Laporkan Masalah

Politik Penguasaan Tanah di DIY Pasca UU Keistimewaan

Bhekti Suryani, Bayu Dardias Kurniadi, S.IP, M.A, M.Pub.Pol, Ph.D

2024 | Tesis | S2 Ilmu Politik

Pasca diberlakukannya Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY) pada tahun 2012, yang memberikan ruang bagi kepemilikan Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman memiliki hak atas tanah tradisionalnya, terdapat pola penguasaan tanah yang berubah di Yogyakarta. Penelitian ini ingin melihat bagaimana praktik neopatrimolialisme dan legitimasi kuat yang dimiliki oleh Sultan sebagai Raja dan Gubernur, berpengaruh terhadap pola pendaftaran tanah yang masif di Yogyakarta. Peneliti mengaplikasikan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode studi kasus untuk melihat perubahan pola penguasaan tanah tersebut. 

Berdasarkan hasil penelitian dokumen dan wawancara mendalam, penelitian ini menemukan bahwa, sejalan dengan Erdman & Angel (2007), kekuasaan informal dalam neopatrimonialimse tampak kuat dalam proses pendaftaran tanah tradisional di Yogyakarta dengan tingkatan yang sangat masif dan cepat dalam klaim sebagai tanah Kasultanan dan Kadipaten. Neopatrimonialisme tercermin dalam upaya melegalisasi kepemilikan tanah melalui sejumlah regulasi, pengambilalihan tanah warga, pengadaan tanah untuk kepentingan umum serta intervensi ke lembaga birokrasi demi mempercepat sertifikasi Tanah Kasultanan dan Kadipaten. Penelitian ini lebih jauh menjelaskan mengapa penguasaan Tanah Kasultanan dan Kadipaten di DIY bisa berlangsung dengan cepat meski kebijakan pertanahan di Yogyakarta seringkali bertentangan dengan perundang-undangan nasional. 

Penelitian ini memberikan nuansa berbeda terhadap konsep neopatrimonialisme dibandingkan penelitian lain yang umumnya menganalisis praktik kekuasaan informal hanya di lembaga pemerintahan modern. Penelitian ini mengidentifikasi kondisi neopatrimonialisme yang terjadi dalam konteks pemerintahan hibrida, di mana terdapat pemerintahan tradisional aristokrasi Kraton Jogja dan pemerintahan formal modern dengan Sultan memegang posisi ganda sebagai Raja dan Gubernur. Bersatunya kekuasaan formal dan informal ini menciptakan kekuatan politik yang sangat kuat di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang sulit terpengaruh oleh kebijakan dan norma hukum nasional, sehingga menimbulkan anomali dalam perundang-undangan nasional.


Following the enactment of the Special Law of the Special Region of Yogyakarta (UUK DIY) in 2012, which allows the ownership of the Sultanate of Yogyakarta and the Duchy of Pakualaman to assert rights over their traditional lands, there has been a noticeable shift in land control patterns in Yogyakarta. This study aims to examine how the practices of neopatrimonialism and the strong legitimacy held by the Sultan, as both King and Governor, influence the extensive land registration patterns observed in Yogyakarta. The researcher employs a qualitative approach using case study methodology to explore these changes in land control.

Based on document analysis and in-depth interviews, the study finds that, in line with Erdman & Angel (2007), informal power within neopatrimonialism appears to be robust in the traditional land registration process in Yogyakarta, characterized by a rapid and extensive claim to lands identified as Sultanate and Duchy properties. Neopatrimonialism is reflected in efforts to legalize land ownership through various regulations, the appropriation of citizens' land, land acquisition for public interests, and interventions in bureaucratic institutions to expedite the certification of Sultanate and Duchy lands. This research further elucidates why the control of Sultanate and Duchy lands in DIY can occur swiftly, despite land policies in Yogyakarta often contradicting national legislation.

This study offers a distinct perspective on the concept of neopatrimonialism compared to other research that typically analyzes informal power practices solely within modern governmental institutions. It identifies the conditions of neopatrimonialism occurring within a hybrid governance context, where traditional aristocratic governance of Kraton Jogja coexists with modern formal administration, with the Sultan occupying dual roles as both King and Governor. The convergence of formal and informal power creates a formidable political force in the Special Region of Yogyakarta (DIY) that is difficult to influence through national policies and legal norms, resulting in anomalies within national legislation.


Kata Kunci : neopatrimonialisme, legitimasi, otoritas, UUK DIY, Tanah SG/PAG, Tanah Kasultanan, Tanah Kadipaten, sertifikasi tanah SG/PAG

  1. S2-2024-501266-abstract.pdf  
  2. S2-2024-501266-bibliography.pdf  
  3. S2-2024-501266-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2024-501266-title.pdf