Potensi Bioherbisida Tanaman Jengger Ayam Merah (Celosia argentea (L.) Kelompok Plumosa) terhadap Gulma Dominan Pertanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merrill)
Safira Nur Aini, Dr. Dyah Weny Respatie, S.P., M.Si.; Prof. Dr. Ir. Aziz Purwantoro, M.Sc.
2025 | Tesis | S2 Agronomi
Pengelolaan gulma merupakan faktor
penting yang membatasi pertumbuhan tanaman kedelai. Perkembangbiakan gulma yang
tidak terkendali dapat berdampak negatif terhadap perkembangan tanaman dan
menurunkan hasil panen hingga 18–76%, sehingga menjadi tantangan serius dalam
bentuk stres biotik. Meskipun herbisida sintetis banyak digunakan dalam
pengendalian gulma, aplikasinya berpotensi mencemari air, udara, dan tanah,
serta dinilai tidak berkelanjutan untuk penggunaan jangka panjang. Sebagai
solusi alternatif, bioherbisida menawarkan pendekatan yang lebih ramah
lingkungan. Salah satu tanaman yang menunjukkan potensi sebagai agen
bioherbisida adalah jengger ayam merah (C. argentea). Penelitian ini
mengevaluasi kemampuan bioherbisida dari akar, batang, daun, dan bunga C.
argentea L. dalam empat konsentrasi, yaitu 0, 10, 20, dan 40 g L?¹. Evaluasi
dilakukan berdasarkan kandungan fenolik total (ekuivalen asam galat), pH,
konduktivitas listrik, dan potensi osmotik. Ekstrak dari berbagai bagian
tanaman pada masing-masing konsentrasi tersebut kemudian diuji terhadap tanaman
kedelai (G. max ) serta dua jenis gulma, yaitu teki (C. rotundus
) dan ketul (B. pilosa.). Percobaan tambahan dilakukan untuk menguji
pengaruh konsentrasi optimum terhadap fase awal pertumbuhan kedelai dan gulma.
Hasil penelitian menunjukkan . Hasil penelitian menunjukkan bahwa bagian bunga C.
argentea merah merupakan bagian tanaman yang paling berpotensi sebagai
bioherbisida, karena mampu menghambat perkecambahan dan pertumbuhan awal C.
rotundus dan B. pilosa. Konsentrasi ekstrak sebesar 40 g L?¹ terbukti
paling efektif dalam menekan pertumbuhan gulma. Aplikasi bioherbisida yang
paling tepat dilakukan pada tujuh hari setelah tanam, saat tanaman kedelai
telah membentuk ketahanan sehingga tidak terganggu oleh perlakuan. Mekanisme
penghambatan pertumbuhan gulma melibatkan penutupan stomata, penurunan
kandungan klorofil, dan penurunan bobot kering, serta peningkatan produksi H?O? yang memicu
respons pertahanan melalui peningkatan aktivitas enzim antioksidan (SOD, POD),
vitamin C, dan MDA. Sedangkan, tanaman kedelai menunjukkan kemampuan adaptif
dengan menghindari paparan langsung atau menetralisir stres oksidatif secara
efisien, sehingga mampu tumbuh secara normal meskipun berada dalam lingkungan
yang mengandung bioherbisida. Hasil ini menunjukkan bahwa ekstrak bunga C.
argentea merah berpotensi dikembangkan sebagai bioherbisida selektif yang
ramah lingkungan. Temuan ini mengindikasikan bahwa ekstrak bunga C. argentea
L. memiliki potensi besar sebagai bioherbisida yang berkelanjutan dalam sistem
pengelolaan gulma terpadu pada budidaya kedelai.
Weed management is a critical factor limiting
soybean growth. Uncontrolled weed proliferation can negatively impact crop
development and reduce yields by 18–76%, posing a serious challenge in the form
of biotic stress. Although synthetic herbicides are widely used for weed
control, their application poses risks of water, air, and soil contamination
and is considered unsustainable for long-term use. As an alternative solution,
bioherbicides offer a more environmentally friendly approach. One plant that
has shown potential as a bioherbicidal agent is red cockscomb (C. argentea).
This study evaluated the bioherbicidal potential of the root, stem, leaf, and
flower parts of C. argentea L. at four concentrations: 0, 10, 20, and 40
g L?¹. The evaluation was based on total phenolic
content (expressed as gallic acid equivalents), pH, electrical conductivity,
and osmotic potential. Extracts from various plant parts at each concentration
were tested on soybean (G. max) and two weed species: purple nutsedge (C.
rotundus) and Spanish needle (B. pilosa). Additional experiments
were conducted to assess the effect of the optimum concentration on the early
growth stages of both soybeans and weeds. The results showed that the flower
part of red C. argentea was the most promising as a bioherbicide, as it
effectively inhibited the germination and early growth of C. rotundus
and B. pilosa. An extract concentration of 40 g L?¹ proved to be the most effective in suppressing weed
growth. The optimal application time was seven days after planting when soybean
plants had already developed resistance and were not negatively affected by the
treatment. The mechanism of weed growth inhibition involved stomatal closure,
decreased chlorophyll content, and reduced dry weight, as well as increased H?O? production that
triggered a defense response through elevated antioxidant enzyme activity (SOD,
POD), vitamin C, and MDA. In contrast, soybean plants demonstrated adaptive
capabilities by either avoiding toxic contact or efficiently neutralizing
oxidative stress, allowing them to grow normally despite the presence of
bioherbicide. These findings suggest that red C. argentea flower extract
has strong potential to be developed as a selective and eco-friendly
bioherbicide. This indicates that C. argentea flower extract holds
significant promise as a sustainable bioherbicidal agent in integrated weed
management systems for soybean cultivation.
Kata Kunci : alelopati, bioherbisida, Bidens pilosa, Cyperus rotundus, jengger ayam merah, kedelai / allelopathy, bioherbicide, Bidens pilosa, Cyperus rotundus, red cockscomb (Celosia argentea), soybean