“ANTAKNG” SEBAGAI SATUAN NILAI DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT DAYAK BENUAQ TONYOOI DI KUTAI BARAT
VALENCI KALISTA, Prof. Dr. Setiadi, S.Sos., M.Si.
2024 | Tesis | S2 Antropologi
Antakng sebagai standar nilai adat yang
diterapkan di wilayah Kabupaten Kutai Barat melalui Lembaga Adat Kampung hingga
Lembaga Adat Kabupaten. Penyelesaian kasus dengan menerapkan denda antakng
tidak hanya pada kampung Dayak saja, tetapi juga di kampung-kampung dengan
penduduk dari etnis lain. Tulisan ini membahas bagaimana antakng selain menjadi
commodity money juga sebagai satuan nilai dalam upaya penyelesaian kasus antara
sesama orang Dayak, maupun antara orang Dayak dengan bukan Dayak. Selain itu dijelaskan
pula peran lembaga adat di Kutai Barat dalam membantu pemerintah maupun
kepolisian sebagai upaya penyelesaian kasus konflik antarsuku.
Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan analisis Miles and Huberman dalam pengolahan datanya. Informan-informan merupakan mereka yang berkaitan langsung dengan kegiatan adat dan hubungan antarmasyarakat setempat. Penelitian dilakukan di wilayah Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur, secara khusus pada kampung-kampung yang memiliki penduduk dengan etnis beragam, tidak hanya Dayak saja. Informan yang diwawancarai dalam penelitian ini berjumlah empat orang.
Antakng kemudian bisa berarti dua hal, antakng (guci) sebagai benda adat dan antakng sebagai satuan nilai yang diterapkan orang Dayak Tonyooi Benuaq di Kutai Barat. Antakng (guci) secara fisik selalu digunakan dalam ritual adat, baik ritual kehidupan maupun ritual kematian. Antakng sebagai satuan nilai diterapkan dalam pembayaran upah dan denda adat. Dahulu orang Dayak Benuaq Tonyooi melakukan pembayaran menggunakan antakng (guci) asli dan benda-benda adat lain sebagai commodity money. Lambat laun, keberadaan antakng (guci) yang langka membuat orang Dayak Benuaq Tonyooi bersepakat agar nilainya dapat dikonversi secara rupiah. Saat ini nilai antakng 1 setara dengan Rp 400.000,- (empat ratus ribu rupiah).
Antakng is a customary value standard applied in the Kutai Barat Regency area through the Village Customary Institutions to the Regency Customary Institution. The resolution of cases by imposing antakng fines is not only in Dayak villages but also in villages with residents from other ethnic groups. This article discusses how antakng, in addition to being commodity money, is also a unit of value in resolving cases among Dayak people as well as between Dayak and non-Dayak people. It also explains the role of customary institutions in Kutai Barat in assisting the government and the police in resolving inter-ethnic conflict cases. Four informants interviewed for this research.
The research uses qualitative methods
with Miles and Huberman analysis in data processing. The informants are those
directly related to customary activities and inter-community relations. The
research was conducted in the Kutai Barat Regency area, East Kalimantan,
specifically in villages with diverse ethnic populations, not only Dayak.
Antakng can then mean two things:
antakng (urn) as a customary object and antakng as a unit of value applied by
the Dayak Tonyooi Benuaq people in Kutai Barat. Physically, antakng (urn) is
always used in customary rituals, both life and death rituals. Antakng as a
unit of value is applied in the payment of wages and customary fines. In the
past, the Dayak Benuaq Tonyooi people made payments using original antakng
(urn) and other customary objects as commodity money. Gradually, the rarity of
antakng (urn) led the Dayak Benuaq Tonyooi people to agree to convert its value
into rupiah. Currently, the value of one antakng is equivalent to Rp 400,000
(four hundred thousand rupiah).
Kata Kunci : antakng, guci, commodity money, denda adat, hukum adat/antakng, urn, commodity money, customary fines, customary law