Jalur Patronase Baru: Para Bupati Semarang di Bawah Kuasa Mataram dan VOC, 1652-1741
Iqbal Rizaldin, Dr. Sri Margana, M. Phil.
2024 | Tesis | S2 Sejarah
Jawa pada masa modern awal mendapat begitu banyak perhatian dari para sejarawan. Namun, Jawa yang dimaksud lebih banyak dilihat dari kacamata kraton sehingga pembahasan Pesisir Utara Jawa sebagai wilayah peryphery sering kali terabaikan, padahal Pesisir Utara Jawa pada masa itu merupakan wilayah kosmopolitan yang dinamis karena dibentuk oleh perdagangan yang intensif, migrasi besar-besaran yang dilakukan oleh orang-orang dari budaya lain, dan mendapat pengaruh kuat dari Islam. Sejak awal pendiriannya, Semarang sebagai salah satu daerah di Pesisir Utara Jawa merupakan vasal dari berbagai kerajaan di Jawa, mulai dari Demak hingga Mataram. Sebagai vasal, Bupati Semarang dan para bupati Pesisir lainnya tidak hanya dituntut untuk menyerahkan upeti dan menghadap Susuhunan di Kraton Mataram setiap tahun, tetapi juga diwajibkan melaksanakan berbagai perintahnya untuk membuktikan loyalitas mereka. Sayangnya, suksesi kerajaan tidak selalu menghasilkan raja yang sempurna. Susuhunan ternyata menganggap Bupati Semarang dan para bupati Pesisir lainnya, hanya sekadar alat birokrasi yang bisa diganti sewaktu-waktu. Di sisi lain, menguatnya pengaruh VOC di Pesisir, terutama setelah penggadaian Semarang pada 1678, juga ikut memengaruhi pasang surut relasi yang terjalin antara Bupati Semarang dengan Mataram. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha mengungkap bagaimana Bupati Semarang membangun relasi-relasinya dengan Mataram dan VOC pada abad ke-17 sampai ke-18, upaya-upaya apa saja yang dilakukannya, dan seperti apa bentuk-bentuk relasi itu.
Melalui penggunaan metode sejarah, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Bupati Semarang dan para bupati lainnya terpaksa melakukan berbagai persaingan demi mengamankan jabatannya, mendapatkan promosi jabatan, dan yang paling penting menjadi bupati kesayangan Susuhunan. Namun, alih-alih mendapatkan perlindungan dan keamanan, Bupati Semarang justru menjadi korban setiap kali muncul ketegangan di antara Mataram dan VOC sehingga menyebabkan jabatan bupati di Semarang ibarat piala bergilir. Pergantian jabatan yang terlalu cepat itu ternyata juga mengganggu relasi yang terjalin dengan penduduk setempat dan para pedagang, terutama VOC. berbagai konflik itu mendorong Bupati Semarang yang ingin tetap mempertahankan kekuasaannya, tetapi sempat tidak kuat menghadapi tekanan dari Susuhunan, kemudian mencari jalur baru untuk berpatron dengan cara menerima tawaran VOC sebagai protektor. Dengan demikian, Bupati Semarang berhasil memanfaatkan VOC demi kepentingan politik dan ekonominya sendiri, sedangkan relasi yang telah terjalin antara Bupati Semarang dan Mataram tetap dipertahankan, tetapi hanya sebatas pada kepentingan politik dan sosialnya, terutama pengakuan atas dirinya sebagai penguasa di Semarang dan mempertahankan jabatannya yang prestisius itu.<!--/data/user/0/com.samsung.android.app.notes/files/clipdata/clipdata_bodytext_240918_233150_237.sdocx-->
Java in the early modern period has received much attention from historians. However, Java is mostly seen through the eyes of the palace, so the discussion of the North Coast of Java as a periphery is often overlooked, even though the North Coast of Java was a dynamic cosmopolitan region shaped by intensive trade, massive migration of people from other cultures, and strong influence from Islam. From its inception, Semarang as one of the regions on the North Coast of Java was a vassal of various kingdoms in Java, ranging from Demak to Mataram. As vassals, the Regent of Semarang and the other regents of the Coast were not only required to pay tribute and appear before the Susuhunan in Mataram Court every year, but were also required to carry out his orders to prove their loyalty. Unfortunately, the royal succession did not always produce the perfect king. The Susuhunan apparently regarded the Regent of Semarang and the other regents of the Pesisir as little more than bureaucratic tools that could be replaced at any time. On the other hand, the VOC's growing influence on the Pesisir, especially after the 1678 pawnshop of Semarang, also influenced the ebb and flow of the relationship between the Regent of Semarang and Mataram. Therefore, this study seeks to uncover the relationship between the Regent of Semarang, Mataram, and the VOC from the 17th to the 18th century.
Through the use of historical methods, the results of this study show that the Regent of Semarang and other regents were forced to engage in various rivalries in order to secure their positions, get promoted, and most importantly become the Susuhunan's favorite regent. Instead of protection and security, however, the Regent of Semarang was victimized every time tensions arose between Mataram and the VOC, making the regency of Semarang a rotating trophy. These conflicts prompted the Regent of Semarang, who wanted to retain his power but could not stand the pressure from the Susuhunan, to seek a new patronage route by accepting the VOC's offer of a protector. Thus, the Regent of Semarang successfully utilized the VOC for his own political and economic interests, while the relationship between the Regent of Semarang and Mataram remained intact, but only to the extent of his political and social interests, especially the recognition of himself as the ruler of Semarang and maintaining his prestigious position.<!--/data/user/0/com.samsung.android.app.notes/files/clipdata/clipdata_bodytext_240918_233404_747.sdocx-->
Kata Kunci : Patronase, Relasi, Bupati Semarang, Mataram, VOC