Pengelolaan dan Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Wisata Bukit Laiuhuk Wairinding, Desa Pambotanjara, Kecamatan Kota Waingapu, Kabupaten Sumba Timur.
Rudyolof Imanuel Malo Pinda, Dr. Krisdyatmiko, S.Sos, M.Si
2024 | Tesis | S2 PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN
Pembangunan desa wisata memiliki tujuan untuk memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat desa. Namun, dalam prakteknya muncul berbagai macam permasalahan seperti konflik antar masyarakat terkait hak pengelolaan wisata, wisata yang dikuasai secara eksklusif, kurangnya partisipasi masyarakat, terjadinya penguasan wisata secara elite capture, kerusakan lingkungan, dan terbatasnya sumber daya manusia dalam mengelola wisata. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, maka konsep pariwisata berbasis masyarakat/community based tourism (CBT) perlu diimplementasikan. Konsep pariwisata berbasis masyarakat menekankan pada pengelolaan wisata yang dikelola secara langsung oleh masyarakat lokal secara partisipatif. Sehingga, masyarakat lokal mendapatkan manfaat ekonomi dan sosial. Desa Pambotanjara merupakan salah satu desa dari 14 desa wisata yang ada di Kabupaten Sumba Timur. Di Desa Pambotanjara terdapat wisata Bukit Laiuhuk Wairinding yang menawarkan keindahan alam berupa padang dan bukit savana. Sejak awal terkenalnya wisata ini pada tahun 2014 terdapat berbagai permasalahan dalam pengelolaan & pengembangan yang mencakup belum dioptimalkannya potensi dan sumber daya manusia. Oleh sebab itu, hal ini yang menjadi ketertarikan bagi peneliti untuk meneliti secara lebih mendalam terkait bagaimana pengelolaan dan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di wisata Bukit Laiuhuk Wairinding.
Penelitian ini dilakukan di Wisata Bukit Laiuhuk Wairinding, Desa Pambotanjara, Kabupaten Sumba Timur. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan data berupa wawancara, observasi dan dokumentasi. Informan yang diwawancarai mencakup Kepala Desa Pambotanjara, Bumdes Pambotanjara sebagai pengelola wisata Bukit Laiuhuk Wairinding, Pokdarwis Bukit Wairinding, masyarakat Desa Pambotanjara, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sumba Timur, dan Kepala Bidang Penanganan Fakir Miskin Dinas Sosial Kabupaten Sumba Timur.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengelolaan dan pengembangan wisata Bukit Laiuhuk belum
seutuhnya menjalankan konsep pariwisata berbasis masyarakat. Hal ini dapat
terlihat dari tiga fase pengelolaan dan pengembangan wisata. Fase pertama dari
tahun 2016 hingga 2019 menunjukan pengelolaan wisata tidak menerapkan
pariwisata berbasis masyarakat karena dijalankan secara eksklusif oleh beberapa
oknum masyarakat Desa Pambotanjara. Pada praktiknya, uang hasil keuntungan
pariwisata hanya dinikmati oleh segelintir oknum. Selanjutnya, fase kedua pada
tahun 2019 dibentuk Pokdarwis Bukit Wairiding. Berlanjut pada tahun 2021,
Kementerian Pariwisata Republik Indonesia memberikan bantuan dana sebesar
Rp700.000.000 untuk pengembangan infrastruktur wisata. Pada fase ini sudah
terdapat upaya untuk menjadikan pengelolaan wisata bersifat CBT. Terakhir, fase
ketiga tahun 2022 hingga tahun 2024 pengelolaan wisata Bukit Laiuhuk Wairinding
dikelola oleh Bumdes Pambotanjara. Pada
fase ini pengelolaan CBT belum berjalan dengan maksimal, hal ini
dibuktikan dengan partisipasi masyarakat yang masih rendah, terjadinya
penguasaan wisata secara elite capture, dan masih minimnya
kerjasama antar Bumdes Pambotanjara serta Pokdarwis Bukit Wairinding dalam
pengelolaan dan pengembangan wisata. Pada sisi lainnya, komponen 4A (attraction, accessibility, amenities &
ancillary services) belum maksimal dijalankan dengan baik sehingga belum
terlalu besar keuntungan wisata yang didapatkan dalam pengelolaan wisata Bukit
Laiuhuk Wairinding.
