Interpretasi Frasa Pungutan Lain yang Bersifat Memaksa dalam Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Yusuf Saragih, Andy Omara, S.H., M.Pub&Int.Law., Ph.D
2024 | Tesis | S2 Ilmu Hukum
Pasal 23A UUDNRI 1945 dalam implementasinya menjadi amanat pembentukan undang-undang yang di antaranya adalah undang-undang di bidang perpajakan, undang-undang mengenai retribusi, dan juga undang-undang mengenai penerimaan negara bukan pajak. Berbeda halnya dengan pajak, istilah retribusi dan penerimaan negara bukan pajak tidak ditemukan secara tekstual dalam konstitusi. Hal ini yang menjadi pemicu peneliti untuk menemukan latar belakang atau alasan pencantuman frasa “pungutan lain yang bersifat memaksa” dalam Pasal 23A UUDNRI 1945 baik dari sisi histori maupun original intent, dan bagaimana hakim konstitusi memaknai frasa dimaksud ketika diimplementasikan. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan data sekunder berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Kemudian data dimaksud dilakukan analisis secara kualitatif dengan mengurai data dan melihat korelasinya sehingga terdapat kejelasan terhadap suatu hal.
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa wujud klasifikasi pungutan negara dalam bentuk retribusi dan PNBP merupakan hasil perkembangan bentuk pungutan negara yang semula merupakan bagian dari penerimaan perpajakan sehingga menjadi penerimaan di luar perpajakan dan juga terhadap pengklasifikasian bentuk lain yang tidak dapat dikategorisasikan ke dalam penerimaan perpajakan. Original intent perumusan Pasal 23A UUDNRI 1945 khususnya frasa "pungutan lain yang bersifat memaksa" di antaranya adalah 1) sebagai dasar peralihan kekayaan yang secara sah dari rakyat kepada negara yang lazim dilakukan pada negara hukum sehingga terdapat jaminan pelindungan kepada rakyat dari pembebanan pungutan yang tidak resmi; dan 2) sebagai wujud dari antisipasi munculnya istilah lain/bentuk lain pungutan negara. Frasa “pungutan lain yang bersifat memaksa” tidak pula khusus diperuntukkan dalam melegalisasi pungutan retribusi dan penerimaan negara bukan pajak, melainkan juga dimaksudkan sebagai antisipasi perkembangan bentuk lain pungutan negara. Pemaknaan Pasal 23A UUDNRI 1945 dalam putusan Mahkamah pada dasarnya sama dengan original intent rumusan Pasal 23A UUDNRI 1945. Namun dalam putusan Mahkamah ditegaskan perbedaan pungutan pajak dengan pungutan lain dari sisi manfaat yang diterima. Selain itu, ditemukan bentuk pungutan lain sebagai bagian dari pemaknaan frasa "pungutan lain" selain dari retribusi dan penerimaan negara bukan pajak, yakni pungutan yang dilakukan oleh OJK. Hal ini menunjukkan bahwa amanat dalam Pasal 23A UUDNRI 1945 tidak selalu harus dituangkan dalam bentuk undang-undang khusus yang landasan pembentukan/dasar hukum mengingat mencantumkan Pasal 23A UUDNRI 1945.
Article 23A of The 1945 Constitution of The Republic of Indonesia in its implementation mandates the formation of laws, including laws on taxation, laws on retribution, and also laws on non-tax state revenue. Unlike taxes, the terms retribution and non-tax revenue are not found textually in the Constitution. This is the trigger for researchers to find the background or reason for the inclusion of the phrase "other levies of compelling character" in Article 23A The 1945 Constitution of The Republic of Indonesia both in terms of history and original intent, and how constitutional judges interpret the phrase when implemented. This research is a normative legal research using the secondary data in the form of primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary legal materials. Then the data is analyzed qualitatively by parsing the data and seeing the correlation so that there is clarity on a matter.
According to the results of the research, it is concluded that the form of classification of state levies in the form of retribution and non-tax revenue is the result of the development of the form of state levies which was originally part of tax revenue thus becoming non-tax revenue and also the classification of other forms that cannot be categorized into tax revenue. The original intent of the Article 23A formulation of The 1945 Constitution of The Republic of Indonesia, especially the phrase "other levies of compelling character", are 1) as a legal basis for the transfer of wealth from the citizens to the state which is commonly practiced in a state of law in order to guarantee protection to the citizens from the unauthorized levies; and 2) as a manifestation of the anticipation of the emergence of other terms/other forms of state levies. The phrase " other levies of compelling character" is not specifically intended to legalize levies of retribution and non-tax state revenues, but is also intended to anticipate the development of other forms of state levies. The interpretation of Article 23A of The 1945 Constitution of The Republic of Indonesia in the Constitutional Court's decision is essentially the same as the original intent of the Article 23A formulation of The 1945 Constitution of The Republic of Indonesia. However, the Constitutional Court's decision emphasized the difference between tax levies and other levies in terms of the benefits obtained. In addition, other forms of levies are found as part of the meaning of the phrase "other levies" apart from levies and non-tax state revenues, namely levies made by Indonesia Financial Services Authority . This shows that the mandate in Article 23A of The 1945 Constitution of The Republic of Indonesia does not always have to be set out in the form of a special statute in which the legal basis for its establishment is Article 23A of The 1945 Constitution of The Republic of Indonesia.
Kata Kunci : original intent, interpretasi, Pasal 23A, pungutan lain/original intent, interpretation, Article 23A, other levies