Sinkronisasi Physical dan Perceived Walkability dalam Rancang Kawasan Beorientasi Transit Terminal Mesran Kota Jayapura
Rocky Khen John Wutoy, Dr.Dyah Titisari Widyastuti,S.T.,MUDD
2024 | Tesis | MAGISTER RANCANG KOTA
INTISARI
Permasalahan ini didasarkan pada standar physical walkability yang tidak cukup untuk
mengakomodasi standar lokal di Kota Jayapura. Topografi kota yang berbukit menyebabkan standar
berjalan kaki yang berbeda dengan standar umum dan mempengaruhi pola pergerakan harian
masyarakat. Penelitian ini penting untuk mendukung potensi kawasan berorientasi transit dan
mengakomodasi standar masyarakat lokal yang berbeda dengan standar pada umumnya. Penelitian ini
juga bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah baru dan menghadapi keterbatasan ruang yang ada.
Dengan demikian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi yang tepat dalam pengembangan
konsep walkability yang sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lokal di Kota Jayapura.
Urgensi dalam pengembangan kawasan berorientasi transit saat ini adalah belum adanya
sinkronisasi yang baik antara perceived dan physical walkability. Selain itu, kondisi topografi yang
beragam di tiap daerah di Indonesia menciptakan pola pergerakan harian yang berbeda-beda. Di wilayah
Kota Jayapura memiliki topografi berbukit, digunakan sebagai area perumahan warga lokal, hanya 5%
dari area tersebut tidak berbukit dan menjadi dominasi unntuk perkantoran dan komersial, sedangkan
95% merupakan area berbukit. Hal ini menimbulkan permasalahan baru yang perlu disinkronisasikan
agar dapat mendukung potensi pengembangan kawasan transit, seperti terminal Mesran, serta
membentuk walkability yang sesuai dengan konteks Kota Jayapura. Selain itu, akses yang walkable
perlu disediakan untuk mengakomodasi potensi kawasan berorientasi transit.
Metode kualitatif digunakan dalam penelitian terbagi menjadi tiga tahap, yaitu pertama
mengidentifikasi pola pergerakan harian untuk menentukan delineasi: kedua Menganalisis perceived
dan physical walkability, serta faktor-faktor yang mempengaruhi perceived walkability di kawasan
terminal Mesran serta hasil analisis ini akan disinkronisasikan untuk mencapai desain kawasan yang
baik, dengan memperhatikan kualitas desain urban yang optimal: ketiga menyusun konsep walkability
dalam perancangan kawasan terminal berdasarkan sinkronisasi perceived dan physical walkability
menggunakan aspek 5C (Connected, Comfortable, Convenient, Convivial, Conspicuous). Urban design
quality akan digunakan untuk mengubah faktor perceived walkability menjadi desain kawasan secara
fisik dan meningkatkan kualitas physical walkability.
Hasil penelitian menunjukkan pola pergerakan harian pengguna kawasan transit Kota Jayapura
dengan enam rute jalur utama dan radius perjalanan rata-rata 600meter. Pola pergerakan harian ini
didukung oleh potensi titik drop-off signifikan dan area utama pengembangan jalur pedestrian.
Kesenjangan nilai antara physical walkability dan perceived walkability terjadi pada aspek
kenyamanan. Masyarakat lokal memerlukan area dengan tingkat keramaian yang tinggi untuk
mendukung walkability. Hambatan utama adalah tingkat kriminalitas yang lebih tinggi dari standar
physical walkability, yang sudah menjadi budaya di Papua. Untuk mengurangi faktor ini, dibutuhkan
tingkat keramaian dan penerangan yang cukup di area koridor kota. Dalam menyusun konsep,
diperlukan ruang-ruang aktivitas yang didukung oleh area pedagang kaki lima serta ruang untuk
interaksi agar membentuk lingkungan yang ramai dan memicu aktivitas. Karena standar berjalan warga
lokal melebihi standar umum, dan kriminalitas sulit ditangani secara sosial, pengaturan ruang yang baik
dengan kualitas desain urban diharapkan dapat menciptakan aktivitas hidup di ruang-ruang perkotaan
untuk mendukung kawasan transit yang baik.
ABSTRACT
This problem is based on the fact that physical walkability standards are insufficient to
accommodate local standards in Jayapura City. The city's hilly topography results in different walking
standards compared to the general standards and affects the daily movement patterns of the community.
This research is important to support the potential of transit-oriented development areas and to
accommodate the local community standards, which differ from common standards. The study also
aims to address emerging issues and the spatial limitations that exist. Therefore, this research is expected
to provide appropriate solutions for developing a walkability concept that aligns with the conditions
and needs of Jayapura City.
The urgency in developing transit-oriented areas lies in the lack of synchronization between
perceived and physical walkability. Moreover, the diverse topography in various regions of Indonesia
creates different daily movement patterns. In Jayapura, the hilly topography is used for local residential
areas, with only 5% of the area being flat and dominated by offices and commercial spaces, while 95%
is hilly. This creates new issues that need to be synchronized to support the potential development of
transit areas, such as the Mesran terminal, and to create walkability that fits Jayapura’s context.
Additionally, walkable access needs to be provided to accommodate the potential of transit-oriented
areas.
The qualitative research used in this study is divided into three stages. The first stage identifies
daily movement patterns to determine delineation. The second stage focus perceived and physical
walkability and the factors influencing perceived walkability in the Mesran terminal area. The results
of this analysis will be synchronized to achieve a good area design, considering optimal urban design
quality. The third stage develops a walkability concept for the terminal area design based on the
synchronization of perceived and physical walkability using the 5C aspects (Connected, Comfortable,
Convenient, Convivial, Conspicuous). Urban design quality will be used to transform perceived
walkability factors into a physical area design and improve physical walkability quality.
The study results indicate the daily movement patterns of transit area users in Jayapura city
with six main routes and an average travel radius of 600 meters. This daily movement pattern is
supported by significant drop-off points and key pedestrian path development areas. There is a gap
between physical walkability and perceived walkability in terms of comfort. The local community
requires areas with high activity levels to support walkability. The main obstacle is the higher crime
rate than the physical walkability standard, which has become a cultural issue in Papua. To mitigate
this, sufficient activity levels and lighting are needed in urban corridor areas. In developing the concept,
activity spaces supported by street vendors and interaction areas are needed to create lively
environments that encourage activity. Because the local residents’ walking standards exceed the general
standards and crime is challenging to address socially, good spatial arrangement with high-quality urban
design is expected to create active urban spaces to support good transit areas.
Kata Kunci : Jayapura, perceived walkability, physical walkability, Transit