Basis humanisme bagi dialog antaragama :: Menuju transformasi paradigmatik "Teologi Humanis"
MUJIB, Ibnu, Dr. Irwan Abdullah
2004 | Tesis | S2 Perbandingan AgamaSecara tidak disadari kita sering memaksakan suatu idealisme tertentu untuk berlaku seimbang bersama dalam proses realitas kehidupan. Hal ini terlihat dari berbagai pernyataan apologetics yang sering muncul dari para pemuka agama terkait ketika menghadapi persoalan-persoalan konflik, kekerasan yang melanda dunia akhir-akhir ini. Pernyataan yang sering muncul diantaranya adalah bahwa agama telah mengajarkan perdamaian, kasih sayang dan hidup yang baik, lalu yang menjadi kegelisahan akademik bagi saya bahwa klaim-klaim kekerasan dan pembunuhan selalu dialamatkan pada oknum-oknum yang menyalahgunakan agama untuk kepentingan sendiri atau kelompok. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah sudah layakkah argumen apologetics ini menjadi pijakan bagi nalar akademis sebuah studi agama? Seiring dengan pertanyaan ini, praktek pemaknaan status “agama†dihadapan manusia selalu diletakkan dalam tempat yang jauh disana, tersendiri dan suci seolah merupakan entitas yang ada diluar manusia. Padahal agama yang riel adalah yang dihayati oleh pemeluknya. Agama kongkrit adalah agama yang dikenal dalam sejarah, yang kental diwarnai oleh konflik, penindasan dan kekerasan. Sikap apologetik inilah, diakui atau tidak terbentuk dari sikap yang kurang terbuka ( less open minded) terhadap apa yang telah kita miliki. Kebutuhan akan penerapan sistem dialog terhadap kurangnya keterbukaan dan berkembangnya sikap apologetik ini, menjadi skala prioritas dalam diskursus tesis ini. Tidak berhenti disini, tesis ini justru ingin meletakkan dasar humanisme sebagai entitas yang sering mengadakan persinggungan secara diametric dan antagonistic—dalam dialektika sejarahnya-- dengan agama, sebagai fundasi yang paling mendasar bagi dialog agama-agama. Resistensi antara dua kutub ini, bila di hadapkan secara nonantagonistik, terlebih lagi ada bagian tertentu dari agama yang disinggung dengan pendasaran antropologi sosial (social anthropology), maka , diakui atau tidak bentuk-bentuk resistensi ini akan melahirkan pembelaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, diantaranya adalah pembebasan, keadilan, hilangnya deskriminasi, dll. Dengan demikian bentukan ini akan memberikan motifasi pada pengakuan terhadap martabat dan nilai setiap manusia secara individu, serta semua usaha untuk memajukan semua kemampuannya secara penuh, juga sebagai sebuah sikap rohani yang terarahkan untuk menghargai existensi orang lain. Pendasaran yang diajukan dalam mempertemukan dua kutub ini adalah “antroporeligius†yang mana kerangka ini didasarkan atas gabungan interaktif antara pendekatan antropologi dengan agama. Pendekatan antropologi dalam konteks ini, --jika kita merujuk pengalaman antropologi Clifford Geertz dalam antropologi budaya kehidupan Jawa-- ia melihat agama sebagai fakta budaya, bukan semata-mata sebagai ekspresi kebutuhan sosial atau ketegangan ekonomi --meskipun hal-hal ini juga diperhatikan-- melalui simbul, ide, ritual, dan adat kebiasaanya. Melalui pemaknaan inilah, hal ini mengindikasikan adanya Perubahan secara konvensional yang telah digambarkan Geertz sebagai perubahan dari “struktur†kepada “maknaâ€. Perubahan serupa ini bisa dikatakan sebagai runtuhnya “fungsionalisme strukturalâ€. Saya melihat dialog agama-agama membutuhkan kerangka konseptual seperti ini yaitu perubahan dari tatanan “struktural kepada maknaâ€.
This thesis proposes several fundamental bases in a structure of a paradigmatic frame on intireligious dialogue, that is based on humanism in the context of paradigmatic transformation by proposing the kind of the key concept. Those are, first, local wisdom as contain for humanism theology, second. Human rights as a human basics for a new theology, third. Considering the transformation of “moral theology†on the context of action in religious morality. The proposing of the concept is done by the reason that interreligious dialogue that is done now is not so effective and it doesn’t touch into the basic problems of human life. This is proved by its development into the social violence, religiosity, ethnicity, or political effect conflict. The method of the writing of this thesis is “philosophical explorations†and “comparative analysis†while the approach is social anthropology. In this cases, two powers of this epistemology can help to explore the several problems and the paradigm of religious dialogue philosophically and proposes an analytical frame work comparatively. Basic insight to covering two poles of this methodology is “anthroreligion†which is the frame based on symbolic interactions between anthropology and religion. Anthropological approach in this context – if we refer to Geertz experience on the cultural anthropology of Javanese life—he looks at religion as a cultural fact, it is not a social need expression only, but there is a fundamental shift that is from the “structure†to the “meaningâ€. The fundamental shift can said to destroy the “structural functionalismâ€. I see that interreligious dialogue needs conceptual frames like these, that is the shifting paradigm from the structure to the meaning order. By the frame, the thesis result arises that to resolve the problem of interreligious dialogue, religion must be down in one stage, from the prophetic formalistic structural to the meaning or values that accumulate in theological freedom. The result is all institutional local religiosity can covered and exp ressed according to the character of each theology. And the end, religion become a moral force which can be touched not only by the religious community it self but also the non religious community
Kata Kunci : Agama,Teologi Humanis,Dialog Antar Agama, Intereligious dialogue, Humanism, Antro-religious, structure and meaning, and local wisdom