Pengaruh reformasi terhadap kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia :: Studi dari sudut pandang tata negara

RUSNAN, Prof.Dr. F. Sugeng Istanto, SH

2004 | Tesis | S2 Ilmu Hukum (Hukum Kenegaraan)

Sebelum terjadinya reformasi, kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR-RI) yang diberikan oleh UUD 1945 sangatlah besar, sehingga terjadi sentral kekuasan berada pada MPR, hal itu mencerminkan tidak adanya chencks and balances diantara struktur kelembagaan negara yang menjadi penggerak sebuah demokrasi. Munculnya semangat reformasi, mulai ada keinginan untuk melakukan restrukturisasi terhadap Lembaga-lembaga Negara, terutama adalah MPR. Dengan tujuan bagaimana tugas dan wewenang MPR tersebut dapat diminimalisir atau perlu untuk lebih dibatasi. Dengan begitu dapat dicapai suasana demokratis dan mengedepankan chencks and balances serta kedaulat rakyat dikembalikan sepenuhnya ke tangan rakyat. Penelitian mengenai Pengaruh Reformasi Terhadap Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (Studi Dari Sudut Pandang Hukum Tata Negara) ini merupakan kombinasi penelitian hukum empiris dan penelitian hukum normatif. Penelitian ini dititikberatkan kepada penelitian hukum normatif. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penelitian ini berusaha untuk menemukan norma-norma dan teori hukum tentang keberadaan wewenang MPR RI. Adapun penelitian hukum empiris bersifat hanya sebagai pelengkap untuk mendukung dari hasil penelitian hukum normatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wewenang MPR menurut UUD 1945 baru, MPR diubah dari lembaga tertinggi negara menjadi sejajar dengan lembaga negara lainnya (DPR, DPD, Presiden, BPK dan Lembaga Kehakiman, yaitu MK, MA, dan KY). MPR bukan lagi satu-satunya yang menyelenggarakan sepenuhnya kedaulatan rakyat, diatur dalam Pasal 1 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilakukan menurut Undang-Undang Dasar”, maka memberikan konsekuensi wewenang MPR pun diubah. Wewenang MPR menjadi terbatas pada tiga hal pokok, yaitu: pertama, Mengubah dan menetapkan UUD (Pasal 3 ayat (1)); kedua, Melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 3 ayat (2)); dan ketiga, Memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut UUD (Pasal 3 ayat (3)). Selanjutnya, MPR sebagai suatu permusyawaratan bersama antara DPR dengan DPD yang disebut sistem bikameral. Penerapan sistem bikameral mengembalikan kedaulatan penuh kepada rakyat karena semua anggota perwakilan dipilih secara langsung dan tidak adanya lagi anggota perwakilan yang diangkat seperti masa lalu. Penerapan bikameral juga sebagai konsekuensi akan diterapkannya seistem pemilihan Presiden secara langsung di Indonesia. Dengan demikian, MPR tidak lagi memilih dan mengangkat Presiden cukup melantik Presiden. Pemilihan Presiden secara langsung ini memberikan akibat Presiden bertanggungjawab langsung kepada rakyat bukan lagi kepada MPR. Tugas MPR menetapkan GBHN juga menjadi hapus karena pada sistem ini Presiden membuat program-program sendiri tidak lagi dibuat oleh MPR.

Before the reformation, the authority of People’s Advisory Assembly of Indonesia Republic (MPR-RI) given by the 1945 Constitution was so centered only to this institution, that there was not check and balance among the structures of state institution that enables for democracy. The reformation spirit, starts an effort to do restructuring in the state institutions, especially, MPR. It aims to minimize or limit the duty and authority of MPR in order to achieve democratic atmosphere and give the priority to checks and balances and to resume the people’s power fully to the people’s hand. The research entitles the Influence of Reformation toward the Authority of People’s Advisory Assembly of Indonesia Republic. This Study of Point of View in the State Structure Law a the combination of an empirical legal research and a normative legal research. The emphasis however, was given to the normative legal research. This was based on the consideration that this research attempted to find out the norms and legal theory about the existence of MPR authority. according to the new the 1945 Constitution, MPR was changed from the highest state institution to be equal to the other state institutions (DPR, DPD, President, BPK, and the Institution of Justice, namely, MK MA, and KY). MPR was not the only one fully enforcing the people’s sovereignty, as stipulated in the Article 1, subsection (2) concerning the Third Change of the 1945 Constitution “The sovereignty was in the people’s hand and enforced according to the Basic Law”, so it gave the consequence that MPR authority was also changed. The MPR authority was limited in three main cases: changing and deciding Constitution (Article 3, subsection (1)); second, administering President and/or Vice President (Article 3, subsection (2)); and third, dismissing President and/or Vice President in the period of their position according to Constitution (Article 3, subsection (3)). Then, MPR as a deliberation between DPR and DPD is called the bicameral system. The application of bicameral system resumed the people’s sovereignty fully to the people because all members of the representative are choose directly and there is not any members appointed like in the past. Consequently, the application of bicameral also applies the system of direct Presidential election in Indonesia. Thus, MPR did not elect and administer President but it just inaugurates President. This direct Presidential election gave the effect that the President is responsible to the people directly, not to MPR. The Duty of MPR, which also decides on the GBHN, was removed because in this system the President made the programs him self, not made by MPR.

Kata Kunci : Hukum Tata Negara,Kewenangan MPR,Reformasi, Reformation and Authority of People’s Advisory Assembly