Komunitas Waria dan Panggung Entertain di Jakarta, 1968-1998
Aditya Wahyu Al Fikri, Dr. Yulianti, B.A., M.A
2024 | Tesis | S2 Sejarah
Permasalahan studi gender sudah ada sejak zaman kolonial Hindia Belanda dengan membatasi ruang gerak komunitas waria yang disebabkan banyaknya laporan dari masyarakat mengenai kriminalitas. Stigma homofobia terjadi adanya pergeseran moralitas seksual pada masa Ratu Victoria karena terjadinya kriminalitas pencabulan, pencurian, dan perdagangan anak dibawah umur yang dilakukan oleh komunitas waria pada tahun 1920. Negeri jajahan Hindia Belanda mendapatkan pengaruhnya dibawah pemerintahan kolonial Belanda dengan dibuatnya peraturan undang-undang pasal 292 di Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP) Hindia Belanda). Komunitas waria selalu mendapatkan penganiayaan dan kekerasan dari masyarakat sampai pada masa pemerintahan Soekarno. Mereka dilarang untuk tampil di muka umum, berdandan, dan mengenakan pakaian wanita pada siang dan malam hari. Penelitian ini akan disajikan dengan menggunakan metode historis sebagai landasan penelitian. Penelitian ini menggunakan pendekatan interdisipliner dari ilmu-ilmu sosial, yaitu studi gender, sosial, dan kultural, sehingga metode sejarah didukung dengan teori gender, sosiologi, dan antropologi. Ketiga pendekatan ilmu sosial tersebut dianggap cocok untuk menjawab pertanyaan bagaimana dan mengapa waria membentuk sebuah komunitas. Komunitas waria mengalami puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin pada tahun 1968. Gubernur Ali Sadikin selalu mengikuti komunitas waria sebagai partisipasi pameran Jakarta Fair dengan menari, menyanyi, dan sulap pada tahun 1968. Komunitas waria tidak mendapat ruang gerak untuk berekspresi ketika turunnya Gubernur Ali Sadikin, diterapkannya politik moralitas, dan munculnya penyakit kelamin AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). Pemerintah menerapkan Gerakan Disiplin Nasional (GDN) untuk membatasi penyebaran penyakit AIDS dengan merazia komunitas waria yang melakukan nyebong di pinggir jalan dan rel kereta api.
The problem of gender studies has existed since the Dutch East Indies colonial era, limiting the space for the waria community to move due to the large number of reports from the public regarding crime. The stigma of homophobia occurred due to a shift in sexual morality during the time of Queen Victoria due to crimes of sexual abuse, theft and trafficking of minors committed by the waria community in the 1920s. The Dutch East Indies colony gained influence under Dutch colonial rule with the enactment of the law article 292 in Wetboek van Strafrecht (Kitab Undang-Undang Pidana (KUHP)). The transgender community always experienced persecution and violence from society until the Soekarno era. They are prohibited from appearing in public, dressing up, and wearing women's clothing during the day and at night. This research will be presented using historical methods as a research basis. This research uses an interdisciplinary approach from the social sciences, namely gender, social and cultural studies, so that historical methods are supported by gender theory, sociology and anthropology. These three social science approaches are considered suitable for answering the question of how and why the waria form a community. The waria community experienced its peak during the administration of Governor Ali Sadikin in 1968. Governor Ali Sadikin always joined the waria community as a participant in the Jakarta Fair exhibition by dancing, singing and magic in 1968. The waria community doesn’t have the space to express themselves when the resignation of Governor Ali Sadikin, the implementation of morality politics, and the emergence of venereal disease, namely AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome). The government implemented the National Disciplinary Movement (NDM) to limit the spread of AIDS by raiding waria communities who were lying on the side of roads and train tracks.
Kata Kunci : Komunitas Waria, Ali Sadikin, Jakarta.