Laporkan Masalah

DESENTRALISASI ASIMETRIS DAN TRANSFORMASI KONFLIK: STUDI PEMBENTUKAN DAERAH OTONOMI BARU PROVINSI PAPUA TENGAH

Fabianus John Berek, Dr. Gabriel Lele, S.I.P., M.Si

2024 | Tesis | S2 Administrasi Publik

            Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kegagalan pemerintah mengatasi konflik separatis melalui desentralisasi asimetris pembentukan daerah otonomi baru Papua Tengah. Penelitian ini menggunakan teori transformasi konflik dan pendekatan desentralisasi asimetris untuk mengkaji topik penelitian. Teori transformasi konflik digunakan dengan berfokus pada transformasi struktural yang bertumpu pada dua aspek penting yaitu proses kebijakan dan substansi kebijakan. Sedangkan pendekatan desentralisasi asimetris digunakan peneliti untuk menjelaskan keterkaitan desentralisasi asimetris dan transformasi konflik.

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan studi kasus. Peneliti mewawancarai 23 informan yang terbagi dalam kelompok pro kemerdekaan Papua (Kelompok separatis Papua), kelompok masyarakat sipil Papua Tengah, dan kelompok Pemerintah (Pemerintah pusat, daerah dan akademisi). Penentuan informan menggunakan teknik purposive dan snowball. Selain itu, peneliti menggunakan metode penggumpulan data studi dokumentasi untuk melengkapi informasi yang dibutuhkan dari beberapa informan yang tidak dapat diwawancarai secara tatap muka. Peneliti menggunakan teknik analisis data yang terdiri dari penyajian data, reduksi data dan penarikan kesimpulan.

            Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegagalan desentralisasi asimetris melalui pembentukan daerah otonomi baru Papua Tengah sebagai bentuk transformasi konflik gagal mengatasi konflik separatis disebabkan karena gagalnya transformasi pada dimensi struktural. Kegagalan transformasi struktural ini ditandai dengan dua aspek penting yaitu proses yang tidak partisipatif dan substansi kebijakan yang tidak akomodatif. Aspek proses menunjukkan bahwa penyusunan kebijakan desentralisasi asimetris DOB Papua Tengah sama sekali tidak melibatkan kelompok separatis Papua dan berbagai organisasi pro kemerdekaan Papua lainnya seperti TPNPB OPM dan ULMWP. Sedangkan aspek substansi kebijakan menunjukkan bahwa  isi kebijakan otonomi khusus Papua dan pembentukan provinsi Papua Tengah tidak mampu mengakomodir tuntutan dan aspirasi kelompok separatis Papua seperti dialog damai, pelarangan operasi militer, pelurusan sejarah integrasi Papua ke Indonesia, penegakan ham bagi pelaku pelanggaran ham berat, pendirian partai lokal dan tuntutan full protection bagi orang asli Papua di bidang politik dan pemerintahan. 

This research is motivated by the government's failure to overcome separatist conflicts through asymmetrical decentralisation in the formation of the new autonomous region of Central Papua. The research question is why the asymmetrical decentralisation of the new autonomous region of Central Papua as a form of conflict transformation failed to resolve the separatist conflict. This research uses conflict transformation theory and asymmetrical decentralisation approach to examine the research topic. Conflict transformation theory is used by focusing on structural transformation that relies on two important aspects: policy process and policy substance. Meanwhile, the asymmetric decentralisation approach is used to describe the relationship between asymmetric decentralisation and conflict transformation.

This research is a qualitative research with a case study approach. Researchers interviewed 23 informants who were divided into pro-Papuan independence groups (Papuan separatist groups), Central Papuan civil society groups, and Government groups (Central government, local government and academics). The informants were determined using purposive sampling and snowball sampling techniques. In addition, researchers used the documentation study data collection method to complement the information needed from several informants who could not be interviewed face-to-face. The researcher used data analysis techniques consisting of data presentation, data reduction and conclusion drawing.

            The results showed that the failure of asymmetric decentralisation through the formation of a new autonomous region of Central Papua as a form of conflict transformation failed to overcome separatist conflicts due to the failure of transformation in the structural dimension. The failure of structural transformation is characterised by two important aspects: non-participatory process and non-accommodating policy substance. The process aspect shows that the drafting of the asymmetrical decentralisation policy of the Central Papua DOB did not involve Papuan separatist groups and various other Papuan pro-independence organisations such as TPNPB OPM and ULMWP. While the substance aspect of the policy shows that the content of the Papua special autonomy policy and the establishment of the Central Papua province are unable to accommodate the demands and aspirations of Papuan separatist groups such as demands for peaceful dialogue, banning military operations, straightening out the history of Papua's integration into Indonesia, upholding human rights for perpetrators of gross human rights violations, establishing local parties and demands for full protection for indigenous Papuans in politics and government. 

Kata Kunci : Transformasi Konflik, Transformasi Struktural, Desentralisasi Asimetris, Konflik Separatis

  1. S2-2024-500521-abstract.pdf  
  2. S2-2024-500521-bibliography.pdf  
  3. S2-2024-500521-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2024-500521-title.pdf