Gerakan petani Pagilaran Kecamatan Blado, Kabupaten Batang, Jawa Tengah

HANDAYANI, Dwi Wahyu, Drs. Bambang Purwoko, MA

2004 | Tesis | S2 Ilmu Politik

Gerakan petani menjadi salah satu fenomena pasca berakhirnya rezim Orde Baru. Secara umum, penyebab hadirnya gerakan petani terkait dengan beban sosial ekonomi petani yang meningkat pesat pasca krisis tetapi tidak diimbangi dengan kepemilikan struktur tanah. Sejumlah kekecewaan tersebut meningkat pada terbentuknya kekuatan petani dalam sebuah gerakan terorganisir. Gerakan perlawanan petani yang selalu muncul menunjukkan bahwa gerakan menjadi laten sepanjang waktu, selama kekuasaan selalu bertendensi pada ketidakadilan yang merugikan pihak yang lemah. Setiap dimensi gerakan petani adalah suatu topik yang menarik untuk dikaji. Penulis memberi judul thesis ini adalah “Gerakan Petani Pagilaran Kecamatan Blado Kabupaten Batang Jawa Tengah”. Permasalahan yang akan dibahas adalah “Bagaimana gerakan perlawanan petani Pagilaran terhadap PT. Pagilaran dalam reclaiming hak atas tanah, lahan pemukiman, dan peningkatan kesejahteraan buruh tani Pagilaran?” Perincian atas pertanyaan pokok tersebut adalah 1) Apa penyebab kemunculan gerakan petani Pagilaran (P2KPP dan PMGK)? 2) Bagaimana keorganisasian gerakan petani P2KPP dan PMGK? 3) Bagaimana tingkat efektifitas gerakan dalam mewujudkan tujuan gerakan dalam tiga tuntutan terhadap PT. Pagilaran? Penulis dalam membahas tiga permasalahan tersebut menggunakan teori: pertama, teori konflik yaitu: teori transformasi konflik, teori konflik dialektis, dan teori konflik fungsional. Kedua, pendekatan untuk menjelaskan penyebab gerakan perlawanan petani yaitu: pendekatan moral ekonomi, pendekatan historis dan pendekatan ekonomi-politik. Selanjutnya untuk membahas proses perkembangan konflik menjadi gerakan perlawanan dijelaskan dengan konsep “breakdown-deprivation” kaitannya dengan “relative deprivation” dan “solidarity mobilization.” Anatomi keorganisasian gerakan dibahas dengan menganalisis seluruh aspek dalam organisasi, meliputi ideologi, struktur organisasi, dan strategi organisasi. Gerakan petani Pagilaran dalam P2KPP (Paguyuban Petani Korban PT. Pagilaran, 1999-2002) dan PMGK (Paguyuban Masyarakat Gunung Kamulyan, 2002 s/d sekarang) disebabkan oleh dua hal: Pertama, permasalahan sosial ekonomi masyarakat Pagilaran. Kondisi ekonomi yang terbatas disebabkan penghasilan mereka yang mayoritas buruh harian lepas di PT. Pagilaran hanya cukup untuk makan. Ketidakmampuan itu menyebabkan masyarakat tidak dapat mengakses pendidikan yang lebih tinggi, kesehatan, pemukiman yang layak, dan untuk mempunyai alternatif usaha lain selain bekerja sebagai buruh. Keadaan ekonomi yang kurang, menimbulkan pola sosial di Pagilaran yaitu “berhutang” (hutang kebutuhan pokok di koperasi PT. Pagilaran), adanya pola tersebut menunjukkan masyarakat memang sangat tergantung dengan kehadiran PT. Pagilaran, tidak ada kemandirian ekonomi di tingkat masyarakat. Kedua, ketika krisis melanda Indonesia, kebutuhan rakyat akan tanah pertanian semakin tinggi akibat hilang atau menyempitnya kesempatan-kesempatan kerja lain di perkotaan. Hal itu memicu, masyarakat Pagilaran mendambakan lahan untuk pertanian sebagai sumber penghidupan baru ketika di sektor yang lain menutup harapan, maka melalui klaim historis mereka menuntut pengembalian hak tanah. Ketiga, petani merasa kehilangan hak atas tanah. Secara umum kasus tanah menunjukkan ketidak-konsistenan pemerintah dalam hukum agraria dan kegagalan pemerintah Orde Baru untuk melanjutkan sejumlah kebijakan-kebijakan pemberian hak menggarap atas tanah-tanah eks