Dinamika politik pemilihan Kepala Daerah :: Studi kasus Pembatalan hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Maluku Utara Periode Tahun 2001-2006

WAHIDAH, Drs. Bambang Purwoko, MA

2004 | Tesis | S2 Ilmu Politik

Salah satu konsekuensi dari diterbitkannya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah adalah adanya perubahan formasi dalam rekrutmen dan penentuan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Akibatnya dinamika politik lokal untuk menentukan Kepemimpinan Daerah bergerak secara dinamis. Penelitian ini berusaha mendeskripsikan dinamika politik pemilihan Kepala Daerah, baik sebelum proses pemilihan, pada saat proses pemilihan maupun pasca pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi Maluku Utara Periode Tahun 2001-2006. Sumber penelitian diambil dari Risalah DPRD, wawancara dengan aktor-aktor strategis (birokrasi, tokoh masyarakat, akademisi) dan dokumentasi yang menunjang. Data yang ada kemudian dianalisis secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, gerakan-gerakan ataupun kekuatan-kekuatan yang ada sebelum proses pemilihan (pra pemilihan) yang menjadikan proses politik lebih dinamis, merupakan pergerakan yang bernuansa etnisitas, oleh karena itu perpindahan ruang dalam menentukan kepemimpinan daerah telah membangkitkan politik aliran yang berbasiskan etnis. Kedua, setiap tahap proses pemilihan dijadikan arena rivalitas antara berbagai etnis, rivalitas etnis ini paling menguat ketika tahap pencalonan oleh fraksi-fraksi dan pada masa Uji Publik. Ketiga, dalam sistem kepartaian Indonesia, kesetiaan pada etnis sering ditanggalkan dan digantikan dengan kesetiaan pada partai, pilihan ini dimaksudkan untuk menjaga posisi aman jabatan mereka di partai. Namun persaingan etnis tidak berarti selesai, dalam kasus Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Propinsi Maluku Utara persaingan / perlawanan etnis hanya berubah bentuk, yaitu dari bentuk real ke bentuk pergerakan terselubung yang dibungkus dalam isu politik uang. Untuk mengurangi bahkan mengindari kasus serupa dalam pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, sehingga tidak semakin mencoreng muka implementasi kebijakan otonomi daerah, maka disarankan pertama, karena politik aliran akan lebih sering menghasilkan konflik negatif sehingga menjadi kontra produktif dalam setiap proses politik, maka faktor yang dapat menjadi pendorong munculnya politik aliran perlu dihilangkan. Kedua, dalam budaya politik masyarakat yang bersifat parokial, yang diperlukan tidak hanya meningkatkan intensitas pendidikan politik, tetapi juga suri tauladan dari elit dalam perilaku politiknya. Oleh karena itu, persaingan elit untuk memperebutkan kekuasaan tidak perlu mengekspoitasi isu etnis, ras ataupun agama. Karena jabatan Kepala Daerah adalah jabatan untuk semua warganegara, tidak pandang etnis, ras ataupun agamanya. Ketiga, politik uang hampir selalu menjadi awal dari munculnya konflik dalam setiap proses rekrutmen politik, tetapi dalam prakteknya ia sangat sulit dibuktikan sebagai tindak pidana suap. Oleh karena itu, apapun bentuknya praktek politik uang harus betul-betul dihilangkan.

The Aim of this research is to attempt to describe political dynamics of the local chairman election, including before election process, the election process time, and postelection of Governor and Vice-Governor of North Maluku, 2001-2006 period. The sources of research derived from the treatise of local legislative assembly, interviewing with strategic performers (bureaucrat, socialite, academicians) and related documentation. The available data ware then analyzed qualitatively. The result proves that first, movements or available resources prior to the election process (pre-election) making the political process dynamics, is a movement having an ethnic nuance, therefore, a space-shift in determining the local leadership has brought a ethnic-based politic. The second, each phase of the election process becomes a rivalry arena among various ethnics, the strongest ethnic rivalry occurs in candidacy phase of the fractions and public test. The third, in the Indonesian party system, the ethnic-to-loyalty is frequently ignored, and replaced into party-to-loyalty. This choice is intended to keep certain safe positions in the party. However, it does not mean that the ethnic rivalry has finished, in the case of governor and vice-governor of North Maluku Province, the ethnic rivalry/ competition merely change the shape that is from a real shape to a hidden movement shape in the money politic issue. To decrease or even to avoid the similar cases in assignment of local executive chief and vice executive chief so that it may not increasingly deviate from the local autonomous policy, thus it is suggested that first, political rejuvenation or whatever political trend will more often result in a negative conflict that becomes contra-productive in each political process. Therefore, influential factor of the political trend should be dismissed. Second, in political culture, parochial people does not only need to increase the intensity of the political education, but also good political behavior model from the elites. Hence, the competition of the elites to capture the power should not exploit the ethnic, race or religion issues because the position of local executive chief is a position for each citizen regardless ethnic, race or religion. The third, money politics nearly becomes a cause of various conflicts in each process of political recruitment. Unfortunately, it is difficult to prove as a bribe crime. Thus, the practice of money politics ought to be completely eliminated.

Kata Kunci : Kepala Daerah Tk I, Pemilihan, Dinamika Politik, Local autonomy, political process dynamics, various conflicts