Kolaborasi dalam Menjamin Pemenuhan Hak Pilih Warga Binaan Pemasyarakatan Studi Kasus: Kota Yogyakarta pada Pemilu 2019
Nur Ahmad Dzulkirom, Dr. Amalinda Savirani, S.I.P., M.A.
2024 | Skripsi | ILMU PEMERINTAHAN
Penelitian ini adalah tentang kolaborasi antara KPU, Dinas Dukcapil, dan Lapas dalam menjamin hak pilih Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) dan mengambil kasus pada pelaksanaan Pemilu 2019 di Kota Yogyakarta. Penelitian ini mencoba menjawab apakah proses kolaborasi yang terjadi antara ketiga lembaga berjalan secara optimal berdasarkan teori collaborative advantage oleh Huxham dan Vangen. Penelitian ini juga melihat apa saja permasalahan yang dihadapi dalam menjamin hak pilih WBP. Tulisan ini memetakan ketiga lembaga tersebut sebagai aktor utama dengan kepentingannya masing-masing dalam penjaminan hak pilih WBP. Untuk menjawab hal tersebut, penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik in-depth interview kepada KPU Kota Yogyakarta, Dinas Dukcapil Kota Yogyakarta, dan Lapas Wirogunan, serta dengan studi literatur dan dokumen yang relevan.
Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa kolaborasi antara KPU Kota Yogyakarta, Dinas Dukcapil Kota Yogyakarta, dan Lapas Wirogunan pada dasarnya sudah optimal menurut teori Huxham dan Vangen. Keempat aspek dalam kolaborasi yang optimal menurut Huxham dan Vangen, yakni managing aims, managing trust, managing cultural diversity, dan managing transfer knowledge sudah terpenuhi. Terlepas dari optimalnya kolaborasi yang berjalan, penjaminan hak pilih Warga Binaan tetap menyisakan permasalahan penting yang belum terselesaikan sepenuhnya, yakni masalah data kependudukan yang masih menjadi batu penghalang dalam pemenuhan hak pilih WBP. WBP umumnya kesulitan menunjukkan dokumen kependudukan sebagai syarat pemilih karena hilang atau bahkan belum terekam dalam data kependudukan. Sementara cara-cara yang ditempuh sebenarnya masih belum cukup efektif. Temuan lain penelitian ini menunjukkan bahwa carut marut data kependudukan dalam Pemilu menjadi salah satu faktor penting yang menjadi penghambat penjaminan hak pilih WBP. Pemerintah khususnya Ditjen Dukcapil dan jajarannya belum menjalankan kewenangannya secara penuh. Pada dasarnya, apabila kewenangan tersebut sudah dijalankan secara optimal, data kependudukan yang ada sudah pasti akurat dan komprehensif. WBP, meskipun kelompok yang terjerat kriminalitas, seharusnya dapat dengan mudah terpenuhi hak pilihnya tanpa melewati drama belum terekam dalam data kependudukan. Maka dari itu, pemenuhan hak pilih WBP yang cenderung problematik ini membawa kesan adanya pengabaian terhadap hak pilih WBP.
This research is about the collaboration between the KPU, Dukcapil Office, and Correctional Institution in ensuring the voting rights of Correctional Prisoners (WBP) and takes the case of the implementation of the 2019 General Election in Yogyakarta City. This research tries to answer whether the collaboration process that occurs between the three institutions runs optimally based on the theory of collaborative advantage by Huxham and Vangen. This research also looks at what problems are faced in ensuring the voting rights of WBP. This paper maps the three institutions as the main actors with their respective interests in guaranteeing the voting rights of WBP. To answer this, this research uses qualitative methods with in-depth interviews with the KPU of Yogyakarta City, the Yogyakarta City Dukcapil Office, and Wirogunan Correctional Facility, as well as with relevant literature and document studies.
The research findings show that the collaboration between the KPU of Yogyakarta City, Yogyakarta City Dukcapil Office, and Wirogunan Correctional Facility is basically optimal according to Huxham and Vangen's theory. The four aspects of optimal collaboration according to Huxham and Vangen, namely managing aims, managing trust, managing cultural diversity, and managing knowledge transfer have been fulfilled. Despite the optimal collaboration, guaranteeing the voting rights of prisoners still leaves important problems that have not been fully resolved, namely the problem of population data which is still a barrier to the fulfillment of the voting rights of prisoners. Correctional Prisoners (WBP) generally have difficulty showing population documents as a voter requirement because they are lost or have not even been recorded in the population data. While the methods taken are actually still not effective enough. Another finding of this study shows that the chaotic population data in the elections is one of the important factors that hamper the guarantee of the voting rights of prisoners. The government, especially the Directorate General of Dukcapil and its staff, has not fully exercised its authority. Basically, if the authority has been exercised optimally, the existing population data must be accurate and comprehensive. Prisoners, although a group caught in criminality, should be able to easily fulfill their right to vote without going through the drama of not being recorded in population data. Therefore, the fulfillment of the voting rights of WBP, which tends to be problematic, gives the impression that there is a neglect of the voting rights of prisoners.
Kata Kunci : Kolaborasi, Pemilu, Hak Pilih, Warga Binaan Pemasyarakatan