Berjuang Bersama Demi Pengesahan UU TIndak Pidana Kekerasan Seksual: Collaborative Governance dan Negosiasi oleh Komnas Perempuan dan Jaringan Kerja
Putri Karunia, Evi Lina Sutrisno, S.Psi., M.A., Ph.D.
2023 | Skripsi | ILMU PEMERINTAHAN
Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merupakan salah satu Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia dengan posisi sebagai lembaga independen negara yang selalu dekat dengan kebijakan-kebijakan mengenai isu HAM dan Perempuan karena memiliki mandat untuk melakukan tinjauan ulang dan reformasi atas produk hukum serta menyediakan rekomendasi. Sejalan dengan mandat tersebut, Komnas Perempuan menyadari bahwa terdapat kekosongan payung hukum yang mengatur penanganan kasus kekerasan seksual, sehingga mendorong Komnas Perempuan untuk melakukan inisiasi atas sebuah produk hukum yang berbentuk Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) dan Naskah Akademik. Pada proses inisiasi dan pengusulan, Komnas Perempuan melakukan kolaborasi, kerjasama, jejaring, dan negosiasi dengan beberapa aktor, baik pada level masyarakat sipil maupun level legislatif. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana peran dan keterlibatan Komnas Perempuan sebagai lembaga independen pada proses inisiasi, berjejaring, dan bernegosiasi dengan berbagai stakeholder. Penelitian ini menggunakan teori collaborative governance oleh Ansell dan Gash (2007) dan teori negosiasi politik serta metode yang digunakan adalah kualitatif dengan jenis studi kasus. Hasil dari penelitian ini adalah pada tahapan inisiasi dan penulisan naskah UU TPKS, Komnas Perempuan dapat melakukan proses collaborative governance dengan melakukan dialog secara intensif dengan jaringan kerja dengan tujuan untuk menghasilkan naskah RUU yang secara komprehensif mengatur mengenai penanganan kekerasan seksual. Pada tahapan ini, Komnas Perempuan dapat dikatakan berhasil melakukan proses collaborative governance karena terbentuknya misi bersama dalam melakukan kolaborasi dengan para jaringan kerja yaitu kesadaran dan kepedulian atas kasus kekerasan seksual dan berupaya untuk memperbaiki substansi hukum yang menangani korban kekerasan seksual. Selanjutnya, pada tahap pengusulan dan pembahasan di level legislatif, Komnas Perempuan mempertahankan collaborative governance dan melakukan negosiasi politik, yaitu negosiasi dengan strategi convincing dan brainstorming untuk memastikan terpenuhinya seluruh elemen kunci dari UU TPKS, mengklarifikasi hoax yang beredar mengenai substansi UU TPKS, dan mendorong fraksi-fraksi yang berada di DPR RI untuk mendukung disahkannya UU TPKS.
The National Commission on Violence Against Women (Komnas Perempuan) is one of Indonesia's National Human Rights Institutions with a position as an independent state institution (state auxiliary bodies) that is always close to policies on human rights and women's issues because it has a mandate to review and reform legal products and provide recommendations. In line with this mandate, Komnas Perempuan realizes that there is a legal vacuum that regulates the handling of sexual violence cases, thus encouraging Komnas Perempuan to initiate a legal product in the form of a Draft Law on Sexual Violence (RUU TPKS)Â and Academic Paper. In the initiation and proposal process, Komnas Perempuan collaborated, cooperated, networked, and negotiated with several actors, both at the civil society level and the legislative level. The purpose of the research is to determine the extent of the role and involvement of Komnas Perempuan as an independent institution in the process of initiating, networking, and negotiating with various stakeholders. This research uses collaborative governance theory by Ansell and Gash (2007) and political negotiation theory and the method used is qualitative with the type of case study. The result of this research is that at the initiation and writing stages of the UU TPKS, Komnas Perempuan can carry out a collaborative governance process by conducting an intensive dialog with the network with the aim of producing a bill that comprehensively regulates the handling of sexual violence. At this stage, Komnas Perempuan can be said to have succeeded in carrying out the collaborative governance process because of the formation of a shared mission in collaborating with the network, namely awareness and concern for cases of sexual violence and efforts to improve the legal substance that deals with victims of sexual violence. Furthermore, at the stage of proposal and discussion in the legislative level, Komnas Perempuan maintains collaborative governance and conducts political negotiation, namely negotiations with convincing, brainstorming, and compromising strategies to ensure the fulfillment of all key elements of the UU TPKS, clarify hoaxes circulating regarding the substance of the UU TPKS, and encourage factions in the DPR RI to support the passing of the UU TPKS.
Kata Kunci : Komnas Perempuan; Kekerasan Seksual; UU TPKS; Collaborative Governance