Dinamika Perkembangan SOGIESC di Asia Tenggara dan Peran Aktor Non-Pemerintah
Gusti Dwiva Khaliq Zwageri, Suci Lestari Yuana, S.I.P., M.I.A.
2023 | Skripsi | Ilmu Hubungan Internasional
Penelitian ini dilatarbelakangi oleh perkembangan signifikan pada spektrum gender di kawasan Asia Tenggara yang ditandai oleh diprosesnya wacana legalisasi pernikahan sesama jenis di Thailand dan upaya meminimalisir deadnaming pada proses transisi gender di Indonesia. Pencapaian tersebut mengidentifikasi perkembangan SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identity, Gender Expression, dan Sex Characteristics) di Asia Tenggara yang didampingi oleh terbentuknya jaringan komunitas gender yaitu ASEAN SOGIE CAUCUS, Arus Pelangi, dan Gerakan Pink Dot sebagai Aktor Non-Pemerintah. Sehingga terbentuknya sebuah rumusan penelitian yaitu bagaimana konstruksi gender dan dinamika advokasi SOGIESC oleh Aktor NonPemerintah di Asia Tenggara. Penelitian ini mengupayakan eksplorasi kajian mengenai SOGIESC yang minim dibahas dalam studi HI di Indonesia, yang mana hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan peta informasi perkembangan SOGIESC dan menganalisis strategi dan tantangan yang dihadapi oleh komunitas gender di Asia Tenggara.
Penelitian ini mengaplikasikan metode kualitatif sebagai metode penelitian dan mengimplementasikan esensi dari dua teori, yaitu teori queer oleh Judith Butler dan teori Transnational Advocacy Network. Studi pustaka diberlakukan sebagai landasan pengumpulan data melalui analisis kritis peninjauan literatur yang meliputi buku, artikel jurnal, artikel berita, video infografis, dan publikasi serta laporan oleh komunitas. Sehingga menghasilkan argumentasi utama yang menggarisbawahi potensi dekonstruksi status-quo gender di studi HI yang mempengaruhi dinamika konstruksi keberagaman gender berangkat pada nilai-nilai yang telah mengakar dalam tradisi lokal di negara-negara ASEAN. Maka dari itu Aktor Non-Pemerintah mengupayakan advokasi isu SOGIESC dengan merealisasikannya melalui jalur strategis dalam kategorisasi ‘jalur belakang’ atau ‘jalur informal’ melalui jaringan komunitas berbasis gender. Meskipun perkembangan konstruksi gender di ASEAN dinilai signifikan, akan tetapi ada beberapa tantangan dalam pengarusutamaan isu SOGIESC, seperti kapasitas pemahaman terminologi, kondisi sosialpolitik negara, dan keterbatasan sumber daya serta kurangnya informasi berbahasa Inggris dan Indonesia. Namun demikian, penelitian ini diharap menjadi panduan ekspansi penelitian mengenai pengarusutamaan SOGIESC di Asia Tenggara lain kedepannya.
This paper is motivated by signs of significant developments on the gender spectrum in the Southeast Asian region, which are marked by the on-process legalization of the same-sex marriage agenda in Thailand and efforts to minimize deadnaming in the gender transition process in Indonesia. They brand the development of SOGIESC (Sexual Orientation, Gender Identity, Gender Expression, and Sex Characteristics) in Southeast Asia alongside gender community networks establishment, namely ASEAN SOGIE CAUCUS, Arus Pelangi, and the Pink Dot Movement as Non-Government Actors. Hence, ‘How gender construction and the dynamics of SOGIESC advocacy by Non-Government Actors in Southeast Asia’ is formed as a research question. This paper aims to reduce the depreciation of discussing the impact of SOGIESC on IR studies in Indonesia, in which the results of this research are expected to provide an information map of the development of SOGIESC and analyse the strategies and challenges faced by the gender community in Southeast Asia.
This paper applies qualitative methods as research methods and implements the essence of two theories, Judith Butler's Queer Theory and Transnational Advocacy Network theory. Literature study is applied as the basis for data collection through critical literature review analysis—includes books, journal articles, news articles, video infographics, and publications and reports by the community. Thus, produces the main argument that deconstructs the status quo in the gender spectrum on IR studies which influences the dynamics of gender construction diversity based on rooted values in local cultures in ASEAN countries. Therefore, Non-Governmental Actors seek to advocate for the SOGIESC issue by realizing through various strategic means under the 'jalur belakang’ or ‘jalur informal’ categorization through gender-based community networks. Although the development of gender construction in ASEAN is considered significant, several challenges in mainstreaming SOGIESC issues generated, such as the capacity to understand terminology, the country's socio-political conditions, limited resources and the lack of information in English and Bahasa Indonesia. In consequence, it is hoped that this research will guide the expansion of research on mainstreaming SOGIESC in other Southeast Asian countries in the future.
Kata Kunci : Konstruksi Gender, SOGIESC, Aktor Non-Pemerintah, Advokasi Isu Gender