Laporkan Masalah

Dari Konsumsi dan Prosumsi menjadi Subkultur: Studi Wibu dalam Komunitas GAMABUNTA UGM

Pilar Paksi Pratama, Nurul Aini, S.Sos., M.Phil.

2023 | Skripsi | Sosiologi

Latar Belakang: Globalisasi adalah salah satu fenomena yang melanggengkan tersebarnya budaya populer tertentu ke berbagai penjuru dunia. Budaya populer Jepang adalah salah satu manifestasinya. Berbicara tentang budaya populer Jepang yang terkenal kreatif dan inovatif, anime yang merupakan animasi khas Jepang adalah yang paling ikonik. Popularitas anime yang diiringi dengan munculnya basis penggemar anime dalam skala global dapat direpresentasikan dari rekor pendapatan dalam industri ini yang menyentuh 2,5 triliun Yen pada 2019, tertinggi dalam sejarah. Kemudian dalam konteks lokal Indonesia, anime menjadi menarik untuk dikaji karena merupakan salah satu tolak ukur pemirsanya di sini sebagai motivasi untuk belajar bahasa Jepang. Penelitian ini mengkaji tentang dinamika konsumsi dan budaya penggemar anime, serta melihat seperti apa pengalaman tersebut dapat memunculkan praktik prosumsi yang terjadi di dalam komunitas GAMABUNTA sebagai komunitas yang mewadahi mahasiswa yang memiliki minat terhadap kebudayaan Jepang dengan basis di Yogyakarta. 

Metode: Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan pendekatan fenomenologi. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan wawancara dengan informan kunci Zaky sebagai Ketua Umum GAMABUNTA 2022/2023, yang kemudian dilakukan snowballing hingga ditemukan 5 informan lain dengan rasio jenis kelamin seimbang. Untuk memperkuat data wawancara, observasi partisipasi juga dilakukan dalam komunitas GAMABUNTA secara daring melalui platform Discord.

Hasil: Ditemukan pola konsumsi dan prosumsi anime yang dipraktikkan oleh informan sebagai penggemar anime tingkat lanjut yang dapat diidentifikasi sebagai wibu. Pola tersebut meliputi eksposur awal anime, preferensi genre, metode menonton, pengetahuan anime tingkat lanjut, konsumsi ani-song; sumber materi; dan merchandise, serta prosumsi sebagai bentuk apresiasi. Prosumsi yang terjadi dalam penelitian ini meliputi pembuatan fan art/ fiction, cosplay, mengikuti konvensi anime, serta forum-forum diskusi. Temuan kedua adalah mengenai wibu sebagai budaya partisipatif dalam kerangka subkultur. Dalam komunitas wibu GAMABUNTA ditemukan simbol budaya, bahasa, pola konsumsi, praktik dan ritual unik mengenai konsumsi dan prosumsi anime.

Kesimpulan: Pengalaman informan sebagai wibu dalam mengonsumsi anime menumbuhkan identitas yang berbeda dengan penggemar anime kasual. Hal ini dapat terjadi karena praktik konsumsi anime yang dilakukan secara konstan selama bertahun-tahun membentuk preferensi yang terpersonalisasi. Serta lambat laun para wibu berhenti menjadi penggemar pasif yang hanya mengonsumsi konten, namun juga memunculkan praktik-praktik prosumsi. Hal ini dapat terjadi karena adanya hubungan dan identifikasi kuat dengan karya tertentu, serta adalah salah satu bentuk keterlibatan aktif sebagai bentuk kreativitas dalam apresiasi anime yang mereka gemari. Kemudian dalam melihat wibu dalam kerangka subkultur yang direpresentasikan oleh GAMABUNTA, wibu mewakili kelompok tertentu dalam masyarakat yang lebih besar, yang dicirikan oleh nilai, perilaku, dan praktik khas yang membedakan mereka dari budaya dominan atau masyarakat arus utama. Dengan demikian wibu dalam konteks tertentu dapat diidentifikasi sebagai sebuah subkultur yang terbentuk berdasarkan minat, hobi, atau identitas yang sama, serta hasil dari akulturasi dalam komunikasi antar budaya. 

Background: Globalization is one of the phenomena that perpetuates the spread of certain popular cultures to various parts of the world. Japanese popular culture is one such manifestation. Speaking of Japan's famously creative and innovative popular culture, anime as Japan's signature animation, is the most iconic. The popularity of anime accompanied by the emergence of an anime fan base on a global scale can be represented by the record revenue in this industry that touched 2.5 trillion Yen in 2019, the highest in history. Then in the local Indonesian context, anime is interesting to study because it is one of the benchmarks of its viewers here as a motivation to learn Japanese. This research examines the dynamics of consumption and anime fan culture, and sees how these experiences can lead to the practice of prosumption that occurs within the GAMABUNTA community as a community that accommodates students who have interest in Japanese culture based in Yogyakarta. 

Method: This research uses a qualitative method, with a phenomenological approach. Data collection was carried out by interviewing the key informant Zaky as the General Chairperson of GAMABUNTA 2022/2023, which was then snowballed to find 5 other informants with a balanced gender ratio. To strengthen the interview data, participant observation was also conducted in the GAMABUNTA community online through the Discord platform.

Results: There are patterns of anime consumption and prosumption practiced by informants as advanced anime fans that can be identified as weeaboo. These patterns include initial exposure to anime, genre preferences, viewing methods, advanced anime knowledge, ani-song consumption; material sources; and merchandise, as well as prosumption as a form of appreciation. Prosumption that occurs in this study includes making fan art/fiction, cosplay, attending anime conventions, and discussion forums. The second finding is about weeaboo as a participatory culture within the subculture framework. Within GAMABUNTA as a weeaboo community, there are cultural symbols, language, consumption patterns, unique practices and rituals regarding anime consumption and prosumption.

Conclusion: Informants' experience as wibu in consuming anime fosters a different identity from casual anime fans. This can happen because the practice of constant anime consumption over the years forms a personalized preference. And gradually, weeaboo stops being passive fans who only consume content, but eventually also emerging prosumption practices. This can happen because of a strong connection and identification with certain works, and is an active involvement as a form of creativity in the appreciation of the anime they adore. Then in percepting weeaboo in a subculture framework represented by GAMABUNTA, weeaboo represents a particular group within a larger society, characterized by distinctive values, behaviors, and practices that distinguish them from the dominant culture or mainstream society. Thus weeaboo in certain contexts can be identified as a subculture formed based on common interests, hobbies, or identities, as well as the result of acculturation in intercultural communication. 

Kata Kunci : Konsumsi, Prosumsi, Subkultur, Wibu, Anime, Budaya Populer Jepang

  1. S1-2023-414962-abstract.pdf  
  2. S1-2023-414962-bibliography.pdf  
  3. S1-2023-414962-tableofcontent.pdf  
  4. S1-2023-414962-title.pdf