Laporkan Masalah

Angka kegagalan pengobatan klorokuin penderita malaria falsiparum ringan di daerah dengan beda endemisitas :: Kajian dengan Teknik PCR dan konvensional

DEWI, Rita Marleta, Prof.Dr.dr. Mochammad Sja'bani, SpPD-KGH

2004 | Tesis | S2 Ilmu Kedokteran Klinik

Latar belakang. Malaria masih merupakan masalah kesehatan di beberapa daerah di Indonesia, dan cenderung meningkat. Salah satu penyebab peningkatan tersebut adalah timbulnya resistensi parasit terhadap obat antimalaria. Di Indonesia hanya tersedia 4 obat antimalaria. Klorokuin adalah obat antimalaria standar (pilihan utama/lini satu) yang digunakan program untuk pengobatan malaria klinis dan sebagai skizontosida darah pada pengobatan radikal. Kasus P.falciparum resisten klorokuin pertama kali dilaporkan pada tahun 1973 dari Kalimantan Timur. Sampai dengan tahun1992 dilaporkan kasus resisten dari seluruh propinsi. Selama ini, cara penilaian efikasi obat antimalaria belum standar dan hanya berdasarkan gambaran parasitologis. Acuan WHO untuk penilaian efikasi obat antimalaria dirasakan kurang akurat karena tidak dapat membedakan kegagalan pengobatan karena rekrudesensi parasit atau infeksi baru. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui status sensitivitas klorokuin di daerah endemisitas rendah (hipo-mesoendemis) dan endemisitas tinggi (mesohiperendemis) Metoda. Untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan penelitian di daerah Banjarnegara, P.Bintan dan Belitung (di Puskesmas Banjarmangu-1, Banjarmangu-2, Tanjung Uban, Kijang, dan Gantung). Pemilihan puskesmas tersebut berdasarkan kriteria (1) berada di daerah hipo-mesoendemis dan meso-hiperendemis malaria dan mempunyai masalah resistensi terhadap obatantimalaria, (2) mudah dijangkau, (3) ada tenaga dokter, paramedis untuk pemeriksaan klinis/fisik dan tenaga mikroskopis untuk pemeriksaan parasitologis, (4) jumlah pengunjung minimal 50 pasien / hari. Penilaian efikasi klorokuin dilakukan berdasarkan acuan WHO tahun 2001dan konfirmasi PCR. Hasil. Penilaian berdasarkan acuan WHO, angka kegagalan pengobatan klorokuin di daerah endemisitas rendah dan tinggi sama-sama lebih besar dari 25%, yaitu 62,79% di daerah endemisitas rendah dan 68,42% di daerah endemisitas tinggi. Setelah konfirmasi dengan teknik PCR, kegagalan di daerah endemisitas rendah menjadi 51,16%. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara angka kegagalan pengobatan klorokuin di daerah endemisitas rendah dan tinggi (P>0,05). Walaupun demikian, jika ditinjau dari respon parasit terhadap klorokuin, terdapat perbedaan yang bermakna (P<0,05) antara derajat resisten parasit di daerah endemisitas rendah dengan endemisitas tinggi. Simpulan. Walaupun angka kegagalan pengobatan klorokuin pada penderita malaria falsiparum ringan di daerah endemisitas rendah tidak berbeda secara bermakna dengan endemisitas tinggi, namun kegagalan pengobatan klorokuin di dua daerah tersebut >25%, tersebut dirasakan perlu digunakan obat alternatif kedua (sulfadoksin/pirimetamin) sebagai obat antimalaria pada penderita malaria falsiparum

Background. Malaria remains a problematic and increasing in several areas of Indonesia. In Indonesia, only four antimalarial drugs are available. Drug resistance or treatment failure is one of the main obstacles in controlling the disease in some areas. Treatment failures to antimalaria drugs are increasing. Chloroquine is the standard (first-line) antimalarial drug for clinical malaria treatment and the blood .schizontocide component of radical treatment. The first case of chloroquine resistant Plasmodium falciparum in-vivo was documented in East Kalimantan in 1973. Chloroquine resitance has now spread to all provinces since first reported in Indonesia in 1992. Data from all previous evaluation in Indonesia of resistance to antimalaria drugs using in-vivo methods have been based on parasitological response only. However there is a need to assess the therapeutic efficacy of current national antimalarial drugs based on parasitological and clinical response. The aims of these study is to determine the therapeutic efficacy chloroquine for the treatment of uncomplicated falciparum malaria, and to compare the efficacy of chloroquine in low (hipo-mesoendemic) and high (meso-hyperendemic) endemic area. The study was started at the end of January 2002. To speed up the patients recruitment, the study was done in five health community centers (Banjarmangu-1, Banjarmangu-2, Tanjung Uban, Kijang and Gantung). The health community center was selected according to the following criteria: (1) located in a hypo-mesoendemic and meso-hyperendemic malaria area with antimalarial drug resistance problem, (2) accessible, (3) outpatient clinic run by a physician and paramedical staff, and microscopy available for the examination of blood slides, (4) number of outpatients above 50/day. Using a World Health Organization protocol for assessment of therapeutic efficacy of antimalaria drugs, it was found that 37.21% (16/43) and 31.58% (6/19) cases have adequate clinical and parasitological response (ACPR). The overall treatment failure were 62,79% and 68,42%. It was concluded that (1) there was an equal of high proportional chloroquine treatment failure for uncomplicated falciparum malaria treatment in both hypomesoendemic and meso-hyperendemic area

Kata Kunci : Malaria Falsiparum Ringan,Pengobatan Klorokuin,Kegagalan


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.