Laporkan Masalah

Dinamika Followership dan Political Partisanship Muhammadiyah dalam Merespons Kebijakan Covid-19 di DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sumatera Barat.

Fajar Riza Ul Haq, Prof. Dr. soc. pol. Agus Heruanto Hadna, M.Sc., Prof. Dr. Muhadjir Darwin, MAP., Dr. Hakimul Ikhwan, M.A

2024 | Disertasi | S3 STUDI KEBIJAKAN

Penelitian ini bertujuan memetakan variasi respons anggota Muhammadiyah terhadap kebijakan penanganan Covid-19 dan mencari penjelasan atas kemunculan kesenjangan respons di antara mereka dalam perspektif political partisanship dan followership di DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Sumatera Barat. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi kasus untuk mengurai faktor-faktor yang memicu variasi dan kesenjangan respons anggota terhadap tiga instrumen kebijakan pandemi, yaitu protokol kesehatan, PPKM/PSBB, dan vaksinasi. Penelitian ini memperlakukan informan sebagai co-researcher yang memungkinkan peneliti berdialog dengan informan (dialogical research) sehingga proses verifikasi dalam memahami data lapangan dapat dilakukan secara dialogis dan simultan. Hasil penelitian menemukan dua hal. Pertama, respons anggota Muhammadiyah DKI Jakarta, Yogyakarta, dan Sumatera Barat dalam menyikapi kebijakan pandemi terbagi ke dalam tiga klaster utama, yaitu menerima sepenuhnya (Afirmasi), menolak sepenuhnya (Resistensi) dan menerima secara selektif (Negosiasi). Klaster Afirmasi berakar pada ketaatan institusional anggota terhadap Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang merupakan faktor determinan yang memungkinkan para anggotanya menundukkan faktor keberpihakan politik dan ketidakpercayaan politiknya dalam merespons kebijakan Covid-19. Mereka menilai sikap PP Muhammadiyah mengedepankan keselamatan jiwa berbasis argumentasi teologis dan saintifik. Adapun Klaster Resistensi dan Negosiasi berakar pada faktor keraguan (hesitancy) mereka untuk mematuhi kebijakan pandemi dan instruksi PP Muhammadiyah sehingga terjadi kesenjangan. Mengingat karakter organisasi muslim modernis ini mengedepankan model keberagamaan pro sains, termasuk dalam menyikapi isu-isu kesehatan publik. Kesenjangan respons tersebut merepresentasikan proses kontestasi antara ketaatan terhadap institusi dan beberapa faktor yang saling mempengaruhi sehingga mendeterminasi sikap anggota Muhammadiyah. Ada tiga faktor utama yang memicu kesenjangan respons, yaitu puritanisme keagamaan dalam memahami ikhtiar dan sains, kontestasi antara political partisanship instrumental yang berbasis rasionalitas dan political partisanshipekspresif yang berbasis emosi dalam mengevaluasi kebijakan, dan konstruksi pengetahuan yang bersumber dari seleksi informasi dan produksi disinformasi di media sosial. Penelitian ini merekomendasikan lima hal. Pertama, Pemerintah pusat perlu memberikan ruang inovasi kebijakan dalam menghadapi isu-isu kebencanaan non-alam yang menuntut kesigapan dan kreasi dari pembuat kebijakan di level daerah dengan menjaga keselarasan politik. Kedua, Pemerintah Pusat perlu mempertimbangkan kepekaan kultural dan psikologi politik masyarakat dalam menunjuk komunikator policy makerKetiga, Pemerintah perlu meningkatkan keterlibatan ormas keagamaan secara bermakna (meaningful), tidak hanya pada tahap implementasi dan evaluasi kebijakan (hilir) tapi juga sejak policy making (hulu). Keempat, Muhammadiyah perlu mengatasi kesenjangan antara gerakan inovatifnya di bidang kesehatan yang pro sains dan puritanisme keagamaan yang cenderung mengabaikan aspek ikhtiar dan sains dengan terus menginstitusionalisasikan nilai-nilai Islam berkemajuan. Kelima, diperlukan kajian lanjutan untuk menelaah bagaimana faktor demografis (etnisitas) dan ekonomi anggota berkontribusi terhadap keberpihakan politik dan followership Muhammadiyah.  

 


This research aims to map the variations in Muhammadiyah members’ responses to COVID-19 handling policies and seek explanations for the emergence of response disparities among them from the perspectives of political partisanship and followership in DKI Jakarta, D.I Yogyakarta, and West Sumatera. This research utilizes a qualitative method with a case study approach to analyze the factors which trigger variations and disparities in members’ responses to three pandemic policy instruments; health protocols, Community Activities Restrictions Enforcement (PPKM)/ Large-scale Social Restrictions (PSBB), and vaccination. The study treats informants as co-researchers, allowing the researcher to engage in dialogic research with them, thus enabling a dialogical and simultaneous verification process in understanding field data. The study’s findings reveal two main outcomes. First, Muhammadiyah members’ responses in DKI Jakarta, Yogyakarta, and West Sumatera can be categorized into three primary clusters: full acceptance (Affirmation), complete rejection (Resistance), and selective acceptance (Negotiation). The Affirmation cluster is rooted in members’ institutional obedience to the PP Muhammadiyah which becomes a determinant reason in subduing factors that do not support compliance with pandemic policies. They evaluate PP Muhammadiyah stance as prioritizing life's safety based on theological and scientific reasoning. On the other hand, the Resistance and Negotiation clusters stem from their hesitancy to comply, either partially or entirely, with government policies and PP Muhammadiyah’s instructions, leading to disparities. Given this modernist Muslim organization's character, which emphasizes a pro-science religious model, including in addressing public health issues, these response disparities represent a contestation process between obedience to the institution and several influencing factors that determine Muhammadiyah members' attitudes. There are three main factors that trigger response disparities: puritanism-conservatism in understanding effort and science, the contestation between instrumental rationally-based political partisanship and emotion-based expressive political partisanship in evaluating policies, and the knowledge construction originating from information selection and disinformation production on social media. This research recommends five points. First, the central government should provide policy innovation space in dealing with non-natural disaster issues which require preparedness and creativity from local policymakers while maintaining political harmony. Second, the central government should consider the cultural sensitivity and political psychology of the public when appointing policy communicators. Third, the government should enhance the meaningful involvement of religious organizations, not only during policy implementation and evaluation (downstream) but also from the policy-making stage (upstream). Fourth, Muhammadiyah should address the gap between its innovative health initiatives that are pro-science and religious puritanism, which tends to overlook aspects of effort and science, by institutionalizing progressive Islamic values continually. Fifth, further studies are needed to examine how demographic factors (ethnicity) and members' economic status contribute to Muhammadiyah's political alignment and followership in responding to the pandemic.

Kata Kunci : Anggota Muhammadiyah, Kebijakan Covid-19, dan Keberpihakan Politik.

  1. S3-2024-471815-abstract.pdf  
  2. S3-2024-471815-bibliography.pdf  
  3. S3-2024-471815-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2024-471815-title.pdf