Konsep Konstitusi Sosial Jimly Asshiddiqie untuk mewujudkan keadilan sosial di dalam negara ditinjau dari Teori Keadilan John Rawls

Fajar Waruwu, Dr. Supartiningsih

2023 | Tesis | S2 Ilmu Filsafat

Penelitian ini berangkat dari persoalan ketidakadilan di struktur dasar sosial atau kelompok masyarakat hukum adat dan masyarakat yang rentan diperlakukan tidak adil dan hak asasi yang sering dilanggar oleh dalih kepentingan strategis negara. Untuk mengatasi permasalahan ini dibutuhkan suatu landasan etis filosofis yang dapat dijadikan sebagai standar moral keadilan dalam menyusun peraturan dan kebijakan politik, ekonomi dan hukum atau konstitusi. Tujuan tesis ini untuk memahami secara komprehensif gagasan Jimly Ashidiqie tentang konstitusi sosial sebagai kesepakatan tertinggi atau kontrak sosial dengan menggunakan teori keadilan John Rawls sebagai basis analisis.

Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan. Metode penelitian menggunakan model sistematis-reflektif yang meliputi inventarisasi data, evaluasi kritis, sintesis. Dalam rangka mendapatkan hasil penelitian, tahapan-tahapan dilakukan dengan mempedomani unsur-unsur metodis umum bagi penelitian filsafat yang meliputi deskripsi, interpretasi, induksi dan deduktif, koherensi intern, holistika, heuristika, idealisasi dan pemahaman baru.

Hasil penelitian ini pertama, pandangan Jimly Ashiddiqie tentang konstitusi sosial dapat dijustifikasi sebagai kesepakatan tertinggi atau kontrak sosial antar warga negara untuk membentuk masyarakat, otoritas kekuasaan dan pemerintahan. Kedua, bahwa konstitusi sosial yang dikenal sebagai konstitusi konvensional atau konstitusi tidak tertulis merupakan salah satu Undang-Undang Dasar yang dibentuk berdasarkan prinsip-prinsip keadilan yang diterima semua pihak di struktur dasar sosial. Ketiga, bahwa konstitusi sosial atau hukum adat adalah satu sumber hukum yang diakui di masyarakat sebagai kriteria etis yang telah memenuhi rasa keadilan (reflective equilibrium) atas kepentingan keadilan yang saling bertentangan di masyarakat. Keempat, bahwa konstitusi sosial atau hukum adat yang berlaku dan telah berlangsung lama sebagai pranata efektif masyarakat hukum adat atau masyarakat desa di Indonesia adalah mengandung nilai-nilai penghargaan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Konstitusi sosial dihasilkan sistem prosedur murni keadilan, ditandai bahwa setiap orang yang terlibat di dalam pembentukannya adalah orang-orang rasional dan bermoral memahami secara sama konsepsi tentang keadilan secara intuitif tidakberdasarkan ilmu pengetahuan teoritis, tidak membawa kepentingan apapun dan tidak memahami posisi atau keadaan yang mereka dapatkan di dalam kenyataan masyarakat yang didirikan, otoritas dan pemerintahan yang dibentuk karena secara hipotesis di struktur dasar masyarakat tanpa konflik dan kondisi berada di balik selubung ketidaktahuan (veil of ignorance) tentang kecenderungan psikologi, keberadaan budaya yang mereka capai dan tidak mengetahui keadaan apa yang didapatkan di dalam kenyataan masyarakat, otoritas dan pemerintahan yang didirikan baik status sosial, kekayaan dan distribusi sumber daya. Prinsip keadilan sebagai fairness adalah tujuan kesepakatan. Prinsip-prinsip keadilan yang dipilih merupakan pilihan rasional maksimal dari pilihan minimal keadilan. Konstitusi sosial sebagai standar moral yang telah memenuhi rasa keadilan publik (reflective equilibrium) dan sebagai kriteria etisatas pertentangan standar moral keadilan ekonomi politik antara utilitarianisme dan intuisionisme dan memenuhi prinsip-prinsip keadilan yang menguntungkan semua orang, mengadopsi sistem kebebasan natural di dalam prinsip efisiensi untuk memenuhi prinsip persamaan dan kesamaan demokratis di dalam prinsip perbedaan untuk mengatur ketimpangan sosial-ekonomi. Dengan hasil penelitian ini maka Negara Indonesia sebagai negara hukum yang menganut positivisme hukum seharusnya menempatkan konstitusi sosial ini sebagai salah satu konstitusi tertulis dengan memiliki naskah tersendiri sebagai perwujudan konkret kedaulatan rakyat sebagai pendiri negaradalam mewujudkan keadilan sosial di dalam negara. 

This research starts from the issue of injustice in the basic social structure or groups of customary law communities and communities that are vulnerable to being treated unfairly and whose human rights are often violated under the pretext of the state's strategic interests. To overcome this problem, a philosophical ethical foundation is needed that can be used as a moral standard of justice in formulating political, economic and legal regulations and policies or the constitution. The aim of this thesis is to comprehensively understand Jimly Ashidiqie's idea of social constitution as the highest agreement or social contract using John Rawls' theory of justice as a basis for analysis.

This research is library research. The research method uses a systematic reflective model which includes data inventory, critical evaluation, synthesis. In order to obtain research results, the stages are carried out by guiding the general methodical elements for philosophical research which include description, interpretation, induction and deductive, internal coherence, holistic, heuristic, idealization and new understanding. The findings of this study indicate that Jimly Ashiddiqie's perspective on the social constitution can be justified as the highest agreement or social contract between citizens to form society and establish authority. Second, that the social constitution, also known as the conventional constitution or unwritten constitution, is a fundamental law that was developed to establish society and the authority of power. Third, that the social constitution or customary law is a source of law that is acknowledged in society as an ethical criterion that satisfies a sense of justice (reflective equilibrium) with regard to the competing interests of justice in society. The social constitution or customary law, which has been recognised as a source of law in Indonesia, should be formalised as a written constitution that has its own text or document and serves as one of the state's normative legal references. Social constitution as procedural justice reviewed based on John's theory of justice is first, everyone involved in its formation does not know theoretical science, does not carry any interests, and does not comprehend the position or situation they receive in the reality of the society that is established, the authority and government that formed as a result of conditions hidden behind the veil of ignorance (veil of ignorance). The objective of the accord is the principle of justice as fairness. Second, the chosen principles of justice are the most rational minimum choice of justice principles. Third, the social constitution as a moral standard that has satisfied the public's sense of justice (reflective equilibrium) and as an ethical standard for competing moral standards of justice, political economy, utilitarianism, and intuitionism. The Indonesian State as a constitutional state that adheres to legal positivism should place this social constitution as a written constitution with its own text, such as the 1945 Constitution, as a concrete embodiment of village communities and customary law communities as the founders of the state in order to realise social justice in the country. 

Kata Kunci : social contract, state of nature, original position and veil of ignorance, justice as fairness, procedural pure justice, social constitution, reflective equilibrium.