Pembangunan desa wisata memiliki tujuan untuk memberikan manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat desa. Namun, dalam prakteknya muncul berbagai macam permasalahan seperti konflik antar masyarakat terkait hak pengelolaan wisata, wisata yang dikuasai secara eksklusif, kurangnya partisipasi masyarakat, terjadinya penguasan wisata secara elite capture, kerusakan lingkungan, dan terbatasnya sumber daya manusia dalam mengelola wisata. Untuk mengatasi berbagai permasalahan tersebut, maka konsep pariwisata berbasis masyarakat/community based tourism (CBT) perlu diimplementasikan. Konsep pariwisata berbasis masyarakat menekankan pada pengelolaan wisata yang dikelola secara langsung oleh masyarakat lokal secara partisipatif. Sehingga, masyarakat lokal mendapatkan manfaat ekonomi dan sosial. Desa Pambotanjara merupakan salah satu desa dari 14 desa wisata yang ada di Kabupaten Sumba Timur. Di Desa Pambotanjara terdapat wisata Bukit Laiuhuk Wairinding yang menawarkan keindahan alam berupa padang dan bukit savana. Sejak awal terkenalnya wisata ini pada tahun 2014 terdapat berbagai permasalahan dalam pengelolaan & pengembangan yang mencakup belum dioptimalkannya potensi dan sumber daya manusia. Oleh sebab itu, hal ini yang menjadi ketertarikan bagi peneliti untuk meneliti secara lebih mendalam terkait bagaimana pengelolaan dan pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di wisata Bukit Laiuhuk Wairinding.
Penelitian ini dilakukan di Wisata Bukit Laiuhuk Wairinding, Desa Pambotanjara, Kabupaten Sumba Timur. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Metode pengumpulan data berupa wawancara, observasi dan dokumentasi. Informan yang diwawancarai mencakup Kepala Desa Pambotanjara, Bumdes Pambotanjara sebagai pengelola wisata Bukit Laiuhuk Wairinding, Pokdarwis Bukit Wairinding, masyarakat Desa Pambotanjara, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sumba Timur, dan Kepala Bidang Penanganan Fakir Miskin Dinas Sosial Kabupaten Sumba Timur.
Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pengelolaan dan pengembangan wisata Bukit Laiuhuk belum
seutuhnya menjalankan konsep pariwisata berbasis masyarakat. Hal ini dapat
terlihat dari tiga fase pengelolaan dan pengembangan wisata. Fase pertama dari
tahun 2016 hingga 2019 menunjukan pengelolaan wisata tidak menerapkan
pariwisata berbasis masyarakat karena dijalankan secara eksklusif oleh beberapa
oknum masyarakat Desa Pambotanjara. Pada praktiknya, uang hasil keuntungan
pariwisata hanya dinikmati oleh segelintir oknum. Selanjutnya, fase kedua pada
tahun 2019 dibentuk Pokdarwis Bukit Wairiding. Berlanjut pada tahun 2021,
Kementerian Pariwisata Republik Indonesia memberikan bantuan dana sebesar
Rp700.000.000 untuk pengembangan infrastruktur wisata. Pada fase ini sudah
terdapat upaya untuk menjadikan pengelolaan wisata bersifat CBT. Terakhir, fase
ketiga tahun 2022 hingga tahun 2024 pengelolaan wisata Bukit Laiuhuk Wairinding
dikelola oleh Bumdes Pambotanjara. Pada
fase ini pengelolaan CBT belum berjalan dengan maksimal, hal ini
dibuktikan dengan partisipasi masyarakat yang masih rendah, terjadinya
penguasaan wisata secara elite capture, dan masih minimnya
kerjasama antar Bumdes Pambotanjara serta Pokdarwis Bukit Wairinding dalam
pengelolaan dan pengembangan wisata. Pada sisi lainnya, komponen 4A (attraction, accessibility, amenities &
ancillary services) belum maksimal dijalankan dengan baik sehingga belum
terlalu besar keuntungan wisata yang didapatkan dalam pengelolaan wisata Bukit
Laiuhuk Wairinding.
Kata Kunci : Pariwisata Berbasis Masyarakat, Partisipasi Masyarakat, Elite Capture, Komponen 4A Pariwisata (attraction, accessibility, amenities & ancillary services)