Pandemi Kolera Ketujuh dan Penanggulangannya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 1962-1980an
Rizky Yunantoro Mandiri, Nur Aini Setiawati, Ph.D.
2024 | Skripsi | ILMU SEJARAH
Layaknya "pendamping setia", Pandemi Kolera Ketujuh seakan enggan meninggalkan umat manusia ketika masa telah memasuki abad ke-21. Pandemi ini bermula pada 1961 dari Sulawesi, bersamaan dengan berkembangnya moda transportasi komersial yang menyebabkan meningkatnya mobilitas manusia. Perkembangan ini pada sisi lain diikuti oleh mutasi Vibrio Cholerae El Tor yang sebelumnya dikenal jinak. Kombinasi dari keduanya kemudian membuat pandemi seolah tidak terelakkan lagi dan pada akhirnya itulah yang terjadi. Semenjak 1961 hingga abad ke-21, Pandemi Kolera Ketujuh menunjukkan bahwa penyakit kolera adalah salah satu penyakit infeksi yang masih setia "mendampingi" umat manusia.
Kehadiran penyakit kolera sebenarnya tak ubahnya sebuah jendela untuk mengintip suatu masa ketika penyakit itu hadir. Di samping soal mutasi bakteri dan meningkatnya mobilitas manusia, Pandemi Kolera Ketujuh juga dimungkinkan oleh beragam faktor (sosial, politik, dan ekonomi). Oleh karenanya penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan bagaimana kondisi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada 1960an-1980an ketika menghadapi Pandemi Kolera Ketujuh. Melalui metode penelitian sejarah ditemukan sebuah hubungan tak terpisahkan antara faktor sosial, politik, ekonomi, dengan penyebaran penyakit kolera. Dengan menggunakan berbagai sumber yang meliputi arsip, surat kabar, majalah, artikel, dan buku diketahui juga bahwa upaya menghadapi kolera adalah kegiatan yang cakupannya luas dan kompleks. Mulai dari urusan medis, pembangunan infrastruktur, hingga peningkatan taraf kehidupan penduduk.
Cholera defined itself as a "constant companion" when the Seventh Cholera Pandemic seemed reluctant to leave humanity when the 21st century began. This pandemic began in 1961 in Sulawesi, at the same time as the development of commercial transportation modes led to increased physical human mobility. On the other hand, this development was followed by the evolution of Vibrio Cholerae El Tor, which was previously known to be benign. The combination of these factors then made the pandemic seem inevitable and in the end, that is what happened. From 1961 until the 21st century, the Seventh Cholera Pandemic underscored cholera's persistent presence as one of the infectious diseases that consistently accompanies humanity.
The presence of cholera serves as a window into historical periods when the disease was prevalent, revealing insights into the societal, political, and economic conditions of the time. Beyond issues of bacterial mutation and increased human mobility, the Seventh Cholera Pandemic was propelled by a multitude of factors, including social, political, and economic circumstances. This research aims to shed light on the condition of the Special Region of Yogyakarta Province during the 1960s-1980s in the face of the Seventh Cholera Pandemic. Utilizing historical research methods, an inseparable relationship between social, political, and economic factors and the spread of cholera. Examination of various sources, including archives, newspapers, magazines, articles, and books, reveals the extensive and multifaceted nature of efforts to combat cholera. These efforts encompassed not only medical interventions and infrastructure development, but also initiatives aimed at improving the overall standard of living for the population.
Kata Kunci : Pandemi, El Tor, Kolera, DIY