Laporkan Masalah

Kebijakan Integrated Farming System dan Perubahan Sosio-Ekologis di Kapuas, Kalimantan Tengah: Perspektif Ekologi Politik

Dina Melisa Hardiyanti, Muchtar Habibi, S.I.P., M.A., Ph.D.`

2024 | Tesis | S2 Administrasi Publik

    Dalam mewujudkan pertanian yang berkelanjutan, Integrated Farming System (IFS) menjadi salah satu inovasi potensial yang bisa diaplikasikan pada desa dengan lahan yang tidak memungkinkan untuk menjadi sektor pertanian. Banyak studi sebelumnya berfokus pada peningkatan teknologi yang mendukung untuk pertanian model IFS agar lebih ramah lingkungan, meningkatkan pangan berkualitas, dan peningkatan ekonomi dari produk-produk IFS. Namun, dampak sosial yang dilihat oleh para akademisi sebelumnya masih sebatas melihat pengaruh dan persepsi masyarakat khususnya petani terhadap IFS secara universal, dimana petani cenderung dilihat sebagai kelompok sosial yang homogen. Studi yang mengkaji perubahan sosial ekologi pada IFS belum ditemui di Kalimantan Tengah, bahkan dalam skala global masih jarang ditemui.
    Pertanyaan penelitian dalam tulisan ini adalah “Bagaimana kebijakan IFS membentuk perubahan sosio-ekologis pertanian lokal di Kapuas, Kalimantan Tengah?”. Penelitian ini bertujuan menganalisis perubahan sosio-ekologis pertanian lokal dari IFS di Kapuas, Kalimantan Tengah sebagai bentuk evaluasi program kebijakan pemerintah yang efektif. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Peneliti melakukan pendalaman terhadap 27 informan yang memiliki keterkaitan dengan fenomena perubahan sosio ekologis dari pertanian IFS di salah satu desa di Kapuas, Kalimantan Tengah, dengan menggunakan teknik obsevasi, wawancara, dan dokumen pendukung.
    Hasil penelitian menunjukkan adanya perubahan yang terjadi pada segi sosial pada masyarakat dan segi lingkungan di demplot Peternakan Terpadu Berkelanjutan. Pertama, pada segi sosial program IFS di Desa Bahagia Tani telah membentuk mekanisme eksklusi yang diakibatkan oleh kekuatan regulasi, paksaan, dan legitimasi serta mekanisme inklusi yang dibentuk oleh adanya simpul kekuasaan. Kesenjangan sosial yang terjadi menyebabkan akses terhadap pengelolaan IFS hanya menguntungkan beberapa aktor sosial seperti kapitalis dan sebagian besar perangkat desa, dimana pendapatan dari pertaniannya cukup besar ditambah lagi dengan keikutsertaannya dalam mengelola IFS. Masyarakat sangat diuntungkan karena tidak perlu menyiapkan modal untuk mengelola demplot dan bagi hasil yang diperoleh sangat cukup memberi kemakmuran bagi masyarakat yang terlibat. Kedua, pada segi lingkungan program IFS di Desa Bahagia Tani telah mampu meningkatkan C-organik dan pH yang terkandung dalam tanah, sehingga dapat mendorong terjadinya daur ulang hara, konservasi keanekaragaman hayati, dan meningkatkan kesuburan tanah di lahan yang gambut dan asam. Ketiga, program IFS di Desa Bahagia Tani secara sosial dan ekonomi belum dapat mendukung pertanian yang berkelanjutan karena belum dapat menciptakan akses lahan dan sarana prasarana produksi pertanian secara merata serta pendapatan yang diperoleh belum bisa dinikmati oleh masyarakat desa secara umum. Akan tetapi, secara ekologis dapat mendukung pertanian yang berkelanjutan karena telah mampu meningkatkan indikator kualitas tanah dan karbon organik tanah yang dapat mendorong terjadinya daur ulang hara dan konservasi keanekaragaman hayati. 
    Saran untuk kebijakan IFS kedepan adalah secara ekologis sangat layak untuk dikembangkan di lahan yang tidak subur atau tidak memungkinkan. Untuk mengubah tatanan sosial yang timpang, kebijakan pertanian IFS dapat dikolaborasikan secara bersamaan dengan kebijakan land reform. Hal-hal yang belum dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai studi yang menganalisis perbandingan perubahan sosio ekologis dari pertanian IFS antara kondisi lahan gambut dan lahan non gambut dalam membentuk pola pertanian yang berkelanjutan.

    In realizing sustainable agriculture, Integrated Farming System (IFS) is one of the potential innovations that can be applied to villages with land that is not possible to become an agricultural sector. Many previous studies have focused on improving the technology that supports IFS model farming to be more environmentally friendly, increase food quality, and improve the economy of IFS products. However, the social impact seen by previous scholars is still limited to looking at the influence and perception of the community, especially farmers, towards IFS universally, where farmers tend to be seen as a homogeneous social group. Studies that examine social-ecological changes in IFS have not been found in Central Kalimantan, even on a global scale are still rare.

    The research question in this paper is “How does IFS policy shape socio-ecological changes in local agriculture in Kapuas, Central Kalimantan?”. This research aims to analyze the socio-ecological changes of local agriculture from IFS in Kapuas, Central Kalimantan as a form of evaluation of effective government policy programs. This research used a qualitative method with a case study approach. Researchers conducted in-depth interviews with 27 informants who were related to the phenomenon of socio-ecological changes of IFS farming in one of the villages in Kapuas, Central Kalimantan, using observation techniques, interviews, and supporting documents.

    The results show that there are changes that occur in the social aspect of the community and the environmental aspect in the Sustainable Integrated Farming demonstration plot. First, in the social aspect, the IFS program in Bahagia Tani Village has formed an exclusion mechanism caused by the power of regulation, coercion, and legitimacy as well as an inclusion mechanism formed by the existence of power nodes. The social disparity that occurs causes access to IFS management only benefits some social actors such as capitalists and most village officials, whose income from agriculture is quite large coupled with their participation in managing IFS. The community benefits greatly because they do not need to prepare capital to manage the demonstration plot and the profit sharing obtained is very sufficient to provide prosperity for the community involved. Second, in terms of the environment, the IFS program in Bahagia Tani Village has been able to increase the C-organic and pH contained in the soil, thus encouraging nutrient recycling, conserving biodiversity, and increasing soil fertility in peaty and acidic land. Third, the IFS program in Bahagia Tani Village socially and economically has not been able to support sustainable agriculture because it has not been able to create equal access to land and agricultural production infrastructure and the income obtained has not been enjoyed by the village community in general. However, ecologically it can support sustainable agriculture because it has been able to improve soil quality indicators and soil organic carbon that can encourage nutrient recycling and biodiversity conservation.

    Suggestions for future IFS policies are that it is ecologically feasible to develop on infertile or infeasible land. To change the unequal social order, IFS farming policy can be collaborated simultaneously with land reform policy. What has not been discussed in this research is a study that analyzes the comparison of socio-ecological changes from IFS agriculture between peatland and non-peatland conditions in forming sustainable agricultural patterns.

Kata Kunci : kebijakan, IFS, sosio ekologis, ekologi politik

  1. S2-2024-501171-abstract.pdf  
  2. S2-2024-501171-bibliography.pdf  
  3. S2-2024-501171-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2024-501171-title.pdf