Konflik Penolakan Kebijakan Reklamasi CPI (Center Point of Indonesia) di Makassar, Sulawesi Selatan

Devira Gemilang Pandu Pertiwi, Prof. Dr. Haryanto, M.A.

2024 | Tesis | S2 Ilmu Politik

Penelitian ini bermaksud untuk mengkaji kebijakan reklamasi CPI (Center Point Of Indonesia) di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Berfokus menjelaskan insensitivitas dan pengabaian atas perbedaan konteks yang ada di masyarakat dalam proses pembuatan dan implementasi kebijakan oleh policy maker, menyebabkan kebijakan publik yang dihasilkan justru terjebak dalam konflik yang lebih besar. Potensi resistensi konflik yang lebih tinggi disebabkan oleh kegagalan policy maker dalam mengelola perbedaan konteks yang ada di masyarakat. Kebijakan publik yang dimaksud yaitu kebijakan reklamasi CPI yang diimplementasikan di Kecamatan Mariso dan  di Pulau Lae-Lae.

Studi ini menggunakan kerangka kerja konflik kebijakan atau Policy Conflict Framework (PCF) yang dikembangkan oleh Christopher M. Weible. PCF menjelaskan bahwa potensi konflik yang lebih besar terjadi saat ditemukan tiga karakteristik kognitif dalam sebuah fenomena konflik kebijakan, yaitu perbedaan posisi kebijakan, ancaman dari pelaku kebijakan dan keengganan untuk berkompromi. Konsep Resolusi Konflik oleh Fisher juga digunakan untuk melihat apakah upaya resolusi konflik pemerintah saat ini berjalan efektif atau justru sebaliknya. Fisher menekankan, harus ada kesesuaian antara upaya penyelesaian konflik dan dinamika konflik agar berbagai perbedaan pandangan dapat mencapai resolusi.

Penelitian ini adalah penelitian studi kasus, dengan cara kerja sesuai ketentuan penelitian kualitatif. Temuan utama dalam penelitian ini menunjukkan bahwa potensi konflik yang lebih besar terjadi pada konflik penolakan kebijakan reklamasi CPI di Pulau Lae-Lae. Disebabkan oleh, pertama isi dan proses kebijakan CPI tidak sensitif terhadap perbedaan konteks yang ada di masyarakat pada dua lokasi kebijakan diimplementasikan. Kedua, kebijakan reklamasi CPI di Pulau Lae-Lae terkesan sangat elitis, karena pemerintah sejak awal tidak melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat. Ketiga, penutupan akses negosiasi oleh masyarakat yang mengakibatkan, selain konflik semakin berlarut-larut, upaya resolusi konflik oleh pemerintah setempat menggunakan pendekatan non litigasi menemukan kegagalan. Padahal, kunci utama dari keberhasilan upaya resolusi konflik non litigasi adalah kemauan aktor-aktor yang berkonflik untuk duduk berdiskusi bersama tanpa paksaan hingga kompromi tercapai. 

This research intends to examine the CPI (Centre Point Of Indonesia) reclamation policy in Makassar City, South Sulawesi. Focusing on explaining the insensitivity and neglect of different contexts in society in the process of policy making and implementation by policy makers, the resulting public policy is trapped in greater conflict. The potential for higher conflict resistance is caused by the failure of policy makers to manage differences in context in society. The public policy in question is the CPI reclamation policy implemented in the Mariso area and on Lae-Lae Island.

This study uses the Policy Conflict Framework (PCF) developed by Christopher M. Weible. PCF explains that greater conflict potential occurs when there are three cognitive characteristics in a policy conflict phenomenon, namely differences in policy positions, threats from policy actors and unwillingness to compromise. Fisher's concept of Conflict Resolution is also used to see whether the government's current conflict resolution efforts are effective or the opposite. Fisher emphasises that there must be a match between conflict resolution efforts and conflict dynamics so that various differences of views can reach a resolution.

This research is a case study research, with a way of working according to the provisions of qualitative research. The main findings in this research show that the greater potential for conflict occurs in the conflict of rejection of the CPI reclamation policy on Lae-Lae Island. This is because, firstly, the content and process of the CPI policy are not sensitive to the different contexts that exist in the communities where the two policies are implemented. Second, the CPI reclamation policy on Lae-Lae Island seems very elitist, because the government from the beginning did not involve meaningful participation from the community. Third, the closure of access to negotiations by the community resulted in, in addition to the conflict getting more protracted, conflict resolution efforts by the local government using non-litigation approaches found failure. In fact, the main key to the success of non-litigation conflict resolution efforts is the willingness of conflicting actors to sit down to discuss together without coercion until a compromise is reached.

Kata Kunci : Konflik Kebijakan, Resolusi Konflik, Kebijakan Reklamasi CPI