Laporkan Masalah

Evaluasi Pengaruh Koreksi Atmosfer untuk Estimasi Nilai Kedalaman Perairan Dangkal Metode Empiris Lyzenga dan Stump pada Citra Satelit Worldview-3 (Studi Kasus: Kepulauan Karimunjawa)

Teguh Arya Wibawa, Ir. Abdul Basith, ST., M.Si., Ph.D.

2024 | Skripsi | TEKNIK GEODESI

Koreksi atmosfer merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil estimasi nilai kedalaman metode SDB dimana salah satu metode koreksi yang dapat memberikan hasil yang cukup akurat adalah metode Radiative Transfer Model (RTM). Salah satu metode koreksi atmosfer RTM yang sering digunakan dalam aplikasi metode SDB di Indonesia adalah 6SV. Koreksi atmosfer ACOLITE DSF dan EXP merupakan dua koreksi atmosfer metode RTM yang dikembangkan untuk aplikasi penginderaan jauh di bidang perairan. Salah satu kelebihan dari metode ACOLITE adalah memiliki performa yang baik untuk area perairan dengan turbiditas yang tinggi seperti perairan dangkal dan perairan darat dengan tingkat sedimentasi yang tinggi. Aplikasi kedua metode koreksi atmosfer DSF dan EXP dalam metode SDB sudah banyak dilakukan untuk kajian di luar Indonesia dan dapat memberikan ketelitian hasil estimasi nilai kedalaman yang baik misalnya pada area perairan dengan karakteristik yag jernih, namun demikian belum ada penelitian yang dilakukan tentang penggunaan kedua metode koreksi atmosfer DSF dan EXP untuk aplikasi metode SDB empiris di Indonesia terutama pada perairan dengan tingkat turbiditas sedang mengingat karakteristik perairan tiap wilayah berbeda baik secara fisik dan kimia. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan performa dari ketiga koreksi atmosfer DSF, EXP, dan 6SV terhadap citra non koreksi atmosfer untuk aplikasi SDB empiris di perairan Indonesia dengan tingkat turbiditas sedang.

Penelitian ini menggunakan data citra satelit Worldview-3, data pengamatan pasang surut selama 30 hari, dan data kedalaman ukuran in-situ untuk lokasi studi di Pelabuhan Karimunjawa. Metode SDB empiris yang digunakan adalah metode Lyzenga (2006) dan Stumpf (2003). Konfigurasi jumlah sampel data kedalaman model dan uji yang digunakan masing-masing sebesar 50%:50?ri keseluruhan titik sampel kedalaman. Terdapat dua kelompok sampel data kedalaman untuk pemodelan yang digunakan masing-masing sebanyak 85 dan 201 titik kedalaman. Sementara itu, sampel data kedalaman untuk pengujian yang digunakan sebanyak 219 titik kedalaman. Evaluasi hasil dilakukan dengan menghitung nilai Root Mean Square Error (RMSE) dan menghitung nilai Total Vertical Uncertainty (TVU) berdasarkan standar International Hydrographic Organization (IHO) S44.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode koreksi atmosfer DSF memberikan hasil pemodelan nilai kedalaman yang paling baik untuk kedua metode empiris dengan nilai koefisien determinasi (R^2) dan nilai Standard Error of the Estimate (SEE) sebesar 0,830 dan 2,664m untuk model kedalaman Lyzenga (2006) serta sebesar 0,717 dan 3,418m untuk model kedalaman Stumpf (2003). Metode Lyzenga (2006) memberikan ketelitian hasil estimasi nilai kedalaman yang lebih baik dibandingkan dengan metode Stumpf (2003) dengan nilai RMSE untuk rentang kedalaman 0 s.d. 25m sebesar 2,308m, sementara untuk metode Stumpf (2003) menghasilkan nilai RMSE sebesar 3,122m. Berdasarkan hasil pengujian TVU, ketelitian hasil estimasi nilai kedalaman belum dapat memenuhi sebagian besar ketentuan standar IHO S44 di mana persentase rerata keseluruhan kedalaman hasil estimasi yang memenuhi sebanyak 33,85% masuk ketelitian untuk orde 2, 17,92% masuk ketelitian untuk orde 1A/1B, 8,96% masuk ketelitian untuk orde Special, dan 5,76% masuk ketelitian untuk orde Exclusive.


Atmospheric correction is one of the factors that can affect the depth estimation results of the SDB method, where one of the atmospheric correction methods that can provide fairly accurate results is the Radiative Transfer Model (RTM) method. One of the RTM atmospheric correction methods that is often used in the application of the SDB method in Indonesia is 6SV. The ACOLITE DSF and EXP method are atmospheric corrections based on RTM method developed for remote sensing applications in aquatic environment. One of the advantages of the ACOLITE method is that it performs well for areas with high turbidity such as shallow waters and inland waters with high sedimentation levels. The application of EXP and DSF corrections in the SDB method has been widely carried out for studies outside Indonesia and can provide good accuracy of the estimated depth value, for example in water areas with clear water characteristics. However, no research has been conducted on the use of both DSF and EXP atmospheric correction methods for empirical SDB method applications in Indonesia, especially in water areas with moderate turbidity levels considering the characteristics of waters in each region are different both physically and chemically. This study aims to compare the performance of three atmospheric corrections DSF, EXP, and 6SV against non-atmospheric correction images for empirical SDB applications in Indonesian waters with moderate turbidity levels.

This study uses Worldview-3 satellite image data, 30 days of tidal observation data, and in-situ depth measurements data for the study site at Karimunjawa Harbor. The empirical SDB methods used were those of Lyzenga (2006) and Stumpf (2003). The configuration of depth data samples used for modeling and test is 50%:50% of all depth sample points, respectively. The modeling sample data consisted of two groups, each comprising 85 and 201 of depth points at the study site, while the testing sample data consisted of 219 depth points at the study site. The results are evaluated by calculating the Root Mean Square Error (RMSE) value and the Total Vertical Uncertainty (TVU) value based on the International Hydrographic Organization (IHO) S44 standards.

The results showed that the DSF atmospheric correction method provides the best depth value modeling results for both empirical methods with a coefficient of determination (R^2) and Standard Error of the Estimate (SEE) values of 0.830 and 2.664m for the Lyzenga (2006) depth model and 0.717 and 3.418m for the Stumpf (2003) depth model. The Lyzenga (2006) method provides better accuracy in depth estimation results compared to the Stumpf (2003) with the RMSE value for the depth range of 0 to 25m of 2.308m, while the Stumpf (2003) method produces the RMSE value of 3.122m. Based on the TVU testing results, The accuracy of the estimated depth value has not been able to meet most of the provisions of the IHO S44 standard where the overall average percentage of estimated depths that meet is 33.85?curacy for order 2, 17.92?curacy for order 1A/1B, 8.96?curacy for Special order, and 5.76?curacy for Exclusive order.


Kata Kunci : Satellite-Derived Bathymetry (SDB), koreksi atmosfer, SDB metode empiris

  1. S1-2024-439655-abstract.pdf  
  2. S1-2024-439655-bibliography.pdf  
  3. S1-2024-439655-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2024-439655-title.pdf