Rekonstruksi Kedudukan Partisipasi Masyarakat dalam Proses Pembentukan Undang-Undang Sebagai Upaya Mewujudkan Konsep Meaningful Participation
AHMAD AZIZ, Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M.
2024 | Tesis | S2 Magister Hukum
Lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Perubahan Kedua UU P3) sebagai tindak lanjut atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menggaungkan urgensi penerapan konsep meaningful participation yakni right to be heard, right to be considered, dan right to be explained yang diharapkan dapat menciptakan partisipasi dan keterlibatan masyarakat secara sungguh-sungguh dalam proses pembentukan Undang-Undang, ternyata menimbulkan berbagai problematika dan persoalan. Maka, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana konsep meaningful participation diakomodir dalam Perubahan Kedua UU P3 tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan statute dan conceptual approach serta menggunakan metode penelitian deskriptif analitik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa belum adanya batasan atau definisi dan mekanisme partisipasi masyarakat yang jelas dan terukur serta tidak adanya kewajiban bagi Pembentuk Undang-Undang melakukan konsultasi publik untuk meminta masukan atau pandangan masyarakat dan menjelaskan kepada masyarakat mengenai hasil pembahasan masukan tersebut menunjukkan bahwa Perubahan Kedua UU P3 belum mengakomodir konsep meaningful participation secara sungguh-sungguh. Hal tersebut, menyebabkan adanya kekosongan norma hukum dan ketidakjelasan kedudukan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan Undang-Undang yang menunjukkan lemahnya norma hukum yang melegitimasi partisipasi masyarakat dan sekaligus menegaskan asas keterbukaan yang ada justru berakhir menjadi meaningless participation. Oleh karna itu, sebagai upaya mewujudkan konsep ideal meaningful participation, perlu dilakukan rekonstruksi kedudukan partisipasi masyarakat dengan menambahkan partisipasi masyarakat sebagai salah satu asas dan/atau setidak-tidaknya melakukan perluasan makna atas asas keterbukaan dan merekonstruksi norma hukum mengenai partisipasi masyarakat berdasarkan nilai-nilai meaningful participation yang akan menegaskan kedudukan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan Undang-Undang bukanlah sebagai pelengkap formalitas saja, akan tetapi sebagai kemitraan yang mengacu pada paradigma pembentukan Undang-Undang yang deliberatif sebagai bentuk perwujudan dari amanat konstitusi yang menempatkan prinsip kedaulatan rakyat sebagai salah satu pilar utama bernegara.
The enactment to Law Number 13 of 2022 concerning the Second Amendment to Law Number 12 of 2011 on Legislation Making, as a follow-up to Constitutional Court Decision Number 91/PUU-XVIII/2020, which emphasizes the urgency of applying the concept of meaningful participation, namely the right to be heard, the right to be considered, and the right to be explained, aimed to create genuine public participation and involvement in the law making process. However, it has brought forth various problems and issues. Thus, this study aims to analyze the extent to which the concept of meaningful participation is accommodated in the Law Number 13 of 2022. This research is a normative legal research using a statutory and conceptual approach, and also using descriptive-analytical research methods. The research results show that the lack of clear boundaries, definitions, and measurable mechanisms for public participation, as well as the absence of an mandatory for Lawmakers to conduct public consultations to ask input or opinions from the public and to explain to the public the results of these discussions. This suggests that the Law Number 13 of 2022 has not genuinely accommodated the concept of meaningful participation. This situation has led to a legal norm vacuum and uncertainty regarding the position of public participation in the law making process that show the weakness of legal norms legitimizing public participation and affirming that the existing principle of openness has effectively ended up as meaningless participation. Therefore, to achieve the ideal concept of meaningful participation, it is necessary to reconstruct the position of public participation by adding public participation as a fundamental principle and/or, at the very least, expanding the meaning of the principle of openness and reconstructing legal norms regarding public participation based on the values of meaningful participation. This would assert the position of public participation in the law making process not merely as a formal complement but as a partnership aligned with the deliberative paradigm of law making process, as a form of embodiment of the constitutional mandate that places the principle of people’s sovereignty as the main pillar of state.
Kata Kunci : Meaningful Participation, Partisipasi Masyarakat/Public Participation, Pembentuk Undang-Undang/Lawmakers, Proses Pembentukan Undang-Undang/Law Making Process