Implikasi Praktik Overruling Oleh Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Pasal 169 Huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Terkait Batas Usia Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden

Eugen Mohamad, Dr. Dian Agung Wicaksono, S.H., LL.M.

2024 | Skripsi | ILMU HUKUM

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana dinamika pendirian MK dalam pengujian Pasal 169 huruf q UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan apakah dinamika pendirian tersebut termasuk kualifikasi praktik overruling serta bagaimana implikasinya. Kemudian, penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian hukum normatif dan bersifat eksploratif. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang kemudian dianalisis menggunakan metode kualitatif. 

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut. Pertama, terjadi dinamika yang variatif dalam pengujian Pasal a quo oleh MK. Terdapat tiga pola permohonan, yakni perihal batas usia (an sich); penyepadanan syarat alternatif berpengalaman sebagai penyelenggara negara; serta penyepadanan syarat alternatif berpengalaman sebagai elected officials. Lebih lanjut, MK tidak konsisten dalam pendiriannya terkait dengan open legal policy dan penyepadanan syarat alternatif. 

Kedua, terjadi praktik overruling pada rangkaian pengujian a quo sebagaimana terjadi pergeseran pendirian dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023. Selanjutnya, apabila diklasifikasi berdasarkan tipologi overruling menurut Blaustein, pengujian a quo cenderung tergolong sebagai unwarranted overruling. Hal tersebut terjadi karena terdapat faktor dominan berupa keleluasaan hakim dalam memperluas pemaknaan Pasal a quo sehingga terdapat ragam pendirian oleh masing-masing hakim konstitusi.

Ketiga, terdapat implikasi normatif berdasarkan hasil dari praktik overruling tersebut. Putusan a quo telah menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap prinsip nebis in idem dalam hukum acara pengujian undang-undang. Lebih lanjut, MK melakukan pengabaian terhadap Pasal 60 ayat (1) dan (2) UU MK. Selain itu, praktik overruling tersebut juga menimbulkan kegamangan karena adanya distorsi penafsiran dalam Putusan a quo. Dalam hal ini, hakim konstitusi tidak dapat menyepakati amar putusan tunggal sehingga hanya bersepakat pada pendirian masing-masing. Dengan demikian, praktik overruling oleh MK tersebut telah menimbulkan preseden yang buruk.

This research examines the dynamics of the Constitutional Court's stance in reviewing Article 169 letter q of Law 7/2017 about General Elections whether the dynamics of this stance are classified as overruling practices and what the implications are. Then, this research is normative legal research. The data used in this research is secondary data and analyzed using qualitative methods.

Based on the results, the following conclusions were obtained. First, there were varied dynamics in the review of Article 169 letter q by the Constitutional Court. There are three judicial review application patterns, regarding the age limit; alternative requirements for experience as a state officer; also alternative requirements for experience as an elected official. Furthermore, the Constitutional Court was inconsistent in its stance regarding open legal policy and alternative requirements.

Second, there was overruling practice as there was a shift in stance in Constitutional Court Decision  90/PUU-XXI/2023. Furthermore, if classified based on the overruling typology according to Blaustein, it tends to be classified as unwarranted overruling. This happens because there is a dominant factor of the judge's discretion in expanding the meaning of Article 169 letter q so that there are various stances by each constitutional judge.

Third, there are normative implications based on the results of the overruling practice. The decision has created legal uncertainty regarding the nebis in idem principle in judicial review procedural law. Furthermore, the Constitutional Court ignored Article 60 paragraphs (1) and (2) of the Constitutional Court Law. Apart from that, the practice of overruling also creates uncertainty due to the distortion of interpretation in Court Decision 90/PUU-XXI/2023. In this case, constitutional judges cannot agree on a single stance of decision so they only agree on their respective positions. Thus, the practice of overruling by the Constitutional Court has created a bad precedent.

Kata Kunci : Praktik Overulling, Batas Usia Pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, Pemilihan Umum, Overruling, Age Limit for Presidential and Vice Presidential Candidate, Election