perkebunan asing yang diberikan oleh pemerintah Orde Lama, seperti UU No. 1 Darurat Tahun 1952 dan UU No. 8 darurat 1954 yang mengakui dan mengesahkan pendudukan tanah-tanah tersebut oleh rakyat, dan UUPA 1960. Padahal, undang-undang itu sesungguhnya merupakan “kemenangan secara hukum”. Akumulasi konflik memicu mereka untuk berjuang dengan pola terorganisir, maka terbentuklah P2KPP dan PMGK. Latar belakang pembentukan P2KPP dan kemudian PMGK adalah adanya konteks deprivasi relatif yaitu “kesenjangan antara nilai yang diharapkan bisa diperoleh (value expectation) dengan nilai yang senyatanya bisa mereka peroleh (value capability). Karakteristik P2KPP dan PMGK, keduanya tidak berlandaskan ideologi tertentu, terbentuk karena persamaan nasib dan keinginan untuk melakukan perubahan. Manajemen organisasi belum sepenuhnya berjalan dengan baik seperti pengarsipan, keuangan, dan pembagian tugas. Kelebihan keduanya adalah mempunyai jaringan yang kuat sehingga mempermudah mereka dalam menjalankan gerakan protes (aksi-aksi petani ke pihak-pihak terkait) dan penyelesaian kasus, selain itu mereka mempunyai militansi perjuangan yang bagus ditunjukkan cepat bangkitnya mereka dari kondisi keterpurukan organisasi paska penangkapan dengan membentuk PMGK. Perbedaan P2KPP dan PMGK adalah strategi perjuangan, dalam PMGK strategi yang dibawa lebih lunak/non-kekerasan daripada P2KPP. Efektifitas gerakan yaitu P2KPP mengalami kegagalan dalam strategi reklaiming, sebab tidak tepat dalam mempelajari kondisi masyarakat Pagilaran dan memperhitungkan kekuatan organisasi yang baru terbentuk. Selanjutnya, P2KPP beralih menjadi PMGK. PMGK secara tidak langsung melakukan bargaining position terhadap PT. Pagilaran sehingga berhasil mempengaruhi perbaikan tingkat upah dan THR. Penilaian dari sisi tipe gerakan sosial, dari karakteristik yang dimiliki mengkategorikan mereka ke dalam tipe antara neo-klasik menuju gerakan sosial baru. Kehadiran gerakan perlawanan petani Pagilaran menimbulkan pengaruh berupa respon dari pemerintah dan PT. Pagilaran. Respon pemerintah dikaitkan dengan tugasnya untuk mengatur tata guna tanah. Wilayah Pagilaran masuk dalam kategori daerah konservasi lingkungan (daerah serapan air) yang merupakan kepentingan umum bagi masyarakat Batang dan sekitarnya. Faktor pembangunan lingkungan itulah yang menyebabkan pemerintah tetap mendukung eksistensi perkebunan teh PT. Pagilaran. Sedangkan PT. Pagilaran atas tiga tuntutan PMGK yaitu pengembalian hak tanah, pemberian lahan pemukiman, dan peningkatan upah, memberikan beberapa respon. Dalam masalah tanah, hasil pengukuran ulang yang dilakukan dua pihak PT. Pagilaran dengan P2KPP dengan fasilisator BPN dan aparat pemerintah tetap menunjukkan bahwa hak HGU yang dimiliki PT. Pagilaran sesuai dengan HGU, sehingga PT. Pagilaran tetap mempertahankan hak tersebut. Dalam masalah kesejahteraan, PT. Pagilaran sedang mengalami keterbatasan kemampuan karena harga teh di pasaran internasional tidak stabil, akibatnya terjadi penunggakan upah buruh yang telah melalui jalur dispensasi dari Gubernur melalui Depnaker. Respon pemerintah dan PT. Pagilaran tersebut menimbulkan feedback ketidakpuasan P2KPP dan PMGK, maka itu mereka tetap melakukan protes. Dari alur respon dan feedback tersebut dapat disimpulkan bahwa antara pihak yang bersengketa dan kaitannya dengan pemerintah belum mendapatkan titik temu penyelesaian. PT. Pagilaran masih sering menghadapi perlawanan dari buruhnya, dan pemerintah mempunyai tanggungjawab memecahkan masalah yang melatarbelakangi gerakan perlawanan tersebut, yaitu masalah agraria, dan masalah sosial ekonomi masyarakat.

