Criminal Policy on Deepfake Crimes in Indonesian Law
Tubagus Yazid Muhammad, Devita Kartika Putri, S.H.,LL.M.
2024 | Skripsi | ILMU HUKUM
Munculnya kejahatan siber yang kompleks telah menimbulkan tantangan signifikan bagi hukum pidana sekarang. Hukum tradisional yang dirancang untuk mengatasi kejahatan konvensional, seringkali bersifat retributif dan tidak cukup cepat serta proaktif untuk mencegah kejahatan deepfake yang belum terdefinisi dengan baik. Teknologi ini mudah diakses dan dapat mengganggu berbagai aspek kehidupan, namun belum secara spesifik diatur dalam perundang-undangan Indonesia. Kemampuan teknologi deepfake untuk menghasilkan konten audiovisual yang sangat realistis menimbulkan risiko substansial yang berpotensi merusak martabat pribadi, keamanan, dan kebenaran publik.
Penelitian hukum ini menganalisis kebijakan pidana Indonesia dalam menanggapi kejahatan deepfake dan tantangan yang mereka hadapi, khususnya dalam amendemen Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Selain itu, penelitian ini menghubungkan diskusi tersebut dengan KUHP baru Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP), dan Undang-Undang Pornografi, memberikan pemeriksaan holistik terhadap lanskap hukum yang Indonesia tawarkan.
Dengan menggunakan kombinasi penelitian normatif dan komparatif, studi ini mengkaji pendekatan regulasi Cina dalam mengelola dan membatasi penyalahgunaan teknologi deepfake,s mengeksplorasi kerangka hukum Cina, sikapnya, dan tindakan-tindakan terhadap penyalahgunaan teknologi ini yang lalu dibandingkan dengan regulasi deepfake di Indonesia.
Dari penelitian hukum ini ada tiga saran perbaikan untuk meningkatkan kebijakan kriminal Indonesia terhadap kejahatan deepfake: Pertama, Indonesia harus memperkenalkan definisi hukum yang spesifik untuk Artificial Intelligence dan teknologi deepfake dalam sebuah kerangka hukum yang komprehensif. Kedua, Indonesia dapat mengadopsi pedoman etika dan parameter penggunaan untuk teknologi deepfake, serupa dengan pedoman yang dikembangkan oleh Cina untuk melengkapi hukum pidananya. Ketiga, diperlukan pemantauan dan akuntabilitas yang ketat bagi penyedia aplikasi yang memfasilitasi akses publik terhadap teknologi tersebut.
The emergence of complex cyber-enabled crimes poses significant challenges to existing criminal laws, which are primarily designed to address conventional crimes. These laws often fall short in tackling intricate cybercrimes associated with artificial intelligence. Particularly, crimes involving deepfake technology—which is readily accessible and can disrupt various aspects of life—have not been specifically addressed within Indonesian legislation. The ability of deepfake technology to produce hyper-realistic audiovisual content poses substantial risks, potentially undermining personal dignity, security, and public truth, leading to complex legal challenges.
This legal research analyzes Indonesia’s criminal policy in response to deepfake crimes and the challenges they pose, specifically under the amendments of the Electronic Information and Transactions (ITE) Law. Additionally, it links the discussion to the new Indonesian Criminal Code, the Personal Data Protection (PDP) Law, and the Pornography Law, providing a holistic examination of the legal landscape Indonesia offers.
Employing a combination of normative research and comparative analysis, this study simultaneously examines China’s regulatory approach to managing and limiting the misuse of deepfake technology, exploring China’s legal framework, its stance, and its measures against the abuse of this technology in comparison to the Indonesian legal framework against cybercrimes.
The findings of this legal research suggest three improvements to enhance Indonesia's criminal policy against deepfake crimes: First, Indonesia should introduce specific legal definitions for Artificial Intelligence and deepfake technology within a comprehensive legal framework. Second, it could benefit from adopting ethical guidelines and usage parameters for deepfake technology, similar to those developed by China, to complement its criminal laws. Third, there is a need for stringent monitoring and accountability for application providers that facilitate public access to such technologies.
Kata Kunci : Deepfake, Criminal Policy, ITE Law, Indonesia and China