,Kawasan Industri, Industrial estates development,


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.