Pusat Rehabilitasi Sosial bagi Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar dengan Pendekatan Behavioral Architecture di Kota Semarang
CINTA PUTRI MAHADEWI SUGIONO, Mario Lodeweik Lionar, S.T., M.Sc., Ph.D.
2024 | Skripsi | ARSITEKTUR
Fenomena maraknya kelompok Pengemis, Gelandangan, dan Orang Terlantar (PGOT) menjadi isu sosial yang terus menerus mengalami peningkatan dan belum terselesaikan dengan efektif di beberapa kota arau kabupaten, salah satunya adalah kota Semarang. Kota Semarang sebagai salah satu kota besar di Indonesia dan ibukota Provinsi Jawa Tengah, masih menghadapi tantangan ini akibat pertumbuhan kota yang kompleks diiringi peningkatan jumlah penduduk. Badan Pusat Statistik (2022) menunjukkan adanya pertambahan jumlah kelompok PGOT tiap tahunnya dan provinsi Jawa Tengah menduduki peringkat ketiga nasional dengan jumlah kelompok PGOT terbanyak yang tersebar di 80 desa/kelurahan.
Adanya peningkatan jumlah kelompok pengemis, gelandangan, dan orang terlantar (PGOT) ini bersumber dari isu kemiskinan, terbatasnya peluang kerja di kota, dan rendahnya sumber daya manusia yang semakin diperparah dengan munculnya pandemi COVID-19. Selain itu, peningkatan jumlah PGOT tidak diiringi dengan pertambahan pelayanan berupa pemberian bimbingan yang memadai dalam rangka meningkatkan kualitas hidup kelompok tersebut. Bahkan, sarana dan fasilitas seperti balai rehabilitasi sosial Mardi Utomo Semarang yang khusus menampung kelompok pengemis, gelandangan, dan orang terlantar mengalami kelebihan kapasitas sehingga masalah sosial ini masih belum terselesaikan dengan efektif.
Oleh karena itu, perlunya perancangan pusat rehabilitasi sosial baru yang dapat menampung kelompok pengemis, gelandangan, dan orang terlantar dengan pendekatan behavioral architectural yang berfokus pada perilaku pengguna dan dilengkapi pelayanan berupa bimbingan keterampilan yang dapat meningkatkan kualitas hidup para penerima manfaatnya. Pusat rehabilitasi sosial ini juga perlu peningkatan kualitas seperti asrama dan ruang bimbingan yang lebih sehat untuk memberikan kenyamanan fisik dan psikis bagi pengguna. Dengan demikian, masalah sosial terkait pertambahan jumlah PGOT dapat ditekan dan menjamin para penerima manfaatnya hidup lebih baik dan bermanfaat bagi masyarakat sekitar melalui pelatihan secara jasmani dan rohani sebagai bentuk persiapan hidup bermasyarakat.
Kata kunci: pengemis, gelandangan, orang terlantar, pusat rehabilitasi sosial, isu kemiskinan.
The phenomenon of the rise of Beggars, Homeless People and Abandoned People is a social issue that continues to increase and has not been resolved effectively in several cities or districts, one of them is the city of Semarang. The city of Semarang, as one of the big cities in Indonesia and the capital of Central Java Province, is still facing this challenge due to complex city growth accompanied by an increase in population. Badan Pusat Statistik (2022) shows that there is an increase in the number of PGOT groups every year and Central Java province is ranked third nationally with the largest number of PGOT groups spread across 80 villages/sub-districts.
The increase in the number of beggars, homeless people and neglected people (PGOT) stems from the issue of poverty, limited job opportunities in the city, and low human resources which have been further exacerbated by the emergence of the COVID-19 pandemic. Apart from that, the increase in the number of PGOT is not accompanied by an increase in services in the form of providing adequate guidance to improve the quality of life of this group. In fact, social facilities such as the Mardi Utomo Semarang Rehabilitation Center which specifically accommodates groups of beggars, homeless people, and neglected people are experiencing excess capacity so that this social problem has still not been resolved effectively.
Therefore, it is necessary to design a new social rehabilitation center that can accommodate groups of beggars, homeless people and neglected people using a behavioral architectural approach that focuses on user behavior and is equipped with services in the form of skills guidance that can improve the quality of life of the beneficiaries. This social rehabilitation center also needs quality improvements such as healthier dormitories and guidance rooms to provide physical and psychological comfort for users. In this way, social problems related to the increase in the number of PGOT can be reduced and ensure that the beneficiaries have better lives and are beneficial to the surrounding community through physical and spiritual training as a form of preparation for life in society.
Keywords: beggars, homeless people, abandoned people, social rehabilitation centers, poverty issues.
Kata Kunci : pengemis, gelandangan, orang terlantar, pusat rehabilitasi sosial, isu kemiskinan.