Laporkan Masalah

THE MAKING OF ECOLOGICAL SOVEREIGNTY Kekuatan Kelas Manajerial Transnasional dalam Merekonstruksi Realitas

Ade Marup Wirasenjaya, Prof Dr Purwo Santoso MA

2024 | Disertasi | S3 Ilmu Politik

Disertasi ini mengajukan argumen bahwa kedaulatan negara yang selama ini memiliki klaim-klaim metapolitik atas teritori, kontrol, garis dan peta merupakan cara pandang yang mengalami tantangan. Basis kedaulatan yang terkesan sangat bersandar pada aspek-aspek material sebagaimana tergambar dalam ide kedaulatan Westphalian, mengalami semacam “disrupsi” ketika dalam tatanan dunia (world order) kontemporer berlangsung mobilitas transnasional yang menyusun ide-ide yang berpijak pada ruang keplanetan dibanding ruang kebangsaan serta isu-isu kemanusiaan yang mengatasi isu-isu kenegaraan. Cara lama untuk menempatkan kedaulatan sebagai sesuatu yang state-centric dan menempatkan kontrol negara atas ruang teritorial barangkali masih cukup adekuat untuk menjelaskan fenomena-fenomena politik tradisional. Namun di tengah munculnya gelombang ketiga transnasionalisme yang menghubungkan dan membangun koneksi ide-ide pascanegara dan mendedahkan fenomena politik non-tradisional seperti ekologi, cara pandang atas kedaulatan nampaknya harus mengalami pergeseran.

Mengambil kasus sebuah proyek ekologi yang dikerjakan oleh gerakan lingkungan transnasional WWF for Nature (selanjutnya disebut WWF) yakni  Heart of Borneo (HoB), disertasi ini melihat kedaulatan sebagai sebuah hasil cara produksi dari kelas-kelas sosial baru yang terhubung secara transnasional. HoB dianggap penulis merupakan sebuah proyek ekologi raksasa yang menunjukkan berlangsungnya cara produksi kedaulatan dari kelas manajerial transnasional (transnational managerial class) – sebuah konsep dari Robert Cox yang penulis gunakan dalam disertasi ini. Melalui gagasan Cox, penelitian ini membaca bagaimana ide kedaulatan mengalami rekonstruksi dari entitas politik yang tumbuh dalam struktur historis kontemporer. Kedaulatan hari ini harus dilihat sebagai produk kelas manajer yang bekerja dalam ruang-ruang produksi pengetahuan dan bekerja melintas-negara, yang menghubungkan manajerialitas dari level tapak di komunitas hutan Borneo yang sunyi hingga ke kantor pusat para manajer di Swiss yang metropolis.

Di tengah konundrum ide kedaulatan yang masih menjadi perhatian para pengkaji hubungan internasional, penulis menawarkan alternatif dalam melihat kedaulatan, yakni dengan melihatnya sebagai hasil cara produksi yang terkait dengan struktur historis tertentu. Dengan menyebut “alternatif”, riset ini tidak sedang melakukan counter atas gagasan sebelumnya, namun lebih merupakan sebuah tawaran akademik: bahwa dalam upaya mendeliberasi isu-isu dalam politik global kontemporer, ada sebuah isu ekologi yang menarik untuk dilihat dengan cara yang berbeda.

Pandangan Teori Kritis dari jalur Coxian  digunakan untuk melihat ide, struktur dan kapabilitas material dibalik proyek ekologi yang dikerjakan kalangan aktivis lingkungan transnasional. Pada ujungnya, disertasi ini akan menunjukkan bahwa ide kedaulatan selalu terbuka untuk direkonstruksi, ketika dunia terhubung dalam transnasionalisme yang semakin mapan dan menyajikan multilateralisme yang digerakkan oleh kelompok “non official”. Transnasionalisme negara dan transnasionalisme kekuatan ekonomi kini harus menghadapi kontestasi dari munculnya transnasionalisme gerakan sosial. Gelombang ketiga transnasionalisme ini sanggup mengajukan ide dan juga proyek yang bersifat melintas batas, mengajukan inisiatif yang tak jarang diapropriasi sebagai norma global. Negara dan pasar tidak hanya reseptif atas ide tersebut, namun juga mengadaptasi sejumlah program dalam isu-isu lingkungan saat ini, menjadikannya ruang legitimasi  dalam program pembangunan bahkan medium diplomasi.

 

This dissertation aims to reconstruct the idea of sovereignty as an idea that is always linked to the historical structure. This dissertation offers an alternative in interpreting at sovereignty, by looking at it as the result of a mode of production related to a particular class.  By taking up the issue of ecology, the way sovereignty is produced has shifted the meaning of territory. The politics of space no longer rests on the will to construct borders and control over people's mobility as well as the qualifications "citizen" and "foreigners", "domestic" and "international". The ecological project undertaken by the transnational environmental movement (WWF for Nature), namely Heart of Borneo (HoB), is an interesting case to investigate how ecological sovereignty is produced and at the same time can to trace how the Westphalian idea of sovereignty is heading to twilight era. Sovereignty should be seen as the result of a mode of production that involves the manageriality of knowledge, institutions, networks and produce of common sense. Ecology becomes a sovereign space cultivated and produced by transnational managerial classes. The Critical Theory perspective of the Coxian is used to see the ideas, structures and material capabilities behind the project of establishing ecological sovereignty. Ecological sovereignty can build disciplinating mechanism to the state sector, markets and local communities and at the same time link them in the ecological production in the global arena.


Kata Kunci : sovereignty, ecological sovereignty, transnational managerial class, transnational social movement, Coxian, post-Westphalian sovereignty

  1. S3-2024-420396-abstract.pdf  
  2. S3-2024-420396-bibliography.pdf  
  3. S3-2024-420396-tableofcontent.pdf  
  4. S3-2024-420396-title.pdf