Terpeleset Partisipasi, Terjebak Korupsi : Menyingkap Konstruksi Makna Pemilu Dalam Keseharian Praktik Berdemokrasi
Diana Ayu Mubarokah, Prof. Dr. Purwo Santoso, M.A.
2023 | Skripsi | ILMU PEMERINTAHAN
Kajian ini bertujuan untuk meninjau partisipasi masyarakat dalam demokrasi dan Pemilu, di mana banyak yang menggerutu mengapa Pemilu yang sudah secara partisipatif sebagai wujud kedaulatan rakyat (demokrasi) tetap secara sistemik rentan menghasilkan pejabat yang korup. Penelitian ini berangkat dari kesadaran bahwa pemaknaan demokrasi beraneka ragam dan menghasilkan berbagai wajah partisipasi yang berbeda dan saling berkontestasi. Disatu sisi, ada bingkai wacana ‘demokrasi substansial’ yang menekankan kedaulatan rakyat sebagai partisipasi seluruh masyarakat dalam setiap tahapan kebijakan pemerintah dengan penekanan pada sense kewarganegaraan, yang realitanya terhegemoni oleh wacana ‘resmi’ prosedural sebagaimana disosialisasikan oleh rezim kepemiluan di lapangan yang berfokus mendudukkan kedaulatan rakyat sebagai vote Pemilu, yang juga tersubversi oleh wacana ‘jalanan’ sebagaimana terartikulasi dalam obrolan-obrolan informal masyarakat yakni partisipasi: Pemilu milih bolo dewe atau milih sing ngrejekeni.
Telaah yang menjadi landasan wacana prosedural yang hegemonik mengacu pada proposisi Beetham (1994) bahwa demokrasi adalah popular kontrol, dan pemilih dalam Pemilu yang diselenggarakan atas nama demokrasi mengontrol hasil pemilu lengkap dengan ‘reasoning’ atau kerangka pemaknaannya. Hanya saja, karena rasionalitas yang dipraktikkan pemilik suara adalah bolo-bolonan dan berbagi rezeki, yang senyatanya terpilih dalam Pemilu bukanlah yang amanah tetapi justru yang potensial terjebak korupsi. Hal ini ditemukenali berkat telaah wacana ala Fairclough dalam studi kasus Pemilu di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur. Teori Fairclough digunakan untuk membedah wacana melalui analisis tiga dimensi: teks, praktik diskursus, dan sosiokultural. Sebagai gambaran analisis, dengan menemukenali praktik diskursus masyarakat, wadah bertukar pendapat dan mengkonstruksikan pemahaman bersama, akan dapat menemukan teks-teks pewacanaan demokrasi dan Pemilu seperti apa yang diyakini oleh masyarakat dan mengungkap nilai (sosiokultural) apa yang melandasi pewacanaan tersebut. Konstruksi dalam nuansa-tidak-resmi tersebut adalah praktik yang membuahkan kemenangan kandidat dan justru mengondisikan korupsi. Tiadanya kepedulian akan sense kewarganegaraan (keterlibatan dalam mengawal setiap kebijakan), sense popular control, ataupun anti korupsi dalam partisipasinya. Justru sebaliknya, menjadikan Pemilu terjerumus pada praktik pembagian modal atas nama berbagi rejeki atau bantuan bolo (bentuk loyalitas). Memerosokkan kandidat ke dalam jebakan tindak pidana korupsi untuk mengembalikan modal yang dikeluarkan. Fenomena terpeleset dalam partisipasi.
This study aims to examine public participation in democracy and elections, where many question why elections, which are participatory expressions of people's sovereignty (democracy), still remain systemically vulnerable to producing corrupt officials. The research departs from the awareness that the meaning of democracy is diverse and produces various forms of participation. On one hand, there is a form of participation in 'substantial democracy' discourse which emphasizes the sovereignty of the people as participation of the entire community in every stage of government policy with citizenship sense. In reality, 'substantial democracy' discourse is hegemonized by ‘procedural democracy' discourse as socialized by the electoral regime/government. Procedural focuses on articulating ‘people's sovereignty’ into ‘vote’ during elections. But, this hegemony discourse is also subverted by the 'street discourse’ as articulated in informal conversations of the community (daily life politics). In ‘street discourse’, participation meaning: "choosing for friend (bolo dewe) during the elections (based on friendship) or choosing those who like to give money/contribute/help people (nyumbang)".
The analysis of hegemonic procedural discourse refers to Beetham's proposition (1994). Democracy is popular control, and voters in elections held in the name of democracy, control the election result, including the reason/meaning of participation. However, because of the rationality practiced by voters, the participation is superficial and based on sharing blessings or friendship. So the result of elections is potentially susceptible to corruption. This was recognized through Fairclough's discourse analysis in a case study of elections in Nganjuk Regency, East Java. Fairclough's theory is employed to dissect discourse through the analysis of three dimensions: text, discourse practices, and sociocultural practices. As an illustration, by analyzing the discursive practices of the community, platforms for community to share opinions and understandings, it can uncover the types of discourse and participation/democracy meaning by the community. And it can reveal the sociocultural values under the discourse. Street discourse with this unofficial platform is conditioning corruption. There is a lack of concern for citizenship sense (involvement of the entire community in overseeing every policy), popular control sense, and anti-corruption in their participation. It leads elections to descend into practices of distributing resources from the candidates in the name of sharing blessings or friendship loyalty (bolo dewe). Entrapping candidates into corruption practices to get back their capital spent. This is a phenomenon of the participation trap in democracy.
Kata Kunci : Pemilu, Demokrasi, Partisipasi, Masyarakat, Dislokasi Wacana, Korupsi