Fear and Love Beyond Borders: Understanding Shifting Emotional Landscape of Indonesia's and Singapore's Response to the 2021 Myanmar Coup
FRANSISCA OCTAVIANI PANJAITAN, Dr. Muhammad Rum, S.I.P., I.M.A.S
2024 | Skripsi | Ilmu Hubungan Internasional
Dalam situasi krisis, pengalaman yang dijalani masyarakat tidak hanya dirasakan secara individu, tetapi juga menyebar luas. Pada Kudeta Myanmar 2021, Indonesia dan Singapura dilihat sebagai pemimpin masa depan ASEAN. Meskipun memiliki ideologi yang berbeda, kedua negara ini bersatu untuk mendukung tujuan bersama. Posisi kohesif ini terbentuk dengan mempertimbangkan Politik Emosi. Ketidakstabilan masyarakat sipil serta strategi gerakan mereka memungkinkan perasaan mereka bergema di luar perbatasan. Karena Indonesia dan Singapura memiliki sejarah yang panjang dan berpengaruh di ASEAN, kontribusi mereka menjadi aspek krusial. Tekanan terus-menerus yang diberikan kedua negara kepada ASEAN untuk menerapkan Five-Point Consensus menunjukkan momen kebersamaan yang unik. Kerusuhan dan kemarahan yang meluas akibat kebrutalan militer Myanmar memberikan argumen kuat bagi langkah yang diambil. Memahami reaksi berantai ini penting karena dapat membantu kita lebih memahami bagaimana emosi berperan dalam pengambilan keputusan. Menerima dan merekonstruksi bagaimana kita memandang efek emosi pada pembuatan kebijakan dapat membantu kita membentuk respons yang lebih baik terhadap krisis dan upaya untuk mengkonsolidasikan demokrasi di kawasan.
Within a crisis, the experiences lived through people, however also felt and spread through societies. In the Myanmar Coup 2021, Indonesia and Singapore are two countries that are viewed as future leaders in ASEAN, and how despite their divergent ideologies, they unite in support of a common cause. These cohesive positions are formed, taking into account the Politics of Emotions. The civil society unrest as well as strategies within its omvement has allowed their feelings to resonate beyond its borders. As Singapore and Indonesia have a long and influential history within ASEAN, their contribution becomes a crucial aspect. The continual pressure the two put on ASEAN to implement its Five-Point Consensus indicates a unique moment of togetherness. The unrest and widespread indignation that followed the brutality of the Myanmar military provides a compelling argument for the steps taken. Understanding these chain reactions is important because it can help us better understand how emotions play a role in decision-making. Accepting and reconstructing how we approach these emotions' effect on policy-making can help us shape better responses to crises and efforts to consolidate democracy within the region.
Kata Kunci : Myanmar Coup 2021, Indonesia, Singapore, ASEAN, Five-Point Consensus, Politics of Emotions, Fear, Love, Affective Politics