Laporkan Masalah

Pertimbangan Hakim dalam Perkara Perkawinan Beda Agama di Pengadilan Negeri

Afdal Kurniawan, Prof. Dr. Tata Wijayanta, S.H., M.Hum.

2023 | Tesis | S2 Ilmu Hukum

Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui dan mengkaji bagaimana pertimbangan hakim dalam memutus perkara permohonan perkawinan beda agama, serta mengetahui dan mengkaji indikator hakim mengabulkan atau menolak permohonan perkawinan beda agama, kemudian dilengkapi dengan mekanisme permohonan perkawinan beda agama di pengadilan. Penelitian ini menggunakan metode hukum normatif, yaitu penelitian yang menitikberatkan pada penelitian studi dokumen atau literature yang berkaitan dengan perkawinan beda agama yang disempurnakan melalui wawancara yang dilakukan kepada hakim pengadilan. Penelitian ini juga mengambil beberapa contoh penetapan hakim yang menjadi tolak ukur dalam melakukan tahap analisis.

Hasil penelitian memberikan jawaban bahwasanya perkawinan beda agama dapat dikabulkan dan dapat ditolak oleh hakim. Hakim mengabulkan permohonan perkawinan beda agama didasarkan pada aturan hukum pencatatan perkawinan beda agama dibolehkan dalam Pasal 35 huruf a UUAK. Perkawinan dibolehkan apabila pemohon juga menjelaskan dalam permohonan kenapa perkawinan harus diizinkan. Permohonan perkawinan beda agama yang ditolak oleh hakim didasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, selain itu aturan dasar dari setiap norma agama juga menjadi pertimbangan untuk pemohon, perkawinan yang belum dilaksanakan dan belum memiliki ikatan apapun diantara pasangan juga menjadi pertimbangan hakim menolak perkawinan beda agama. Perbedaan mekanisme juga mendasari terjadinya perbedaaan penetapan, karena semuanya tergantung pada dalil dari para pemohon, serta pertimbangan hakim yang memutus perkara tersebut. Surat keputusan dan surat edaran yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung ataupun Mahkamah Konstitusi belum cukup kuat untuk menyatakan perkawinan beda agama tidak dapat dilakukan, karena kedudukan aturan tersebut dibawah undang-undang.

Kesimpulan penelitian ini adalah hakim dalam pertimbangannya mengutamakan aturan hukum yang mengatur perkawinan beda agama, serta permohonan yang dapat dibuktikan oleh pemohon. Hakim cenderung mengabulkan perkawinan yang sudah di laksanakan sebelum diminta penetapan begitu juga sebaliknya, perlunya penetapan pengadilan adalah syarat yang ditentukan untuk perkawinan beda agama dapat dilaksanakan.

This research aims to find out and examine how judges consider in deciding cases of interfaith marriage requests, as well as knowing and studying the indicators for judges granting or rejecting interfaith marriage requests, then completing the mechanism for interfaith marriage requests in court. This research uses normative legal methods, namely research that focuses on document or literature studies relating to interfaith marriages which are refined through interviews conducted with court judges. This research also takes several examples of judge determinations which serve as benchmarks in carrying out the analysis stage.

The research results provide an answer that interfaith marriages can be granted and can be rejected by judges. The judge granted the request for an interfaith marriage based on the legal rules for registering interfaith marriages which are permitted in Article 35 letter a UUAK. Marriage is permitted if the applicant also explains in the application why marriage should be permitted. The application for interfaith marriage which was rejected by the judge was based on the provisions of Article 2 paragraph (1) of the Marriage Law, apart from that the basic rules of each religious norm were also taken into consideration for the applicant, marriages which had not yet been carried out and which did not have any ties between the partners were also considered by the judge to reject interfaith marriage. Differences in mechanisms also underlie differences in decisions, because everything depends on the arguments of the applicants, as well as the considerations of the judge who decides the case. Decrees and circulars issued by the Supreme Court or the Constitutional Court are not strong enough to state that interfaith marriages cannot be carried out, because the position of these regulations is under the law.

The conclusion of this research is that the judge in his considerations prioritizes the legal rules governing interfaith marriages, as well as requests that can be proven by the applicant. Judges tend to grant marriages that have already been carried out before being asked for a decree and vice versa, the need for a court decree is a prerequisite for interfaith marriages to be carried out.

Kata Kunci : Perkawinan beda agama, Pertimbangan hakim, Putusan

  1. S2-2023-486471-abstract.pdf  
  2. S2-2023-486471-bibliography.pdf  
  3. S2-2023-486471-tableofcontent.pdf  
  4. S2-2023-486471-title.pdf  
  5. S2-2024-486471-abstract.pdf  
  6. S2-2024-486471-bibliography.pdf  
  7. S2-2024-486471-tableofcontent.pdf  
  8. S2-2024-486471-title.pdf