Perbandingan Kebijakan Formulasi Cyberstalking di Indonesia dan Malaysia
ANDINI FEBRIANTY DAMASARI, Dr. Dra. Dani Krisnawati, S.H., M.Hum.
2024 | Skripsi | ILMU HUKUM
Penelitian ini bertujuan untuk menelaah dan mengkaji kebijakan formulasi cyberstalking pada hukum positif di Indonesia dan Malaysia, serta kebijakan formulasi cyberstalking dari sudut pandang hukum pidana Indonesia pada masa yang akan datang. Dengan mengevaluasi kebijakan formulasi cyberstalking di Indonesia saat ini dan membandingkannya dengan kebijakan formulasi cyberstalking di Malaysia, maka dapat dikaji pembentukan kebijakan formulasi cyberstalking yang optimal di Indonesia pada masa yang akan datang.
Penelitian ini tergolong sebagai penelitian hukum normatif, dengan pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan perbandingan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, bahan hukum tersier, dan didukung dengan hasil wawancara terhadap 3 (tiga) narasumber, yaitu anggota komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, lembaga swadaya masyarakat yang berkomitmen pada penghapusan kekerasan terhadap perempuan, dan akademisi hukum pidana. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan dan wawancara. Analisis data menggunakan metode kualitatif.
Hasil dari penelitian ini adalah pertama, perbandingan kebijakan formulasi cyberstalking dalam peraturan perundang-undangan Indonesia dan Malaysia menunjukkan adanya persamaan dan perbedaan. Persamaan yang ditemukan yaitu Indonesia dan Malaysia telah mengkriminalisasi cyberstalking, baik secara implisit maupun eksplisit. Adapun perbedaan kebijakan formulasi cyberstalking diantara kedua negara tersebut yakni peraturan perundang-undangan Indonesia hanya melarang cyberstalking sebagai delik lanjutan atau dengan tujuan seksual, sedangkan peraturan perundang-undangan Malaysia telah melarang cyberstalking secara komprehensif, baik sebagai delik yang berdiri sendiri maupun sebagai delik lanjutan. Kedua, kebijakan formulasi cyberstalking dari sudut pandang hukum pidana Indonesia pada masa yang akan datang perlu dirumuskan secara tegas dan komprehensif, tidak hanya sebagai delik lanjutan atau pun dengan tujuan seksual, tetapi juga sebagai delik yang berdiri sendiri, dengan unsur-unsur pidana yang jelas dan dikualifikasi sebagai delik aduan relatif, sehingga dapat melindungi hak privasi dan tidak berimplikasi negatif terhadap hak kebebasan berekspresi.
This research aims to
analyze, investigate, and find out the cyberstalking formulation
policy in positive law in Indonesia and Malaysia, and the cyberstalking
formulation policy from the perspective of penal policy in Indonesia in the
future. By evaluating the current cyberstalking formulation policy in Indonesia
and comparing it with the cyberstalking formulation policy in Malaysia, it is
possible to study the development
of the optimal cyberstalking formulation policy in Indonesia in the future.
This
research is included in normative legal research with conseptual approach,
statue approach, and comparative approach. The data used in this study are
secondary data consisting of primary legal materials, secondary legal
materials, tertiary legal materials, and supported by interviews with 3 (three)
sources, such as member of commission III
of the Indonesian House of Representatives, non-governmental organization committed to eliminating
violence against women, and criminal law expert. The technique of collecting legal materials used are
literature studies and interviews. Data analysis using qualitative methods.
The results of this study are: first, the comparison of the cyberstalking formulation policy between Indonesian and Malaysian laws showing similarities and differences. The similarity found is that Indonesia and Malaysia have criminalized cyberstalking, both implicitly and explicitly. The difference in the cyberstalking formulation policy between the two countries is that Indonesian criminal law only criminalized cyberstalking as a further offense or with sexual purposes, while Malaysian criminal law has comprehensively criminalized cyberstalking, both as a stand-alone offense and as a further offense. Second, the cyberstalking formulation policy from the perspective of penal policy in Indonesian in the future needs to be formulated firmly and comprehensively, not only as a further offense or one with a sexual purpose, but also as a stand-alone offense, with clear criminal elements, and qualified as a relative complaint offense, so that it can protect the right to privacy and does not have negative implications for the right to freedom of expression.
Kata Kunci : Cyberstalking, Kebijakan Formulasi, Perbandingan Hukum.