Gangguan jiwa (Buduh) di Bali sebagai fenomena budaya :: Studi persepsi dan perilaku pilihan perawatan gangguan jiwa orang Bali
PUTRO, Bambang Dharwiyanto, Dra. Naniek Kasniyah, MA.,M.Med.Sc
2004 | Tesis | S2 AntropologiMasih banyak kalangan medis profesional (dokter/psikiater) menganggap gangguan jiwa (mental illness) disebabkan faktor bio-psikologis semata. Pada kenyataannya, gangguan jiwa juga terjadi karena perubahan kebudayaan yang cepat, konflik nilai ideal dengan yang riil, tujuan kebudayaan yang tidak realistik, perubahan struktur keluarga, tekanan penduduk, peluang ekonomi, dan pengalaman menghadapi lingkungan yang keras dan tidak bersahabat. Berdasar hal tersebut, gangguan jiwa bukan hanya bersifat dan dipengaruhi faktor bio-psikologis semata, tetapi juga erat kaitannya dengan aspek kebudayaan. Tujuan penelitian untuk memahami penyakit gangguan jiwa dan perawatannya secara budaya. Penelitian dilakukan di Propinsi Bali yaitu RS. Jiwa Pusat Bangli untuk mencari data tentang pasien sakit gangguan jiwa, dilanjutkan dengan studi di masyarakat yang berlokasi di Denpasar Selatan untuk mencari data tentag bekas pasien gangguan jiwa. Penelitian bersifat antropologis, menekankan pendekatan holistik dan pemahaman secara deskriptif fenomena empirik. Pengumpulan data dengan teknik observasi terbatas (one-visit interview) dan teknik wawancara terstruktur dan tak terstruktur. Instrumen ini ditujukan pada 55 keluarga pasien yang dijadikan responden, dari 55 diambil 20 keluarga pasien sebagai informan, di samping itu ada 12 informan kunci diantaranya psikiater, psikolog, perawat jiwa, anggota/tokoh masyarakat, dan balian (dukun). Hasil penelitian menunjukkan profil pasien gangguan jiwa di RSJ. Pusat Bangli sebagian besar berumur 25 – 34 tahun, belum kawin, pendidikan akhir SMP – SMA, tidak bekerja, daerah asal Denpasar. Masalah sehat-sakit orang Bali berkaitan dengan falsafah Tri Hita Karana, yakni keseimbangan antara Sang Hyang Widhi (Tuhan), Buana Agung (Alam Semesta) dan Buana Alit (Manusia). Ketidakseimbangan ke-3 hal itu menyebabkan terjadinya penyakit. Dalam melihat etiologi sakit gangguan jiwa, lebih dari sepenuhnya memandang jenis penyakit niskala (non fisik). Implikasinya, mereka mengusahakan perawatan ke balian sebagai pilihan utama. Etiologi penyakit merupakan faktor yang paling berpengaruh dalam pilihan sumber perawatan, disusul tingkat keparahan penyakit. Berdasarkan tingkat keparahan penyakit gangguan jiwa, masyarakat Bali memiliki pola penggunaan sumber perawatan: pilihan perawatan rumah tangga sebagai bentuk pertolongan pertama, ternyata belum memperlihatkan gejala sembuh. Mereka mempersiapkan sakit yang dialami bukan penyakit biasa. Ada sebagian kecil tidak mencoba perawatan rumah tangga tapi langsung ke medis. Bagi mereka yang tidak sembuh sebagian ke medis dan balian. Proses penyembuhan lebih berkaitan dengan konsep petemuan, seperti pada masyarakat Jawa yang disebut jodhon-jodhon. Keluarga dan masyarakat bersikap positif terhadap bekas pasien dengan dengan dilibatkannya dalam aktivitas banjar dan seka. Gejala tersisa dan diagnosis gangguan jiwa jenis Skizofrenia oleh pihak medis merupakan penghambat penyembuhan karena tidak adanya pemahaman keluarga atas hal tersebut. Stigma bekas pasien gangguan jiwa menjadi beban keluarga pasien. Kendala dari pihak medis sendiri, program kunjungan rumah (home visit) tidak berjalanefektif. Di samping hambatan, faktor pendorong secara budaya adanya konsep menyamabraya (rasa persaudaraan) yang mampu meredam berbagai gerjolak yang muncul. Faktor lain adanya upacara melukat artinya pembersihan diri dan upacara mecaru yaitu upacara korban suci bertujuan untuk mengkomunikasikan pada masyarakat bahwa pasien telah sembuh. Peranan balian masih menjadi pilihan utama untuk penyakit gangguan jiwa di Bali. Stigma bekas pasien dapat ditekan seminim mungkin karena adanya konsep menyamabraya yang mengakar pada masyarakat Bali, tercermin dalam aktifitas upacara melukat dan mecaru. Oleh karena itu, peran balian diharapkan dapat dilibatkan dalam penyembuhan pasien gangguan jiwa, yaitu adanya kerja sama pihak medis dan tradisional (balian).
