Laporkan Masalah

Kewenangan Pengadilan Niaga terhadap Actio Paulina di dalam perkara kepailitan

IRIAWAN, Asep Iwan, Prof.Dr. Nindyo Pramono, SH.,MS

2004 | Tesis | S2 Ilmu Hukum (Magister Hukum-Hukum Bisnis)

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui latar belakang kewenangan Pengadilan Niaga terhadap perkara actio pauliana sebagaimana ditentukan dalam Undang – undang No. 4 tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang – Undang Tentang Kepailitan menjadi Undang – undang dan alasan pertimbangan hukum dari Pengadilan Niaga maupun Mahkamah Agung untuk memutuskan kewenangan perkara actio pauliana yang diajukan kepadanya. Penelitian ini merupakan penelitian juridis normatif yang terdiri dari penelitian lapangan dan kepustakaan. Data primer diperoleh dari responden dilapangan yaitu dari beberapa hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dan hakim Agung Mahkamah Agung dengan cara wawancara dan kuisioner, sedangkan data sekunder diperoleh dari penelitian kepustakaan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kewenangan pengadilan terhadap gugatan perkara actio pauliana di Pengadilan Niaga terdapat dua pandangan berbeda yang dapat menimbulkan ketidakpastian hukum. Pandangan pertama yang berpendapat bahwa kurator memiliki kewenangan untuk mengajukan tuntutan pembatalan perbuatan debitur yang dilakukan sebelum ia dinyatakan pailit dan perbuatan tersebut merugikan kepentingan kreditur ke Pengadilan Niaga dengan dasar pasal 280 ayat 2 jo pasal 2 ayat 1 yaitu disamping kewenangan memeriksa dan memutus permohonan pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang dan perkara dibidang perniagaan atau hal – hal lain yang berkaitan. Oleh karena actio pauliana berkaitan dengan harta pailit didalam rangka pemberesan budel pailit serta merupakan sarana hukum untuk menyelesaikan utang piutang secara adil cepat, terbuka dan efektif. Pandangan kedua yang berpendapat bahwa oleh karena kewenangan Pengadilan Niaga dibatasi sebagaimana ditentukan pasal 280 ayat 2 dan oleh karena perbuatan hukum debitur dalam pailit dengan pihak ketiga (actio pauliana ) merupakan suatu sengketa sehingga harus diajukan dalam bentuk suatu gugatan perdata di Pengadilan Negeri menurut hukum acara perdata yang berlaku di Pengadilan Negeri. Dalam rangka mencapai kepastian hukum dengan adanya persepsi yang berbeda diantara para hakim dalam menangani perkara actio pauliana dan untuk menghindari disparitas putusan perlu segera merevisi undang – undang kepailitan dengan mencantumkan secara jelas dan tegas kewenangan Pengadilan Niaga serta perlunya konsistensi putusan perkara niaga dengan membentuk majelis khusus niaga yang tetap menyidangkan khusus perkara niaga.

This research is intended to find out the background of the commercial court’s jurisdiction over revocatory action as provided for in law no. 4 of 1998 on the Enactment as Law of Government Regulation in Lieu of Law number 1 of 1998 on the Amendment to Bankruptcy Law and the legal considerations of commercial court or supreme court to decide revocatory action filed to it. This research is a juridical normative research consisting of field and laboratory research. Primary data was obtained from the field respondents namely some judges of Central Jakarta District Court and Supreme Justices of the Supreme Court by means of interviews and questionnaires while the secondary data was obtained from the library research. The research indicates that there are two opposite views on court jurisdiction over revocatory action filed to a commercial court so that the certainty before the law is at risk. The first view sees that the curat or has the competency to initiate action to revoke a debtor’s act that was taken before the issuance of bankruptcy judgment against the debtor and was harmful to the interest of creditor(s), before a commercial court on the basis of Section 280.2 in conjunction with section 2.1 that provide for the jurisdiction to hear and decide bankruptcy and moratorium petitions and other petitions concerning commercial or related matters. Therefore the revocatory action concerns with the property of a bankrupt debtor and is initiated in order to settle bankruptcy and is a legal remedy to settle debts in a fair, speedy, open and effective manner. The second view sees that, since the Commercial Court’s jurisdiction is limited as provided for in section 280.2, a transaction made by a bankrupt debtor with any third parties may give rise to a civil suit that may be initiated before a district court under the civil code prevailing at the district court. Considering the differing views on revocatory actions among the judges and in order to establish legal certainty and to avoid disparity in court judgments, the bankruptcy law needs to be revised as soon as practicable by incorporating provisions that clearly specify the jurisdiction of commercial court and that govern the establishment of special commercial tribunal to hear and decide commercial cases so that there will be an apparent consistence in the judgments of commercial cases.

Kata Kunci : Hukum Kepailitan,Pengadilan Niaga,Actio Paulina,Jurisdiction, Commercial Court, Revocatory Action, Bankruptcy

  1. S2-2003-AsepIwanIriawan-abstract.pdf  
  2. S2-2003-AsepIwanIriawan-bibliography.pdf  
  3. S2-2003-AsepIwanIriawan-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2003-AsepIwanIriawan-title.pdf