Evaluasi Kerja Sama Lintas Sektor dalam Penanganan dan Pengendalian Rabies di Kabupaten Kubu Raya
Tanrypada Thursina, Prof. dr. Yodi Mahendradhata, M.Sc., Ph.D., FRSPH
2024 | Tesis | MAGISTER KEBIJAKAN DAN MANAJEMEN KESEHATAN
Latar
Belakang: Rabies adalah penyakit zoonosis viral mematikan yang
ditularkan melalui gigitan anjing yang terinfeksi Lysavirus dan menjadi
masalah kesehatan global termasuk di Indonesia, salah satunya Provinsi
Kalimantan Barat termasuk Kabupaten Kubu Raya. Kerja sama lintas sektor
dilakukan untuk menangani masalah ini dan diatur dalam regulasi nasional. Upaya
ini telah dilakukan oleh Kabupaten Kubu Raya dengan melibatkan Dinas Kesehatan
dan Dinas Perkebunan dan Peternakan, namun dalam pelaksanaannya masih ditemukan
masalah seperti ketidakselarasan pelaporan kasus sehingga pelu dilakukan
evaluasi.
Tujuan:
Untuk
melakukan eksplorasi dan evaluasi menyeluruh terhadap komunikasi, kolaborasi,
koordinasi, serta pengembangan kapasitas pada pelaksanaan kerja sama
lintas sektor yang dilakukan dalam upaya penanganan dan pengendalian rabies di
Kabupaten Kubu Raya.
Metode:
Penelitian
yang digunakan adalah deskriptif kualitatif metode evaluasi dengan pendekatan
studi kasus desain embedded single case. Fokus penelitian pada
komunikasi, kolaborasi, pengembangan kapasitas dan koordinasi dalam kerjasama
lintas sektor upaya penanganan dan pengendalian rabies. Subjek penelitian
sebanyak 24 orang yang ditentukan secara purposive sampling dan berasal dari
sektor kesehatan, kesehatan hewan, pemerintah setempat, dan masyarakat.
Hasil:
Komunikasi
lintas sektor yang terjadi belum ada struktur yang jelas dan hanya terjadi saat
adanya laporan kasus GHPR yang masuk serta kerap kali ada kasus yang tidak
dilaporkan antar instansi dan kesalahan informasi serta belum terlaksananya
pertemuan rutin antar instansi. Kolaborasi pelaksanaan program KIE rabies
bersama belum rutin dilakukan dan bersifat terbatas pada marak tidaknya kasus
gigitan hewan penular rabies di tengah masyarakat serta belum menjangkau ke
seluruh wilayah karena masih terfokus di daerah perkotaan serta wilayah yang
melaporkan adanya kasus. Kolaborasi atau kemitraan dengan sektor swasta juga
minim dilakukan. Pengembangan kapasitas sampai saat ini masih fokus pada
peningkatan petugas di masing-masing internal karena terkendala pada sumber
daya. Penanganan kasus sesuai dengan program TAKGIT namun koordinasinya masih
tergantung pada laporan kasus dan belum terlaksananya surveilans terpadu.
Kesimpulan:
Keterlibatan
berbagai sektor dalam penanganan rabies sudah cukup baik namun belum
terstruktur dan proaktif. Komunikasi lintas sektor hanya terjadi saat ada
laporan kasus GHPR, dengan kolaborasi dan komunikasi yang masih insidentil.
Faktor penggerak kerjasama adalah kompleksitas rabies dan pemahaman bersama,
tetapi terhambat oleh ketidakselarasan data, kurangnya regulasi daerah, ego
sektoral, kendala geografis, dan keterbatasan sumber daya. Hambatan utama
adalah ego sektoral dan ketiadaan regulasi daerah. Untuk meningkatkan
efektivitas, diperlukan regulasi yang mendukung, integrasi data, komitmen semua
pihak, dan eliminasi hambatan sesuai pendekatan One Health.
Background: Rabies is a deadly viral zoonosis transmitted through bites from infected dogs and is a global health issue, including in West Kalimantan's Kubu Raya Regency, Indonesia. Cross-sector collaboration is conducted under national regulations to address this problem, involving Dinas Kesehatan dan Dinas Perkebunan dan Peternakan. However, issues such as misaligned case reporting have been identified, necessitating further evaluation.
Objective: To explore and evaluate communication, collaboration, coordination, and capacity development in cross-sector cooperation for rabies management in Kubu Raya.
Method: The research used is a descriptive qualitative study with an evaluation method employing an embedded single case study design focused on communication, collaboration, capacity development, and coordination. The study involved 24 purposively sampled subjects from Dinas Kesehatan, Dinas Perkebunan dan Peternakan, Puskesmas, Puskeswan, animal clinics, and local government and community representatives. Data were collected through interviews.
Results: Cross-sector communication is still unstructured, mainly occurring with rabies case reports, and frequently involves unreported cases and misinformation between agencies. Collaboration on rabies education (KIE- Communication, Information, and Education) programs is sporadic and constrained to times of outbreak, predominantly focused in urban areas and areas that report cases only. Collaboration and partnerships with the private sector are scarcely developed. Capacity building is still internally focused due to resource constraints. Case management follows the TAKGIT program (Rabies Bite Management), yet coordination is reliant on case reports and it still lacks integrated surveillance efforts.
Conclusion: The involvement of various sectors in rabies control has been quite good but not yet well-structured and proactive. Cross-sector communication occurs only when there are bite case reports, with collaboration and coordination still being incidental. The driving factors for cooperation are the complexity of rabies and mutual understanding, but they are hindered by data misalignment, lack of regional regulations, sectoral ego, geographical challenges, and limited resources. The main obstacles are sectoral ego and the absence of regional regulations. To increase effectiveness, supportive regulations, data integration, commitment from all parties, and the elimination of barriers are needed according to the One Health approach.
Kata Kunci : kerjasama lintas sektor; evaluasi; rabies; GHPR; zoonosis