The psychiatrists consider that the mental illness is merely caused by biopsychological factors. In fact, mental illness takes due to cultural factor, conflict between the ideal value real value. For instance, changes in family structure, social depression, economical changes, and unfriendly and hard environment experiences. The aims of this research is to comprehend mental illness and cultural treatment. The research was carried out in Bali, that is, Mental Health Central Hospital Bangli, to search for data about mental illness patients, continued by learning the society located in Southern Denpasar, to get more information about experiment patients of mental illness.It is an anthropological research and emphasizes to the holistic approach and the understanding of empirical phenomena descriptive approach. Gathering data was carried out with one-visit interview, structural interview and unstructured interview. The respondents are 55 families of patients, 20 families taken as informant from 55 patients families. Besides, there are 12 key informant such as psychiatrist, psychologist, nurses, those whose important roles in society, and Balian or Shaman. This study shows that profiles of mental illness patients in Mental Health Central Hospital in Bangli is male as majority, aged 25 – 34, unmarried, SMP – SMA Graduated, unemployed, originated from Denpasar. The health – illness problem for Balinese is related to Tri Hita Karana philosophy, that is the harmony among Sang Hyang Widhi (God), Buana Agung (macro cosmos) dan Buana Alit (micro cosmos).The disharmony of these three elements may cause disease. In the view of mental illness etiology, they consider it as a niskala category (non physic).As the implication, they try to heal him/her to Balian (Shaman) as a main choice.The disease etiology is the most influential factor as choice of treatment source, followed by the seriousness of disease.Based on the seriousness of mental illness, Balinese people have the use pattern of treatment source, home treatment, as the first aids, in fact, doesn’t show the symptom recovered. They have a perception that it is unusual disease. The are some who go directly to medical treatment, without trying the home treatment. Those who can recover will go both to the medical treatment and Balian. The healing process is related with the concept of petemuan like in Javanese society called jodhon-jodhon. Family and society have the positive view to the ex-patients by involving them in activities Banjar and Seka. The left symptom and mental illness diagnosis such as Schizophrenia considered as obstacles by medicals in healing for there is no understanding in their families about it. Stigma for the ex-patients of mental illness becomes a burden for the patient’s family. The problem for the medicals is home visit program doesn’t function effectively. Beside an obstacle, there is an cultural encouraging factors that is menyamabraya concept (feeling of partnership) which can muffle problem appear. Another factor is a ceremony melukat which means purification and mecaru means to announce to the people that the patients is recovered. The role of Balian is still a main choice to mental illness in Bali. Stigma as expatients of mental illness can be lessen as minimum as possible for the concept menyamabraya which become deeply rooted in Balinese people. For this reason, the role Balian is expected much can be involved in healing the patients of mental illness, that is the co-operative between the medicals and the traditional ones (Balian).
Kata Kunci : Antropologi Sosial,Perawatan Buduh,Masyarakat Bali