Laporkan Masalah

Esoteric love as a starting point to find gender equity in religions :: Case study of esoteric experience; St. Teresa of Avila and Rabi'a al-'Adawiyya

ROHANI, Supangat, Dr. Alef Theria Wasim

2004 | Tesis | S2 Ilmu Perbandingan Agama

Ketidaksetaraan gender yang terjadi hampir di semua agama khususnya Islam dan Kristen masih terdiskusikan. Thesis ini berasumsi bahwa dalam beberapa analisis tentang isu gender tidak diawali dari pemahaman dasar agama atau nilai esoteric dari agama. Dimasa lampau perempuan merupakan sosok yang paling mulia dimana mereka diasosisasikan sebagai tuhan; misalnya di India, ada bermacam-macam tuhan dengan sifat-sifat tertentunya; tuhan Sarasvati, Brigit, Nidaba, Celtic, Carridwen, Isis, Maat and Ishtar. Sementara sekarang sudah terlalu banyak bukti bagaimana perempuan diposisikan sebagai sosok kedua setelah laki-laki. Salah satu alasannya adalah dulu manusia sangat tergantung pada alam, karena alamlah pusat kehidupan mereka baik untuk makan, hidup bahkan tempat tinggal. Bumi/alam secara sifatnya memang sangat identik dengan alam mislanya fertile (kesuburan) yang diharapkan dimiliki oleh perempuan untuk menciptakan generasi baru dan kesuburan alam sebagai pusat konsumsi manusia. Hal inilah yang dijadikan standar awal kesamaan alam dengan perempuan. Wajarlah kemudian perempuan diidentikan dengan tuhan/alam. Tapi agama yang belakangan ini (agama samawi), telah menunjukkan duania/bumi/alam bukanlah tujuan hidup tetapi alhirat/surga, dan ternyata agama semacam ini telah memposisikan laki-laki sebagai sosok mulia (bahkan mungkin hanya untuk lakilaki) misalnya hampir semua agama dengan surganya menyediakan perempuanperempuan perawan yang sangat cantik, sementara tidak tersebut secara pasti akan disediakan bujang yang tampan, bahkan tuhanpun ketika menggunakan kata ganti selalu dengan kalimat He/Hua (Dia Laki-laki). Dengan demikian surga/tuhan secara tidak langsung diidentifikasikan sebagai laki-laki. Dalam penelitihan ini menjelaskan kesetaraan gender dalam perspectif cinta esoterik (dimana hal ini merupakan esensi/hal yang sangat penting dalam setiap agama). Ada dua tokoh yang dijelaskan di tesis ini yaitu St. Teresa of Avila dan Rabi’a al-’Adawiyya’s, mereka memiliki konsep cinta yang mirip walaupun berasal dari dua agama dan masa serta daerah yang berbeda. Disatu sisi pengalaman esoterik cinta berupa Spiritual Marriage (kawin secara spiritual) dimana Teresa mengalami proses perkawinannya dengan Jesus dan disisi lain Mahabbah (cinta esoterik) dimana Rabi’ah mengalami begitu kuatnya perasaan cintanya dengan Allah. Dalam penelitihan ini juga kami membandingkan dua pengalaman diatas dengan penglaman cinta esoterik lainnya tapi dialami oleh dua sosok laki-laki yang juga berbeda agama dan masa serta daerahnya. Akhirnya hasil penelitihan ini membuktikan bahwa dalam cinta esoterik, segala bentuk penafsiran, pemahaman memosisikan laki-laki dan perempuan itu setara, karena Tuhan tidak melihat jenis kelamin, dengan demikian cinta esoterik seharunya menjadi kajian awal untuk melihat kesetaraan gender dalam agama.

and Christianity, has not solved yet. This thesis assumes that some analyses in gender issues do not come from the basic understanding of religion or the esoteric value of religions. Historically, in ancient times, women were main important creatures, which were identified as goddesses, such as in India, Goddess Sarasvati, Brigit, Nidaba, Celtic, Carridwen, Isis, Maat and Ishtar. On the other hand, Nowadays on, there is much evidence to prove that women have always been subordinated to men. One of the reasons is that in the ancient time, people relied on the earth; this area was every thing for them either to eat, to live or to dwell after life. The earth has been identified as female, and then they performed their worship for Goddess. However, religion in this era, the earth is not the main goal but moved to the heaven. Heaven, which mentions virgin women and no bachelors and so on, is identified as male, From this moving belief than religions nowadays treat men as the first main creature. In this research explains esoteric love approach in which generally religions can be drawn into two general ideas i.e. esoterism, which is the essence or the heart of religion and exoterism, which is the existence or the body of religion. There are two main figures St. Teresa of Avila and Rabi’a al- ’Adawiyya’s, they have similar concept of esoteric love (Spiritual Married and Mahabbah) in which both are union with God through love. However, their concepts slightly have differences. Spiritual marriage is the experience of day that Jesus gave her His right hand and stated that she was his spouse. While, Mahabbah is to distinguish between love for the God kindness, and love for knowing, seeing and understanding who is God? Finally, It is because of esoteric love, there is no interpretation, understanding as well as text in which saying that God considered the outward form of human being, so theoretically from this perspective male (man) or female (woman) are equal before God. Moreover, the esoteric love experience, which was performed by St. Teresa of Avila, John of The Cross, Jalal al-Din al-Rumi And Rabi’a al-’Adawiyya show clearly that esoteric love treated no sex and gender distinction. Finally, the esoteric love can be a starting point to find gender equity religions especially in Islam and Christianity.

Kata Kunci : Islam dan Kristen,Ketidaksetaraan Gender,St Theresa dan Rabiah Al,Adawiyya


    Tidak tersedia file untuk ditampilkan ke publik.