PERENCANAAN KAWASAN CAGAR BUDAYA KERTO – PLERET MENGGUNAKAN PENDEKATAN TACTICAL RURALISM
BERNARDINUS REALINO JUSTIN NOVANDRI PRIAMBUDI, Prof. Ir. Bambang Hari Wibisono, MUP, M.Sc., Ph.D.
2024 | Skripsi | PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA
Kawasan Cagar Budaya Kerto – Pleret merupakan salah satu kawasan yang memiliki unsur budaya dan sejarah sebagai suatu potensi sehingga telah ditetapkan sebagai kawasan Satuan Ruang Strategis Kerto – Pleret. Secara spasial, kawasan Kerto – Pleret mengalami transformasi ruang mengikuti sejarah kawasan saat menjadi ibu kota kerajaan Mataram Islam tahun 1647 yang dipindah di kawasan yang dekat dengan pertemuan dua sungai. Kekayaan unsur kebudayaan tersebut dimaknai oleh masyarakat sebagai suatu karya modifikasi ruang berdasarkan representasi perspektif masyarakat terhadap kawasan. Transformasi guna lahan berdampak pada perubahan perspektif dan pemaknaan masyarakat terhadap ruang hidupnya yang turut mengancam keberadaan peninggalan situs kebudayaan pula. Perlunya masyarakat dalam memaknai ruang hidup atau ruang sosial dalam kawasan cagar budaya menjadi suatu urgensi terhadap permasalahan minimnya pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap ruang-ruang yang memungkinkan adanya pemanfaatan secara terbuka dan bebas bagi masyarakat. Perencanaan kawasan akan terpusat pada titik pusat kegiatan sosial sebanyak enam tapak berupa situs, ruang terbuka publik, atau tempat wisata. Alternatif yang digunakan dalam perencanaan ini menitikberatkan pada keseimbangan rencana antara zona konservasi dengan zona ruang sosial pada setiap tapaknya. Perencanaan keenam tapak tersebut mengimplementasikan konsep tactical ruralism melalui berbagai indikator kawasan serta kriteria desain yang berusaha untuk menerjemahkan kebutuhan masyarakat dalam bentuk desain masterplan sebagai bentuk rekomendasi bagi publik.
The Kerto -
Pleret Cultural Heritage Area is one of the areas that cultural and historical
elements as main potential, so it has been designated as the Kerto - Pleret
Strategic Spatial Unit area (SRS Kerto - Pleret. Spatially, the Kerto - Pleret
area has undergone a spatial transformation following the history of the area
when it became the capital of the Islamic Mataram Kingdom in 1647, which was
moved to an area close to the confluence of two rivers (tempuran). The richness
of the cultural elements is interpreted by its community as a work of spatial
modification based on the representation of the community's perspective on the
area. Land use transformation has an impact on changes in the community's
perspective and the meaning of their living space, which also threatens the
existence of cultural heritage. The need for the community to interpret living
space or social space in the cultural heritage area is urgent regarding the
problem of minimal knowledge and public perception of spaces that allow for
open and free use by the community. The planning of the area will be centered
on the main points of social activities at six sites in the form of heritage
sites, public spaces, or tourist attractions. The alternatives used in the
planning emphasize the balance of the plan between the conservation zone and
the social zone at each site. The planning of those six sites implements the
concept of tactical ruralism through various indicators and design criteria
that attempt to translate the community needs into the form of a masterplan
design as a form of recommendation for the public.
Kata Kunci : Design Thinking, Intervensi Fisik, Kawasan Cagar Budaya, Placemaking, Tactical Ruralism