Dialektika Keberagamaan: Interaksi Sosial Penghayat Muda Sapta Darma di Yogyakarta
Ahmad Makmun Khodori, Dr. Mohammad Yusuf, M.A
2023 | Tesis | S2 Antropologi
Sapta Darma merupakan
ajaran yang lahir di Jawa yang kemudian secara bertahap memberikan dampak pada
kondisi sosial keagamaan di sebagian wilayah Jawa. Ajaran yang lahir di Pare
Kediri pada tahun 1952, terus mengalami perkembangan yang pesat dan akhirnya
menjadikan Yogyakarta menjadi pusat pergerakan dan perkembangan dari Sapta
Darma itu sendiri. Dalam perkembangan di Yogyakarta, Sapta Darma mengalami
dialektika keberagamaan yang mengharuskan warganya untuk berjuang agar dapat
mempertahankan eksistensi dari ajaran mereka. Proses interaksi sosial kemudian
menjadi satu langkah pasti yang dilakukan sebagai upaya membangun hubungan
dengan masyarakat dominan sehingga meminimalisir stigma negatif terhadap ajaran
sapta darma.
Sejalan dengan itu, penelitian ini
bertujuan untuk menjawab dua rumusan pertanyaan; Bagaimana pengalaman menjadi
Penghayat Kepercayaan di Yogyakarta; dan Bagaimana Interaksi Sosial Penghayat
muda Sapta Darma di Yogyakarta. Penelitian ini menggunakan teori intergroup
attitude Robert D Putnam. Teori tersebut digunakan untuk menganalisis
proses dan bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh Penghayat muda Sapta
Darma di Yogyakarta. Selanjutnya, penelitian ini menggunakan metode penelitian
observasi, wawancara, dan dokumentasi. Beberapa aspek penting yang terpotret
dalam penelitian ini yakni proses interaksi sosial, regenerasi, dan eksistensi.
Penghayat muda menempati posisi
penting dalam tersebut, dimana ruang-ruang sosial mengharuskan para Penghayat
muda untuk bertemu dan melakukan interaksi dengan masyarakat. Dengan sikap
terbuka dan berpedoman pada ajaran wewarah pitu, Penghayat muda pada
akhirnya dapat membangun hubungan positif, Pendidikan yang mulai didapat, hak
yang mulai terpenuhi seperti pernikahan, sampai melakukan Kerjasama dengan
masyarakat menjadi buah dari proses interaksi yang selama ini dibangun.
Meskipun demikian, capaian tersebut terkadang diwarnai dengan beberapa catatan
negatif seperti oknum yang tidak menerima kehadiran mereka sampai kondisi lingkungan
yang menjadikan ketidaknyamanan untuk menunjukan identitasnya sebagai seorang penghayat.
Selain itu, kadangkala Penghayat muda harus menyesuaikan diri dengan
lingkungannya yakni dengan cara ikut menjalani ajaran agama mayoritas.
Sapta Darma is a doctrine born in Java that
gradually had an impact on the socio-religious conditions in parts of Java.
Originating in Pare Kediri in 1952, the doctrine underwent rapid development,
eventually making Yogyakarta the center of the movement and development of
Sapta Darma itself. In its development in Yogyakarta, Sapta Darma experienced a
dialectic of religiosity that required its followers to strive to defend the
existence of their teachings. The process of social interaction then became a
definite step taken as an effort to build relationships with the dominant
society, thereby minimizing negative stigma towards the teachings of Sapta
Darma.
In
line with this, this research aims to answer two research questions: How is the
experience of being a believer in Yogyakarta? and How is the social interaction
of young Penghayat of Sapta Darma in Yogyakarta? This research uses
Robert D Putnam's intergroup attitude theory. The theory is employed to analyze
the process and forms of social interaction carried out by young Penghayat
of Sapta Darma in Yogyakarta. Furthermore, this research utilizes observation,
interviews, and documentation as research methods. Some important aspects
portrayed in this research include the processes of social interaction,
regeneration, and existence.
Young
Penghayat play a crucial role, where social spaces require them to meet
and interact with the community. With an open attitude guided by the teachings
of Wewarah Pitu, young Penghayat can eventually build positive
relationships. Achievements such as education, fulfilled rights like marriage,
and collaboration with the community are the results of the interaction process
they have built. However, these achievements are sometimes overshadowed by
negative notes, such as individuals who do not accept their presence or
environmental conditions that make it uncomfortable to show their identity as
believers. Additionally, at times, young Penghayat must adapt to their
surroundings by following the teachings of the majority religion.
Kata Kunci : Interaksi Sosial, Keberagamaan, Sapta Darma, Penghayat muda