Di Bawah Dua Kuasa: Buruh Jawa di Kaledonia Baru, 1900-1950

Zahra Auliani Fauziatunnisa, Dr. Farabi Fakih, M.Phil.

2023 | Skripsi | ILMU SEJARAH

Ekspansi ekonomi global berdampak pada meningkatnya permintaan tenaga kerja pada akhir abad ke-19 dan hal ini menjadi faktor utama pengiriman orang Jawa ke Kaledonia Baru sebagai indentured labour.  Hingga tahun 1940, puluhan ribu buruh Jawa telah dipekerjakan di sektor pertanian, pertambangan, perkebunan, pekerjaan umum, pemerintahan, dan domestik oleh perusahaan swasta yang dikelola oleh Pemerintah Prancis. Fakta menarik adalah buruh Jawa berada dibawah tanggungjawab pemerintah Hindia-Belanda hingga tahun 1950 dan salah satu bentuk pertanggungjawaban pemerintahan tersebut adalah pemenuhan hak buruh untuk pulang ke tanah air. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah yang meliputi pemilihan topik, heuristik, verifikasi, interpretasi, dan historiografi. Studi ini berupaya menjawab bentuk penaungan pemerintah Kolonial terhadap kehidupan buruh Jawa di Kaledonia Baru melalui hasil inspeksi ketenagakerjaan, kehidupan sosial dan keagamaan para buruh, serta berbagai macam petisi dan tulisan buruh Jawa yang tersebar di koran-koran Pasca Perang Pasifik. Studi menyimpulkan bahwa penaungan pemerintah Hindia-Belanda dan Prancis melebihi motif ekonomi, yaitu sebagai upaya pemertahanan citra Internasional. Studi menghasilkan bahwa Penaungan pemerintah Hindia-Belanda terhadap buruh kontrak mulai terlihat pertama kali saat pemerintah mengesahkan Ordonansi rekrutmen dan juga mendirikan Inspektorat Ketenagakerjaan Hindia-Belanda. Selama periode 1900—1950, penaungan pemerintah Hindia-Belanda bersama-sama dengan Pemerintah Prancis semakin terlihat melalui beberapa kebijakan dalam kehidupan sosial para buruh,  seperti pengiriman buku dari Batavia untuk sekolah Jawa di Kaledonia Baru. Puncaknya, Perang Pasifik yang berdampak pada ketidakstabilan kehidupan buruh Jawa membuat para buruh melakukan mogok kerja dan petisi kepada pemerintah Belanda dan Prancis. Sejak saat itu juga, Sanksi Penal dihapuskan dan status buruh Jawa berubah dari buruh kontrak menjadi resident-libres secara mutlak. Secara tidak langsung, mereka mulai masuk dalam tatanan masyarakat sipil Kaledonia Baru dan mulai menuntut hak-hak mereka seperti seorang “warga negara” kepada pemerintah Belanda dan Prancis termasuk hak pemulangan mereka yang tertunda. Studi menyimpulkan dari pola penaungan pemerintah Hindia-Belanda hingga akhirnya pergeseran status buruh kontrak menjadi resident-libres menunjukkan posisi batasan antara Onderdanen dan Citizenship menjadi goyah dan kabur. Hal ini juga menandakan bahwa sebenarnya proses Onderdanen membuka ruang terciptanya Citizenship.

At the end of the 19th century, global economic expansion effected the increase of demand for laborers, which became the main factor in sending Javanese to New Caledonia as indentured laborers. By 1940, tens of thousands of Javanese laborers had been employed in the agricultural, mining, plantation, public works, government, and domestic sectors by private companies managed by the French government. One interesting fact about that period is that Javanese laborers were under the responsibility of the Netherlands Indies government from the beginning of the 20th century until 1950. One of the concrete demonstrations of the Netherlands Indies’ responsibility is the fulfilment of Javanese laborers’ rights to return to their homeland. This study attempts to answer the Colonial government's form of protection over the lives of Javanese laborers in New Caledonia by examining the labour inspections findings, the social and religious life of the laborers, as well as various petitions and writings by Javanese laborers spread in post-Pacific War newspapers. The method used in this research is a historical research method, which includes topic selection, heuristics, verification, interpretation, and historiography. The study concluded that the protection given by the Netherlands Indies and French governments was beyond economic drive but also as an effort to maintain their international image. The study showed that the Netherlands Indies government's protection of contract laborers began to appear when the government passed the Recruitment Ordinance and established the Netherlands Indies Labour Inspectorate. During 1900-1950, the support of the Netherlands Indies and the French government became increasingly visible through several policies in laborers' social life, such as sending books from Batavia to Javanese schools in New Caledonia. At its peak, the Pacific War had an unstable impact on the lives of Javanese laborers, causing laborers to go on strike and petition the Dutch and French governments. Since then, penalty sanctions have been abolished and the status of Javanese laborers changed from contract laborers to absolute resident-libres (free-people). Indirectly, these laborers entered the fabric of New Caledonia's civil society and began to demand their rights like "citizens" from the Dutch and French governments including their pending right of return to their homelands. The study concludes that from the pattern of auspices of the Netherlands Indies government to finally the shift in the status of contract laborers to resident-libres shows that the boundary between Onderdanen (colonial’s subject) and Citizenship has become shaky and blurred. This pattern also indicates that the Onderdanen process opens up space for creating Citizenship.

Kata Kunci : pemerintah, buruh, kehidupan, Hindia-Belanda, Prancis, kewargaan, Kaledonia Baru, migrasi, repatriasi