Studi Ekologi Manusia Berbasis Etnografi Spasial Dalam Pengelolaan Hutan Adat Tenganan PEgringsingan, Kabupaten Karangasem, Bali
Aloysius Gonzaga Dimas Bintarta Raharja, Prof.Dr. M. Baiquni, M.A.; Prof. Dr. Setiadi, M.Si.
2024 | Tesis | S2 Ilmu Lingkungan
Pengelolaan hutan adat sebagai ruang hidup (lebensraum) merupakan bagian dari proses adaptasi ekologi masyarakat adat yang bergantung pada ketersediaan sumber daya alam. Penerbitan surat keputusan hutan adat (SK Hutan Adat) bagi masyarakat adat sebagai skema Perhutanan Sosial merupakan terobosan penting dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI dalam hal pelestarian lingkungan secara holistik. Kelestarian lingkungan tidak bisa dilepaskan dari aspek manusia sebagai pemegang kendali lingkungan kultural yang berkesinambungan dengan lingkungan abiotik dan biotik. Oleh karena itu, keberadaan masyarakat adat dalam pengelolaan sumber daya lingkungan perlu ditelaah lebih dalam dari kacamata ekologi manusia. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari dan menganalisis bagaimana masyarakat adat Tenganan Pegringsingan mengelola sumber daya dan lingkungan mereka yaitu hutan adat. Metode yang dipakai dalam penelirian ini adalah observasi partispatif menggunakan paradigma etnografi spasial. Keduanya digunakan untuk memahami pola pengelolaan hutan adat Tenganan Pegringsingan berdasarkan hukum adat (awig-awig), pendelegeasian legal (SK Hutan Adat), dan juga akses para pihak terkait di Tenganan Pegringsingan terhadap hutan adat. Penelitian ini dilakukan dengan purposive sampling terhadap hutan adat bagian Bukit Kangin dan tinggal di permukiman dalam hutan. Terdapat tiga pihak dalam tata kelola hutan adat yaitu (a) krama desa; (b) pemilik hak waris lahan yang merupakan masyarakat adat Tenganan Pegringsingan; dan (c) masyarakat penyakap yang merupakan masyarakat pendatang/krama sesambahan penggarap lahan di hutan adat. Ketiga pihak tersebut memiliki akses berbeda terhadap aspek keruangan hutan adat sebagai tempat (place) dan ruang (space). Krama desa merupakan pemegang hukum adat dan pengelola hutan adat, pemilik hak waris lahan memiliki lahan di hutan adat namun seluruh lahan waris di hutan adat adalah milik desa adat, sedangkan masyarakat penyakap adalah penerima manfaat dari hasil hutan adat dengan kewajiban membayar bagi hasil kepada pemilik hak waris. Temuan penelitian ini adalah adanya konsep tripartit dalam pengelolaan hutan adat antara para pihak dan akses kultural dalam hutan adat.
Kata kunci: masyarakat adat, hutan adat, Tenganan Pegringsingan, penyakap
Customary forest management as a living space (lebensraum) is part of the ecological adaptation process of indigenous communities, which depends on the availability of natural resources. The issuance of a customary forest decree from the Ministry of Environment and Forestry (KLHK) for indigenous communities as a part of the Social Forestry scheme is an important breakthrough in terms of holistic environmental preservation in Indonesia. Environmental sustainability cannot be separated from the human aspect as the controller of a cultural environment, which is related to the abiotic and biotic aspects of the environment itself. Therefore, the existence of indigenous communities in environmental resource management needs to be learned from the perspective of human ecology. This research was conducted to analyse how the indigenous community of Tenganan Pegringsingan manages their resources and environment through the customary forest. The method used in this research is participatory observation using a spatial ethnographic paradigm. It used to understand the pattern of customary forest management among Tenganan Pegringsingan customary law (awig-awig), decree as legal delegation by KLHK, and the access of related stakeholders. This research was carried out by purposive sampling in Bukit Kangin as a part of the Tenganan Pegringsingan customary forest and living there beneath the forest. There are three stakeholders related to customary forest management: (a) Krama Desa; (b) Tenganan Pegringsingan indigenous community as the owner of land inheritance rights; and (c) The Penyakap, a community that cultivates the forest and live there. These stakeholders have different access to the spatial aspects of the customary forests as a place and space. Krama Desa is a regulator of all customary aspects in Tenganan Pegringsingan; the owners of land inheritance rights own their land in the customary forest, but all of it belongs to customary villages, which means it cannot be sold. On the other hand, the Penyakap live beneath the forest and have an obligation to share profit with the inheritance rights owners due to the cultivation activity and build settlements on their land. This research findings reveal a tripartite concept of customary forest management among the stakeholders and cultural spatial access.
Keywords: indigenous community, customary forest, Tenganan Pegringsingan, the
penyakap
Kata Kunci : masyarakat adat, hutan adat, Tenganan Pegringsingan, penyakap