The peasants movement become a phenomenon in the post New Order era. Generally, peasant movements are caused by increasing social burdens of the peasantry following the so called monetary crisis which were not alleviated by the land ownership structure. These dissatisfactions encourage the peasants to organize their power. Peasant movement appear whenever the government act unjustly toward the poor people. Peasant movement is an interesting topic for research. This study is titled “The Pagilaran’s Peasant Movement in Kecamatan Blado, Kabupaten Batang, Central of Java”. The study will be focused on how the resistance movement of the peasantry against PT Pagilaran reclaim their rights to the land, settlements, and social welfare? This paper will try to answer this questions: 1. What is the cause of the appearance of The Peasant Movement of the Victims of PT Pagilaran (P2KPP) and The Society of Gunung Kamulyan (PMGK)? 2) How the P2KPP and PMGK were organized? 3) How the effectiveness of movement to its resistance action for land right and social welfare against PT Pagilaran? This writer discuss those questions using: First, conflict theory: conflict transformation theory, dialectic conflict theory, and functional theory. Two, trying to explain the cause of this movement by moral economic approach, historic approach, and economy-political approach. Then this study will discuss how this conflict developed into resistance movement using “breakdown-deprivation “ concept, tied to “relative-deprivation”: and “solidarity mobilization”. This study analyze how these movements are organized in all its aspects such as ideology, organization structure and strategy. The peasant movement of P2KPP (Paguyuban Petani Korban PT. Pagilaran, 1999-2002) and PMGK (Paguyuban Masyarakat Gunung Kamulyan, 2002 to the present) were caused by two things: First, the social economic condition of the population of Pagilaran. The majority of these people work as loose workers in PT Pagilaran . Their manager income only support subsistence life. This deprive them of proper education, health, settlements, while there is no other livelihood outside PT Pagilaran. This subsistence condition forced them into a life pattern of “borrowing” (getting foodstuff on credit from PT Pagilaran cooperative). This pattern show that the peasants are dependent on the existence of PT . Pagilaran Second, at the time of crisis, the peasants need the income from the land because of the lost of works in urban areas. The population of Pagilaran look to the land as the alternative source of income when they are deprived of other source of income. Based on their historic claim, they demand the return of their rights to the land. Third, the peasants feel lost their right of ownership over the land. Generally, the land case because of the failures of the Orde Baru government in implementing the agrarian law enacted by the Orde Lama government which gives the peasantry the right to work the lands formerly owned by foreign companies such as Emergency Law No. 1, 1952 and Emergency Law No. 8, 1954, and UUPA 1960. The peasants regard these laws as their “legal victories”. The accumulation of conflict caused by these demands forced them to organize, and they formed P2KPP and PMGK. They formed these organization within the context of relative deprivation, “ the gap between the value they want to achieve (value expectation) and the value they are able to realize (value capability). The two organization, P2KPP and PMGK, are not based on any ideology. They are formed because of the same fate and need to achieve change. The management of the organizations are not managed well enough. There are no adequate archive keeping, finance recording, and the tasks distribution. What they have are strong network to facilitate protest actions to the relevant authorities and the solution of cases. They have a high degree of militancy. When one organization (P2KPP) was suppressed by arrests they quickly formed PMGK. The difference between P2KPP and PMGK is in their struggle strategy, PMGK was more moderate and non-violent than P2KPP. The movement effectiveness imply that P2KPP as a resistance movement failed to accomplish all of the reclaiming for settlement. It is because P2KPP can’t interpret social picture in Pagilaran naturally. Besides, it also failed to take account the emergence of new social movement. Accordingly, P2KPP changes into PMGK. PMGK then unintentionally looks for bargaining position with PT. Pagilaran and successfully raising the standard of living through the improvement of peasant wages. As a social movement their place is between neo-classical category and new social movement. The formation of this resistance movements called for the government and PT Pagilaran to respond. The government responds in their capacity as the administrator of land use. The Pagilaran area belongs to the environment conservation category (water reserve area) which is very important to the population of Batang and its environs. This conservation factor made the government defends the existence of PT Pagilaran tea plantation. To the demands of the peasants for the return of land ownership, land for settlements and wage increases, PT Pagilaran proposed its responses. For the land problem, the company stated that results from surveys conducted by BPN (National Land Office) under the supervision of PT Pagilaran and P2KPP showed that the land under the management of PT were consistent with the HGU owned by PT, and PT announced its commitment to hold onto its rights. In the matter of the peasant welfare, PT did not have enough resources because of the instability of tea prices in international market, and this caused delays in paying the peasants’ wages that will be solved with the help of the Governor and the Department of Manpower. The responses of the government and PT raised the dissatisfaction of the P2KPP and PMGK, and so the continue in their protest. From the protest and reaction to the responses it can be concluded that both parties have not find any satisfactory solution to the problems. PT still faced continuing resistance from the workers, and the government still has to solve the problems which caused the resistance movement, namely the agrarian structure, and the social economic welfare of the population.

Kata Kunci : Kebijakan Pemerintah,Gerakan Petani,Konflik, The cause of Peasant Movement - A Movement Organization - The Effectiveness of Movement