Laporkan Masalah

Pengalaman Perempuan Muda yang Kawin dan Melanjutkan Sekolah

Annisa Dyaningratri, Milda L. Pinem, S.Sos., M.A., Ph.D.

2024 | Tesis | S2 PEMBANGUNAN SOSIAL DAN KESEJAHTERAAN

Perkawinan dini merupakan sebuah perkawinan yang dilaksanakan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak yang belum berusia 19 tahun sesuai dengan apa yang tertera di Undang Undang Nomor 16 Tahun 2019. Indonesia merupakan salah satu negara dengan kasus perkawinan dini terbanyak di dunia. Perkawinan dini yang terjadi di Indonesia ini tidak sebatas marak di pedesaan saja tetapi juga marak di kota-kota besar. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat lebih dari 1,2 juta kalangan perempuan yang berusia 20-24 tahun sudah melangsungkan perkawinan pada saat berusia kurang dari 18 tahun pada tahun 2020.Namun apabila dilihat lebih luas lagi, beberapa lembaga pemerintahan yang mengurusi usia perkawinan semacamnya seperti Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional menyebutkan bahwa usia 19 tahun bagi perempuan maupun laki-laki merupakan usia yang masih sangat muda dan belum ideal untuk melakukan sebuah perkawinan. BKKBN sepakat usia ideal untuk melakukan perkawinan pada perempuan adalah di usia 21 tahun sementara untuk laki-laki adalah 25 tahun Metode yang digunakan adalah fenomenologi kualitatif dan penelitian naratif yang bersifat menceritakan kembali urutan atau timeline suatu peristiwa secara detail Pengalaman perempuan muda yang kawin dan melanjutkan sekolah akan selalu berbeda-beda sesuai dengan latar belakang mereka masing-masing. Terdapat kalangan perempuan yang merasa terbebas dari masalah ada juga yang merasa bahwa dirinya tidak bebas untuk memilih keputusan untuk hidup mereka. Ketiga perempuan muda yang kawin dan melanjutkan sekolah menganggap bahwa sekolah merupakan salah satu investasi yang harus dimiliki oleh setiap perempuan agar hidupnya tidak bergantung pada orang lain. Pendidikan menjadi salah satu jalan agar hidup perempuan bisa tetap mandiri tanpa harus bergantung pada suami atau orang tua. Memperkaya penelitian dengan menerapkan sudut pandang teori feminis eksistensialis dan teori interseksionalitas yang mengutamakan perbedaan sudut pandang individu, karena hanya melalui pendekatan ini kita dapat sepenuhnya memahami pandangan para perempuan muda karena hingga saat ini pemerintah hanya melihatnya secara umum melalui statistik, dan kemudian menganggap persoalan tersebut terselesaikan. 

Early marriage is a marriage carried out by both parties or one of the parties who has not yet reached the age of 19 years, as stipulated in UU No. 16 Tahun 2019, Indonesia is one of the countries with the highest number of early marriage cases in the world. Early marriage in Indonesia is not only prevalent in rural areas but also in large cities. According to the Central Statistics Agency (BPS), more than 1.2 million women aged 20-24 had married before the age of 18 in 2020. However, if viewed more broadly, several government agencies dealing with marriage age, such as the Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional  (BKKBN), state that the age of 19 for both women and men is still very young and not ideal for marriage. BKKBN agrees that the ideal age for marriage is 21 for women and 25 for men.

The methods used are qualitative phenomenology and narrative research, which recount the sequence or timeline of an event in detail. The experiences of young women who marry and continue their education will always vary according to their respective backgrounds. There are some women who feel liberated from problems, and there are also those who feel that they are not free to make decisions about their lives. The three young women who married and continued their education believe that education is an investment that every woman must have to ensure that their lives do not depend on others. Education is one of the ways for women to remain independent without relying on their husbands or parents. The research is enriched by applying the perspectives of existential feminist theory and intersectionality theory, which prioritize individual viewpoints. This approach is essential to fully understand the perspectives of young women, as the government has so far only considered the issue generally through statistics and then assumed the problem was resolved.

Kata Kunci : Perkawinan Usia Muda, Pendidikan, Feminis Eksistensialis

  1. S2-2024-501041-abstract.pdf  
  2. S2-2024-501041-bibliography.pdf  
  3. S2-2024-501041-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2024-501041-title.pdf