Diskriminasi terhadap kelompok agama minoritas, termasuk penghayat Kepercayaan merupakan permasalahan serius di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk meminimalisir konflik sosial antar umat beragama, seperti dengan reformasi regulasi. Dasar hukum perlindungan dan pengakuan identitas penghayat Kepercayaan termaktub dalam Undang-Undang Adminduk tahun 2006 dan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2016. Namun di beberapa wilayah, undang-undang tersebut disalahgunakan untuk membenarkan diskriminasi sosial terhadap kelompok penghayat demi kepentingan politik identitas agama. Tesis ini bertujuan untuk mengeksplorasi agensi yang dilakukan oleh Punhayati dalam merespons berbagai diskriminasi sosial di wilayah Pendhalungan, Jember. Dengan menggunakan pendekatan etnografi kritis, penelitian ini berupaya melihat relasi kuasa, dominasi, subalternisasi, serta viktimasi terhadap Puanhayati paska putusan MK tahun 2016 di Jember.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas Puanhayati mengakui bahwa paska putusan MK tahun 2016, mereka masih mengalami berbagai diskriminasi, seperti stigmatisasi, kriminalisasi, dan pendisiplinan terlembaga di ruang publik. Secara struktural, diskriminasi tersebut terlihat pada pembatasan jumlah warga penghayat yang dapat melakukan konversi identitas KTP hanya 15 KK saja. Secara kultural, perempuan Penghayat masih ‘dipaksa’ untuk tetap menggunakan “atribut Muslimah” hingga mengalami pelecehan verbal maupun seksual di lingkungan sosial dan tempat kerjanya. Pemulis menemukan bahwa terdapat setidaknya 4 (empat) faktor penyebab diskriminasi tersebut, yaitu: (1) lemahnya penegakan peraturan sesuai yang diamanatkan putusan MK tahun 2016; (2) Fanatisme berlebihan dalam setiap kelompok umat beragama; (3) Pemaksaan norma “Kiai-sentris” yang mendominasi dan terlembaga; serta (4) perebutan charismaticm antar tokoh agama dan penghayat Kepercayaan di ruang publik.
Dominasi nilai dan identitas Islam di ruang publik ini pada gilirannya memengaruhi agensi Puahayati sebagai kelompok minoritas. Penelitian ini menemukan agensi yang dilakukan oleh Punahayati berada dalam kondisi ‘melampaui agensi kepatuhan kritis’, yaitu mereka memiliki sikap independen dan perlawanan terhadap nilai-nilai agama yang dominan. Pada tataran individu maupun kolektif, Puanhayati senantiasa memiliki cara dalam mengartikulasikan agensi sebagai proses objektivasi atas struktur sosio-kultural yang melingkupinya. Dalam penelitian ini, proses tersebut memunculkan multipel agensi; yakni suatu kondisi dimana individu mengekspesikan lebih dari satu varian agensi seperti kombinasi antara kepatuhan dan perlawanan, ataupun antara kapabilitas dan ketidakberdayaan.
Indonesia grapples with persistent discrimination against religious minorities, including adherents of indigenous beliefs known as Puanhayati. The government has attempted to alleviate social conflict between religious communities through regulatory reforms. The 2006 Civil Administration Law and the 2016 Constitutional Court decision serve as the legal framework for protecting and recognizing the identity of religious believers. However, in some regions, these very laws are twisted to justify social discrimination against minority faith groups, often fueled by political maneuvering based on religious identity. This research explores the agency exercised by Puanhayati women in Jember’s Pendhalungan area in response to ongoing social discrimination. Employing a critical ethnographic approach, the research delves into power dynamics, domination, and the impact of the 2016.
Constitutional Court decision on Puanhayati. The findings reveal that despite legal protections, Puanhayati women continue to face various forms of discrimination, including stigmatization, criminalization, and restrictions on their freedom of expression in public spaces.The research identifies several key factors contributing to this ongoing discrimination: (1) weak enforcement of regulations mandated by the 2016 Constitutional Court decision; (2) rising religious extremism within various groups; (3) the imposition of domineering and institutionalized “Kiai-centric” norms that elevate religious leaders; and (4) the power struggles for religious authority between figures and believers in public spaces.
The dominance of Islamic values and identity in public spaces significantly impacts Puanhayati’s agency as a minority group. The research demonstrates that Puanhayati women exhibit a form of “beyond critical docile agency.” This agency signifies their independent spirit and resistance to dominant religious values. They express their agency in diverse ways, enabling them to navigate the oppressive social structure and assert their unique identities.
Kata Kunci : Puanhayati, Putusan MK tahun 2016, Diskriminasi, Agensi Perempuan